Retrospeksi "Padang Sibusuk Lautan Api" pada 11 Maret 1949

-

Kamis, 12/03/2020 06:13 WIB

Reportase Y Thendra BP (jurnalis dan sastrawan)

Pada Kamis malam, 10 Maret 1949, rakyat Padang Sibusuk dikejutkan oleh suara ribut. Hiruk-pikuk tak menentu. Seluruh rakyat diperintahkan mengungsi ke selatan, dan rumah harus kosong sebelum matahari terbit. Mereka sudah harus berada di hutan atau sawah masing-masing.

Dalam malam yang gelap, mencekam, rakyat berangkat membawa bekal seadanya. Pohon kayu besar dan kecil ditebang, diarak ke jalan kampung sampai subuh, perintang musuh yang akan menyerbu.

Pada Jumat pagi, 11 Maret 1949, tentara Belanda menyerang dari Sawahlunto dengan kekuatan besar dan diiringi pesawat tempur. Pertempuran pun terjadi mulai dari Kupitan. Kira-kira lepas Ashar, barulah tentara Belanda dapat menembus Kapalo Koto, dan mereka membakar rumah rakyat di Kampung Sikumbang Jorieng.

Dua hari dua malam pertempuran terjadi. Pada hari ketiga tentara Belanda baru dapat menyingkirkan pohon-pohon kayu yang merintangi jalan.

Selama pertempuran tiga hari tersebut, tidak ada korban terluka atau gugur dari pihak pejuang, kecuali dua orang tua yang tak mau meninggalkan rumahnya dan dibakar bersama rumahnya oleh tentara Belanda, yaitu di Sikumbang dan Cupak Subarang Labuah.

Rumah rakyat sepanjang dataran panjang dan jalan raya kiri-kanan, terkecuali gedung sekolah dan pasar, hangus jadi lautan api dibakar oleh tentara Belanda.

Pada hari kelima tentara Belanda membakar rumah rakyat di sekitar Palak Kudo sampai Tanjung Bisi. Rumah yang tersisa hanya di Kampung Sindayan, Kareh, Simpang Limo, Guguak Tinggi, dan Ponggang. Diperkirakan pada waktu itu, 80 persen dari rumah rakyat hangus jadi lautan api. Dan 95 persen dari jumlah yang hangus itu terdiri dari rumah adat bertanduk (rumah gadang), termasuk tiga rumah lima ruang.

Itulah sebabnya kini tak ada lagi rumah gadang jaman saisuak berdiri tegak di tepi Jalan Lintas Sumatra di Nagari Padang Sibusuk.

Begitulah, peristiwa 11 Maret 1949 atau yang disebut "Padang Sibusuk Lautan Api" pada Agresi Militer Belanda II digambarkan dalam manuskrip Perjuangan Anak Nagari Padang Sibusuk yang disusun oleh N. Sutan Makmur dan saya catat ulang.

...

Setelah 71 tahun peristiwa itu berlalu, Rabu (11/3/2020) Ratusan Pelajar (SD, LTP, dan SLTA), organisasi pemuda, dan masyarakat di Nagari Padang Sibusuk lakukan napak tilas "Padang Sibusuk Lautan Api".

Peserta napak tilas berangkat dari halaman Kantor Kecamatan Kupitan, dengan rute Lambau, Stasiun Kereta Api Padang Sibusuk, menyusuri rel kereta, dan finis di Bukit Kupitan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Karang Taruna Nagari Padang Sibusuk, Pemnag Padang Sibusuk, dan didukung Camat Kupitan, beberapa masyarakat yang memberikan sumbangan, dan Anggota DPRD Sijunjung Syofian Hendri dan Defirman.

Di dua lokasi, Lereng Catio dan Kupitan, Y Thendra BP (jurnalis dan sastrawan) menyampaikan materi retrospeksi "Padang Sibusuk Lautan Api" kepada peserta napak tilas. Materi itu banyak bersumber dari manuskripnya N. Sutan Makmur.

Menurut Ketua Karang Taruna Nagari Padang Sibusuk Ns. H. Hariyanto Candra, S.Kep, napak tilas ini merupakan peringatan hari bersejarah yang terjadi di Padang Sibusuk. Ada beberapa titik yang dilalui, tapi secara umum terjadi pembakaran rumah gadang di Padang Sibusuk pada 11 Maret 1949 dalam Agresi Militer Belanda II.

"Ini adalah suatu pemantik agar sejarah nagari tidak hilang. Sehingga generasi muda mengenal dan mencintai nagarinya," ujarnya.

Sementara Wali Nagari Padang Sibusuk Aprizaldi, S.P. berharap, peringatan hari bersejarah nagari ini bisa diselenggarakan setiap tahunnya dan akan didanai oleh anggaran pendapatan belanja nagari. Selain napak tilas, peristiwa "Padang Sibusuk Lautan Api" ini juga menggelar turnamen bola kaki.

...

Manuskrip Perjuangan Anak Nagari Padang Sibusuk yang di dalamnya memuat peristiwa 11 Maret 1949 itu,  N. Sutan Makmur mengaku menyusunnya berdasarkan wawancara dengan pelaku sejarah. Selain itu, ia juga saksi peristiwa tersebut.

"Mendiang ayah lahir sekitar 1933. Mendiang pernah bercerita, dalam Agresi Militer Belanda II itu anak-anak dan remaja dinaikkan ke atas truk Tentara Belanda sebagai tameng saat berpatroli, termasuk mendiang," terang Taufiqurrahman, anaknya N. Sutan Makmur, yang juga seorang penulis.

Semasa hidupnya, N. Sutan Makmur berkhidmat di dunia pendidikan. Ia adalah salah satu pendiri SMA Yaqin Padang Sibusuk dan terakhir menjabat sebagai kepala sekolah di sana. SMA Yaqin itu kini jadi SMAN 4 Sijunjung.

...

Dalam manuskrip yang disusun oleh N. Sutan Makmur itu juga dinarasikan peristiwa sebelum 11 Maret 1949 dalam Agresi Militer Belanda II.

Pada Jumat, 31 Desember 1948, Kota Sawahlunto jatuh ke tangan tentara Belanda tanpa rintangan dan letusan senapan. Padahal waktu itu Batalyon Singa Harau di bawah komando Kapten Tembak adalah penjaga Front Sawahlunto/Sijunjung.

Saat Belanda memasuki Kota Sawahlunto, pasukan Singa Harau mundur pecah dua, sebagian ke Talawi dan sebagian ke Padang Sibusuk. Di Padang Sibusuk dipimpin oleh Syamsi dengan kekuatan satu peleton.

Pada Sabtu pagi, 1 Januari 1949, tampaklah konvoi truk Belanda menuju jembatan Kupitan. Baru saja kendaraan tentara Belanda melewati jembatan, pasukan Singa Harau menghujani mereka dengan tembakan. Saat itu terdengar jeritan dan hiruk-pikuk yang menandakan tentara Belanda banyak yang mati.

Setelah dua jam bertempur, tentara Belanda mundur kembali ke Muaro Kalaban. Namun, mereka masih melepaskan tembakan dari Air Dingin.

Pada saat tentara Belanda mundur, tambahan pasukan dari pihak TNI tidak ada, meski kurir telah dikirim ke Sijunjung. Malahan yang berdatangan adalah pemuda Padang Sibusuk dengan membawa senjata lading, bambu runcing, dan yang lainnya.

Tentara Belanda menyerang kembali siang harinya, setelah mendapat bantuan dari Solok dan diiringi pesawat tempur. Mereka baru mampu menembus Front Kupitan sekitar pukul dua siang. Gugur Putra Padang dalam pertempuran di Front Kupitan itu Jambar Pdt. Alam, Harus, dan Marahimin

Tentara Belanda terus memasuki Nagari Padang Sibusuk, melepaskan tembakan ke berbagai arah tanpa turun dari kendaraan. Tiba di Simancung, mereka menembak dua anggota badan perjuangan kemerdekaan nagari (BPKN) Padang Sibusuk, yaitu Atin dan Lasin.

Laju tentara Belanda tertahan di Muaro Bodi, karena mereka tidak menemukan jembatan untuk menyeberangi Sungai Batang Palangki. Dari Muaro Bodi mereka kembali ke Simancung dan terus ke Sijunjung.

Selama Januari dan Februari 1949 dalam Agresi Militer Belanda II itu, tentara Belanda sering melakukan patroli di Nagari Padang Sibusuk. Selain menembak penduduk dan pejuang, mereka juga membakar rumah rakyat.

Pada Kamis pagi, 10 Februari 1949, tentara Belanda masuk ke Kampung Lereng Caniago. Mereka menangkap Ulama dan Ketua Partai Politik Tarekat Islam (PPTI) Padang Sibusuk Angku Haji Ibrahim. Ia dibawa tentara Belanda ke kantor wali nagari, diinterogasi tentang rumahnya.

Ia menunjukan rumah istri adiknya, Saibi Malin Kayo di kampung Caniago. Rumah tersebut dibakar oleh tentara Belanda.

Setelah itu, Angku Haji Ibrahim dibawa oleh tentara Belanda ke suraunya di Tabiang Elok. Surau tersebut dibakar pula. Kemudian dengan mata tertutup dan dibelenggu, ia dinaikan ke atas kendaraan, diangkut ke Tanjung Ampalu dan ditembak.

Pada akhir Februari 1949 struktur PDRI Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung telah terbentuk sampai ke tingkat kecamatan dan kenagarian. Bupati Pertama Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung adalah Tan Tuah Bgd. Ratu, Sekretaris Bupati  A. Jarjis Berastani, dan Staf Penasehat Bupati Haji Syafei Idris.

Setelah terbentuknya struktur/susunan Pemerintahan PDRI di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, pada awal Maret 1949 di Patai Tulang, Nagarian Batu Manjulur, diadakan pertemuan dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sawahlunto dan Kecamatan IV Nagari yang terdiri dari sepuluh kenagarian. Tapi, Nagari Kubang dan Nagari Lunto tidak hadir.

Dari pihak militer yang hadir pada waktu itu M. Aras Intan Sati (Komandan Front Batu Arang Selatan) Ibrahim Joyo (Komandan Front Silungkang), Lumpin, Samaruddin, dan Oemar Pito Rajo (Komandan Front Kupitan Padang Sibusuk).

Pertemuan itu berlangsung selama satu hari satu malam dengan topik “Padang Sibusuk Dijadikan Area Pertempuran”.

Atas dasar geografis dan situasi, Padang Sibusuk adalah tempat strategis sebagai basis kekuatan tentara Belanda dan juga sumber produksi pangan. Selama dua bulan (Januari dan Februari) tentara Belanda telah leluasa mengadakan patroli. Sudah banyak pemuda dan pemimpin yang jadi korban, rumah-rumah rakyat dibakar pula.

Berdasarkan pemikiran di atas dan desakan dari delegasi nagari pada pertemuan itu, rakyat dan pemimpin Nagari Padang Sibusuk bersedia dan rela Padang Sibusuk dijadikan front pertempuran.

Seluruh wali perang dalam pertemuan tersebut akan membantu Padang Sibusuk atas kerugian yang mereka derita akibat perang kemerdekaan ini. Sayangnya, pernyataan dan perjanjian tersebut tidak tertulis.

...

Peristiwa sejarah Nagari Padang Sibusuk yang lama tersuruk di lipatan waktu, kini diteroka kembali oleh generasi muda Padang Sibusuk melalui napak tilas, sebagai retrospeksi dan spirit mencintai kembali nagari, agar mata rantai sejarah tak putus, jalan ndak diasak urang lalu. Dan juga mengingatkan kembali, Indonesia ditegakkan atas perjuangan dan pengorbanan berbagai suku bangsa. ***



BACA JUGA