Interaksi antaretnis di Kota Padang pada Masa Kolonial

-

Jum'at, 07/02/2020 12:03 WIB
hijrah

hijrah

OLEH Dr. Lindayanti, M.Hum (Dosen Ilmu Sejarah di FIB Unand)

Tulisan ini dipaparkan dalam acara seminar sehari Padang Lama dalam Perspektif Sejarah dan Masa Depan", Kamis, 6 Februari 2020 dalam rangkaian Perayaan Cap Go Meh dan Padang Multikultural Festival 2020 di Padang

  1. Pendahuluan

Dua peristiwa yang terjadi pada bulan Januari tahun 2020 yang berlokasi di kawasan Kota Padang lama yang menggambarkan interaksi antar etnis di Kota Padang. Pertama, perayaan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada tanggal 25 Januari 2020 yang dimeriahkan hiasan tahun baru Tahun Tikus di Klenteng See Hin Kiong.

Kelenteng selain didatangi oleh etnis Tionghoa yang akan bersembahyang tetapi juga menarik bagi etnis lain untuk melihat kemeriahan acara Tahun Baru Imlek. Atraksi barongsai pun menarik kedatangan masyarakat Padang tanpa mengenal etnis.

Peristiwa kedua adalah yang terjadi di Masjid Kampung Keling yaitu tradisi Serak Gulo (tabur gula). Tradisi tahunan warga keturunan India di kota Padang. Pada saat itu dipersiapkan empat ton gula pasir yang dibungkus dalam ukuran kecil dan dibungkus dengan kain warna warni. Gula ini dibagikan pada pengunjung.

Tradisi Serak Gulo merupakan rasa syukur warga keturunan India atas rezeki yang telah didapatkan sepanjang tahun. Kegiatan ini dilaksanakan di depan Masjid Muhammadan, Jalan Batipuh Kecamatan Padang Selatan. Kedua peristiwa ini terjadi bersamaan dengan perayaan Tahun Baru Imlek pada hari Sabtu tanggal 25 Januari tahun 2020

Kedua etnis ini telah bermukim di Padang paling tidak sejak abad ke-17 terutama sejak kedatangan bangsa Eropa. Kedatangan bangsa Eropa, Cina dan India, dan berbagai etnis seperti Nias dan Jawa  menjadikan Kota Padang yang berwajah multikultural yang masih dapat disaksikan sampai tahun 2020 ini. Perjalanan yang panjang telah menghasilkan generasi baru yang telah bercampur.

Penulisan singkat akan dibahas bagaimana berinteraksi di masa kolonial sebagai batasan waktu. Mereka berinteraksi di lokasi yang disebut kota Padang dalam pengertian batasan menurut Regeerings Almanak tahun 1915. Penulisan menggunakan : foto , surat kabar sejaman, buku telepon tahun 1939 (periode terakhir masa kolonial Belanda), arsip pemerintah, dan buku-buku hasil penelitian terdahulu.

Masyarakat kolonial terbagi dalam tiga strata, lapisan teratas adalah orang Eropa, lapisan kedua adalah orang Timur Asing, dan lapisan terbesar di strata ketiga adalah penduduk pribumi. Hal yang menarik untuk dibahas adalah Apakah ada interaksi antar etnis dengan pembagian strata masyarakat yang demikian ? Dimana dan pada kegiatan apa mereka berinteraksi, dan bagaimana bentuk interaksi tersebut ?

  1. Terbentuknya Masyarakat Plural

Pertumbuhan awal kota Padang berkaitan dengan adanya interaksi antara kegiatan perdagangan antar etnis, yaitu  antara pemerintah kolonial termasuk para pedagang Eropa, pedagang pendatang seperti Cina, Arab, dan India; orang Nias, dan orang Minangkabau. Orang Nias, Aceh, Arab, dan India diperkirakan sudah ada sebelum kedatangan orang Belanda melalui masakapai dagang VOC (Verenigde Oost Compagnie). Mereka melakukan perdagangan emas dan lada. Aktivitas perdagangan di Padang pada abad ke-17 masih berada di pelabuhan kecil di sekitar Pasar Gadang, sedangkan di  kedua sisi Batang Arau terdapat pemukiman penduduk.

Migran pertama datang ke Padang membuka pemukiman di tepi Selatan Arau, yang selanjutnya dikenal sebagai wilayah Seberang Padang dan bergerak ke arah utara sehingga terbentuk kampung-kampung Alang Lawas, Ranah, Olo, Parak Gadang, dan Ganting. Kampung-kampung ini telah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa terutama Belanda. Alang Lawas dan Ganting dikenal dengan Nan VIII Suku, merupakan konfederasi 8 suku dan dikepalai oleh seorang penghulu. Mereka kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, memiliki tempat peribadatan, tanah pekuburan dan pimpinan.

Di sekitar benteng (kantor dagang) VOC aktivitas perdagangan berlangsung, selain itu juga terdapat pasar pribumi, yaitu Pasar Gadang. Di sekitar benteng mulai terbentuk pemukiman multi etnik, antara lain Cina, Arab, Keling, dan Nias, sedangkan pemukiman penduduk pribumi berada di sekitar Masjid Ganting.

Orang Cina yang mulai menjadi penduduk permanen setelah VOC membuka kantor dagang di Padang sehingga diberitakan orang Cina telah memiliki tanah sejak tahun 1673 dan jumlah semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan diangkatnya letnan Cina pada tahun 1682. Seorang Letnan Cina bertugas untuk mengatur kelompoknya dan menjadi perantara, antara pedagang Cina dan Belanda. Pada awal pemerintahan Hindia Belanda mereka membeli bekas kantor dagang VOC dan menjadikan tempat aktivitas dagang mereka.

Orang Cina di Padang memiliki area komunitas, pimpinan dan budaya tersendiri. Salah satu letnan Cina yang diangkat oleh pemerintah yaitu, Lie Kong Teek pada tahun 1877. Misalnya dari berita yang dimuat di Jawa Bode tanggal 4 Juli 1877 memberitakan tentang pengangkatan seorang Letnan Cina di Padang bernama Lie Kong Teek.

Salah satu Kapiten Cina, yaitu Lie Saaij yang telah bertugas hampir 23 tahun dengan baik sehingga pemerintah Hindia Belanda memberi penghargaan dengan titel mayor.

Sampai dengan tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda mewajibkan orang Cina tetap bertempat tinggal di area kelompoknya. Setelah tahun tersebut terjadi perkembangan pemukiman dan tempat usaha ke luar dari wilayah Chinese kamp. Hal ini dapat dibuktikan dari nama dan alamat rumah dan kantor orang Cina yang berada di luar Kampung Cina.

Orang India kebanyakan berasal dari India Selatan.  Mereka  diperkirakan datang pada masa Inggris memerintah di  pantai barat Sumatera dan berprofesi sebagai tentara Inggris. Orang India tidak pernah secara eksklusif menguasai suatu area meski keberadaan mereka terkonsentrasi di Mesjid Keling dan Kampung Dobi.

Keberadaan orang India masa kolonial ditandai adanya jalan yang bernama Voor Indiers dan  Lembaran Negara tahun 1881 nomor 236 tentang  pemerintahan orang Timur Asing (kecuali orang Cina) di ibukota Padang terdiri dari: seorang pemimpin untuk orang Arab, seorang pemimpin untuk orang Keling dan seorang pemimpin untuk orang Koringgi dan Voor-Indier masing-masing mereka memiliki kewenangan di wilayahnya dan diberi gelas letnan dengan surat pengangkatan dari Gubernur Jendral.

Pada tahun 1882 Said Oemar bin Achmad al Aijdroes diangkat menjadi pemimpin kelompok orang Arab;  Gadirsch Marekan diangkat menjadi pemimpin orang Keling dengan titel letnan; Amoerte Linga Poele diangkat sebagai pemimpin dengan titel  letnan untuk orang Korringie dan Voor-Indiers lainnya

Orang Nias yang datang  ke Padang sebelum kedatangan bangsa Eropa pemukinan mereka disebut Kampung Nias. Pada sekitar abad ke-17 masa keberadaan kantor dagang Belanda VOC (Verenigde Oost Compagnie)  jumlah orang Nias makin banyak dan bermukim di lokasi yang disebut dengan Kampung Nias. Setelah masa VOC berlalu dan Padang menjadi bagian dari Pemerintah Hindia Belanda, Kampung Nias menjadi kehilangan karakteristik sebagai pemukiman orang Nias. Peralihan ini antara lain Perempuan Nias banyak yang menikah dengan orang Belanda dan orang Cina sehingga keturunannya memperoleh identitas baru, dan sebagian mereka menjual tanah dan berpindah ke Gunung Padang.

Orang Jawa yang diperkirakan datang ke Padang sebagai Tenaga Kerja Paksa dan sebagian juga mantan prajurit Sentot Alibasya yang membantu Belanda memerangi Paderi. Akan tetapi keberadaannya tidak signifikan dan hanya meninggalkan nama. Sejak abad ke-19 telah dihuni etnis lain selain Jawa. Pada akhir abad ke-19 di Kampung Jawa, Lie Saaij mendirikan pasar yang disebut Pasar Kampung Jawa.

  1. Interaksi Antar Etnis di Kota Padang

3.1 Interaksi di bidang ekonomi

Pasar pada masa kolonial merupakan milik pribadi ataupun perserikatan. Salah satu pasar terkemuka adalah Pasar Gadang.  Pasar Gadang  didirkan oleh orang Minangkabau dan merupakan pusat bisnis penting. Pasar memiliki hubungan dengan pasar pribumi lainnya, yaitu Pasar Batipuh, Pasar Hilir dan Pasar Mudik. Letaknya yang strategis bagi pedagang-pedagang Minangkabau dari dataran tinggi. Pasar dimiliki oleh Badu Ata & Co, perusahaan pertama orang Minangkabau yang mengadopsi sistim Barat. Badu Ata & Co memiliki pasar kedua di Belakang Tangsi dan berhasil berkembang dengan baik. Akan tetapi terbakar pada tahun 1882.

Selain pasar milik pribumi juga terdapat pasar-pasar yang dimiliki oleh orang Cina. Pada paruh kedua abad ke-19 kelompok pedagang Cina membuka pasar di kawasan Kampung Cina, yaitu Pasar Tanah Kongsi, akan tetapi pasar tidak berkembang. Selanjutnya pedagang Cina lainnya, yaitu Gho Lam San membuka pasar di bekas pasar Badu Ata & Co. yang terbakar, sedangkan Lie Saaij membuka pasar  di lokasi Kampung Jawa dan dinamakan Pasar Kampung Jawa.

Kedua pasar tersebut berhasil berkembang akan tetapi pasar milik Gho Lam San terbakar dan berakhir dengan aset dijual kepada Goan Hoat. Pasar milik Goan Hoat ini diberi nama Pasar Miskin. Hal ini disebabkan karena pasar menjual barang-barang dengan harga murah.

Perubahan-perubahan kepemilikan ada penggabungan pengelolaan pasar, misalnya Pasar Kampung Jawa dan Pasar Miskin dikelola oleh NV. Goan Hoat. Pada tahun 1928 pasar kembali terbakar sehingga NV. Goan Hoat tidak berminat berinvestasi lagi dan diambil alih oleh Dewan Kotapraja.

Setelah VOC runtuh dan setelah silih berganti negara Eropa menguasai sementara kota Padang akhirnya melalui Traktat London Belanda kembali mendapatkan kembali Padang.  Pada masa itu aktivitas perdagangan telah beralih dari tanaman  lada menjadi tanaman kopi maka wajah tepian Batang Arau dipenuhi bangunan gudang-gudang kopi milik Belanda dan sebagian milik pedagang Cina. Selain itu juga terdapat kantor pemerintah, fasilitas militer dan bangunan pelabuhan.

Setelah perdagangan kopi menurun dan keberadaan Emmahaven aktivitas perdagangan meningkat. Tepian Batang Arau berubah wajah dari Gudang-gudang kopi menjadi Kantor Pelabuhan (14); Kantor Pekerjaan Umum tingkat Distrik (15); Kantor Urusan Candu (16); Balai kerja Kotapraja (17); Gudang Peralatan Perang (18); Kantor KPM (19); Jawa Bank (20); Monumen de Greve (21); Kantor Houten Steffan (22); Kantor Guntzel & Schumacher (23); Kantor Residen (24); Kantor Pajak (25)

3.2 Interaksi di bidang Organisasi

Loji Matahari merupakan salah satu organisasi kemanusiaan  yang menyatukan antar etnik. Pada tahun pertama berdiri loji masih menyewa tempat untuk kegiatan kantor. Sampai akhirnya pada tahun 1866 loji berhasil membeli bangunan yang terletak di Belakang Tangsi. Bangunan perlu direnovasi agar menjadi kantor yang memadai dan Lie  Saaij sebagai salah satu anggota loji memberikan bantuan keuangan.  Lie Saaij, sejak loji berdiri telah tercatat orang Cina pertama sebagai anggota. Sepuluh tahun kemudian dikuti oleh Lie Khong Teek. Mata-Hari selain orang Belanda juga memiliki anggota orang Cina dan orang Indonesia. ( Stevens: 1994, 106)

Kegiatan Mata-Hari antara lain mengumpulkan sumbangan untuk keperluan kemanusiaan. Hal ini seperti yang terdapat pada iklan koran Sumatra-courant tanggal 31 Desember 1897 yang berjudul “Kleedingfonds der  Loge Mata-Hari” Pemberian bantuan berupa pakaian  dan uang,  untuk keperluan dana bantuan akan

Interaksi antar etnis di Padang antara lain pada organisasi Palang Merah di Padang. Dari surat kabar Sumatra-courant diberitakan tentang anggota Sub-komite Palang Merah di Padang yang terdiri dari orang Belanda, yaitu J. Kat, WJ Geertsema, FD Chandon, ADJ Penn,  pemimpin pribumi, yaitu Regen Padang Tuanku Panglima Mara Indra dan kapiten Cina Lie Saaij. (Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad tanggal10-01-1874)

3.3. Kebersamaan yang Berkaitan dengan Budaya

Interaksi antar etnis terjadi saat ada Pasar Malam dan  atraksi budaya. Misalnya pada perencanaan pasar malam tahun 1911, para pemimpin pribumi dan pimpina orang Cina di Padang melakukan perundingan berkaitan dengan tanggal dan tempat pelaksanaan. Keputusan saat itu Pasar malam akan diadakan pada tanggal 2 Agustus dan bertempat di Kampung Jawa. (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 20-05-1911)

Pada acara pagelaran budaya berbagai etnis ikut serta, misalnya pada Festival Tabut di kota Padang tahun 1928. Sebenarnya Festival Tabut dilaksanakan setiap tahun akan tetapi pada tahun 1928 acara ini diikuti oleh 8 kampung, yaitu Terandam, Sawahan, Kampung Jawa, Olo, Ujung Pandan,  Pondok, Kampung Nias, dan Ganting. Pada festival Tabut  ini dikunjungi ribuan penonton yang berasal dari berbagai etnis. (Nieuwe Apeldoornsche courant tanggal 21 Agustus 1928)

Hubungan orang Cina Padang dengan Negara asal masih terjadi. Hal ini paling tidak dibuktikan dengan kedatangan konsul Cina  di Medan menuju Padang pada tahun 1949. Hal ini dilakukan untuk melihat keadaan warga Cina di Padang. (Het nieuwsblad voor Sumatra, tanggal 01-03-1949)

  1. Penutup

Sebagai penutupan tulisan ini adalah kegembiraan bersama antar etnis menyambut pengakuan kemerdekaan dan berdirinya provinsi Sumatera Tengah. Diambil dari berita koran De Locomotief tanggal 22 April 1950 yang memberitakan kesuka citaan masyarakat Padang. Dari tanggal 15, 16, dan 17 April 1950 warga Padang merayakan bergabungnya kota Padang dan daerah sekitar masuk dalam Negara Republik Indonesia. Pada hari minggu pagi ribuan warga melakukan pawai dengan membawa berbagai poster.

Pada  hari itu juga  penduduk berbagai kampung di Padang dan anak-anak sekolah melakukan pawai menuju kediaman Gubernur Sumatera Tengah mr. Nasroen untuk memberikan album foto berkaitan pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Satu album untuk pemerintah Sumatera Tengah dan satu yang lain untuk pemerintahan Kotapraja

Kebahagiaan juga dirasakan oleh masyarakat Cina di Padang. Hal ini diperlihatkan dengan adanya pengibaran bendera mereh putih di puluhan toko orang Cina. Sebagian dari mereka mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan bendera Republik Rakyat Cina, akan tetapi sebagian besar hanya mengibarkan bendera merah putih. Sampai saat itu etnis Cina di Indonesia berstatus warga Hindia Belanda belum memastikan kewarganegaaraan mereka.

Hanya ini data yang baru didapat sehingga tidak dapat menggambarkan suasana hati etnis lainnya di Padang. Akan tetapi dari Data  kantor warga keturunan dan warga asing di kota Padang menyebutkan bahwa pada tahun 1952 dari 8.500 kepala keluarga orang Cina terdapat 1.436 kepala keluarga yang menyatakan sebagai warga negara Indonesia.

Kelompok Timur Asing lainnya belum ada yang memberi pernyataan, sedangkan dari 273 kepala keluarga orang Eropa hanya 77 kepala keluarga yang menyatakan sebagai warga negara Indonesia  (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-01-1952)

Daftar Pustaka

Buku

Colombijn, Freek, 1994, Patches of Padang, The History of an Indonesia Town in Twentieth Century and the Use Space, CNWS Publication, Leiden University

Dobbin, Christine, 2008, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Ekonomi, dan Gerakan Padri, Minangkabau 1784-1847 (terj.), Jakarta: Komunitas Bambu

Eko Alvares Zaidulfar, 2002, Morfologi Kota Padang, Disertasi Ilmu Teknik UGM Yogyakarta

Netscher. E. 1881, Padang in  het last der XVIII eeuw, Batavia Genootschap van Kunsten en Wetenschappen

Regeerings Almanak tahun 1884 dan 1905

Rusli Amran, 1985, Padang Riwayatmu Dulu, Jakarta: Mutiara Sumber Wydia

Stevens, Th. Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesia 1764-1962,

Hilversum: Verloren, 1994

Surat Kabar yang didapat dari website: www. delpher.nl

Bataviaasch handelsblad tanggal 30-11-1883

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-04-1950

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad  tanggal 1-02-1882

Het nieuwsblad voor Sumatra, tanggal 01-03-1949

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 20-05-1911

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-01-1952

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indietanggal 04-07-1877

Nieuwe Apeldoornsche courant tanggal 21 Agustus 1928

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad tanggal10-01-1874

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad tanggal 31-12-1897.

 



BACA JUGA