Berlatih silat Pangian di Jorong Sungai Duo, Dharmasraya
OLEH Maiza Elvira*
Silat yang baru dilabeli UNESCO sebagai warisan dunia, punya riwayat yang panjang di tanah tempat ia lahir, salah satunya Sumatera Barat. Para pesilat di masa lalu, yang menjadikan silat sebagai filosofi dan jalan hidup dicatat dengan penuh getir sebagai kelompok yang berbahaya bagi kolonialisme.
Setelah Jakarta takluk, Yogyakarta yang kemudian menjadi ibu kota negara saat itu jatuh ke tangan Belanda pada satu hari di tahun 1948. Indonesia yang baru lahir nyaris ambruk. Sebelum ditawan di Yogyakarta, Soekarno dan Hatta sempat menulis mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk segera membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Dari Bukittinggi, 19 Desember 1948, Sjafruddin mengumumkan dengan radio bahwa Indonesia masih ada, dan Bukittinggi menjadi ibu kotanya. PDRI, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, begitu pemerintahan itu dilabeli pada masa yang sangat genting.
Tak lama berselang, Sjafruddin yang nyaris dibunuh oleh simpatisan Belanda di Jakarta, kini benar-benar diburu tentara Belanda di tengah Pulau Sumatera. PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda, karena itulah, Belanda mengerahkan pasukan yang tak main-main. Indonesia mesti dilenyapkan! Bila Sjafruddin tertangkap, Belanda akan kembali berkuasa dan dekolonisasi kembali terjadi!
Dari Bukittinggi, Sjafruddin dan sekelompok orang mencoba menyelamatkan diri ke daerah pinggiran Minangkabau: Bidar Alam, negeri yang dipenuhi mitos dan tuah. Selama tujuh bulan, mereka (termasuk 10-15 orang yang memanggul radio) bergerak. Mereka terus ke Limapuluh Kota, melipir ke Teluk Kuantan, Kiliran Jao, Pulau Punjung terus ke Sungai Dareh, dan mengikuti aliran Sungai Batanghari terus ke hulu, tiba di Abai, Sangir hingga Bidar Alam—catat Muhammad Rasjid dalam buku Di Sekitar Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Catalina, pesawat udara yang memiliki kemampuan mendarat di air, menderu mengiringi pesawat pemburu dan pengebom. Solok yang menjadi salah satu basis tentara republik, luluh lantak. Catalina menurunkan pasukan Belanda di Danau Singkarak, begitu catat Amura dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan di Minangkabau. Sawahlunto serta merta jatuh ke tangan Belanda. Het Nieuwsblad voor Sumatra tertanggal 21 Desember 1948 mengabarkan pasukan republik didesak ke Sijunjung terus ke Sungai Dareh. NEFIS (Nederlands Forces Intelligence Service) melaporkan bahwa Sjafruddin dalam perjalanan dari Teluk Kuantan menuju Kiliran Jao, karena itu harus dipintasi, ditangkap.
Basis tentara republik bisa saja lumpuh, dan penyergapan Sjafruddin telah di depan mata. Tapi, hal yang di luar dugaan terjadi: para serdadu pirang itu bertemu sekelompok orang kampung tanpa seragam, tanpa senapan.
Audrey Kahin dalam bukunya Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, mengungkap bahwa pasukan Belanda dalam perjalanan mereka mengejar Syafruddin yang menuju Bidar Alam, beberapa kali berhadapan dengan sekelompok orang bersenjata tradisional dengan kelihaian bela diri yang kadang tidak masuk akal.
Sekelompok orang dengan‘kelihaian yang tak masuk akal’ inilah yang dijuluki “Barisan Maut” dalam laporan Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI). “Barisan Maut” itu adalah laskar rakyat yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan bela diri,” kata laporan BPPI. Inteligen Belanda juga menulis laporan tentang adanya perlawanan yang cukup alot ketika tentara Belanda mengejar Syafrudin hingga ke Sungai Dareh. IdrianIdroesst. Sulaiman dalam laporan BPPI juga mengungkap: karena begitu sulitnya melakukan penyergapan dan penangkapan pada kelompok ini, maka Belanda melabeli mereka sebagai Black Cat, si Kucing Hitam. Pasukan Belanda cukup kewalahan menghadapi kelompok ini.
Dan tulisan ini bukanlah tentang PDRI. Ini tentang sebuah laskar sipil yang berisi para pesilat dandicatat dengan sebutan yang ganjil: Black Cat, Barisan Maut. Barisan yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan bela diri, para pesilat tangguh di lintasan Sijunjung, Sungai Dareh, hingga ke Gunung Medan yang dulu membuat tentara Belanda mabuk melawannya.
Dua dekade sebelumnya, 5 Januari 1927, De Indische Courant juga memberitakan tentang pegawai dan orang Belanda yang diserang gerombolan berpakaian hitam dan bersenjata tradisional di distrik Batang Hari. Gerombolan ini memiliki kemampuan bela diri. Akankah sebuah gerombolan yang memiliki kemampuan beladiri ini memiliki pewaris hingga dicatat di rentang waktu yang berbeda?
71 tahun setelah agresi penuh darah itu, saya datang ke Sungai Dareh—daerah yang sekarang berada di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Apa kabar dengan negeri itu kini? Apa kabar Black Cat, Barisan Maut, apa kabar para pesilat?
Silat, 14 Desember 2019, UNESCO telah melabelinya sebagai warisan ‘Dunia Melayu’ tak benda, yang tidak semata berisikan gerakan mematikan, melainkan juga mengandung filosofi dan tatanan hidup. Tatanan hidup yang bagaimana?
Kini, daerah yang dicatat sebagai tempat berdiamnya barisan ‘maut’ itu telah berubah. Lintasan Sumatera yang lebar, Sungai Batanghari berwarna kuning kecoklatan. Saya berjalan ke Candi Pulau Sawah, warisan masa silam yang masih terjaga di Dharmasraya. Mesin-mesin pengeruk emas mengepulkan asap, warisan hari ini. Di manakah ‘Black Cat” yang disebut tentara Belanda dulu? Tidak seorang pun yang tahu, jangan-jangan itu cuma stereotipe perwiraBelanda saja untuk melabeli musuh mereka yang dianggap memiliki ‘kemampuan yang tak masuk akal’.
Dan malam ini, sebelum malam pergantian tahun 2019, saya duduk di depan sepuluh orang pesilat di Jorong Sungai Duo, Dharmasraya, dan saya tengah ditertawai karena mencari ‘Black Cat’ pun ‘Barisan Maut’. Nama itu dianggap terlalu berlebihan untuk menyebut sekelompok laki-laki di tanah yang berisi pesilat.
“Dari Gunung Medan, Sungai Dareh hingga ke Pulau Punjung dan Sijunjung sana, banyak laman silat. Semua saling kenal. Karena sejak dulunya kerap melawan Belanda dan memiliki aliran yang sama, yaitu Pangian,” kata Syafril, lelaki uzur pewaris aliran Silat Pangian.
Aliran silat ini, kata Syafril lagi, dipimpin oleh seorang guru besar yang telah kelewat tua bergelar Datuk Mangku, pemangku Batanghari. Batanghari, sungai besar yang melintang membelah Dharmasraya di mana kerajaan-kerajaan berdiri di tepinya, arca-arca ditemukan, sungai dengan catatan sejarah yang panjang berabad-abad silam yang berpaut erat dengan sebuah ekspedisi yang disebut Pamalayu.
Saya melihat beberapa lelaki muda, pria-pria uzur duduk melingkar dalam rumah. Kemudia mereka berjalan bergantian ke halaman. Di halaman, masing-masing membuka langkah, tengah bersilat seperti bertarung. Kemenyan dibakar, ayam yang disembelih sebagai sarat bagi tiga orang murid baru yang masuk ke perguruan ini. Ketika malam telah kian larut, tiga murid itu diajarkan melangkahkan kaki mereka, begitu hati-hati, kadang tangan mereka terlihat seperti menari saja. Seperti inikah gerakan “Barisan Maut” itu dulu? Saya mulai bimbang. Jangan-jangan ini bukan silat, tapi tarian.
Tentang tarian yang saya lihat malam ini, dulu M. Joustra yang pernah datang ke banyak pedalaman Minangkabau mencatat dalam Minangkabau Overzicht van Land, Geschiedenis en Volkdi tahun 1923. Katanya: sangat khas bahwa di negeri-negeri Minangkabau, menari hanya dilakukan oleh laki-laki. Tarian dianggap sangat tidak pantas untuk anak perempuan. Tarian tersebut disebut basilè. Ini masuk dalam bidang olahraga yang berat dan membutuhkan pelatihan telaten. Tujuan dari tarian ini adalah harmonisasi tubuh dan pengembangan kekuatan, keterampilan dalam melakukan semua gerakan tubuh dan otot dengan cepat untuk pembelaan diri. Tarian ini terkadang bisa mematikan dengan kuncian yang membuat lawan tidak bisa bergerak dan bernapas.
Malam kian larut. Saatnya guru-guru mereka kemudian mempertontonkan bagaimana mestinya bersilat. Saya lihat gerakan-gerakan tarian di awal. Namun, langkah berikutnya kian cepat, begitu cekatan. Mereka seperti benar-benar bertarung dengan teknik-teknik yang beragam; teknik mematahkan rahang, memelintir kepala, melumpuhkan lawan yang bersenjata, pola-pola penyergapan yang lincahdan cepat. Dan, bagi saya—tidak hanya bagi pasukan Belanda—kadang tak masuk akal kecepatan mereka jika dilihat dengan mata telanjang. Tubuh mereka menggeliat, sesekali terdengar bunyi gedebuk ketika tubuh mereka jatuh ke tanah. Mata mereka memantulkan kilau yang aneh diterpa cahaya dari bohlam.
“Dari dulu, bahkan sebelum zaman penjajah, gerakan silat Pangian ini tidak berubah. Itu baru yang terlihat. Yang tak terlihat, adalah mata batin, kesigapan. Dan ini adalah pegangan ketika tidak ada lagi tempat mengadu. Pegangan ini tidak boleh asal digunakan saja, apalagi untuk menyombongkan diri,” kata seorang tua lain, yang dipanggil Pandeka Bunsu oleh muridnya. Inikah ‘Black Cat’? Orang-orang inikah pewarisnya? Pertanyaan itu tidak lagi saya ajukan. Murid-murid baru itu akan berlatih tiga malam berturut-turut di laman silat ini. Dan lebih lanjut, setelah beberapa bulan, mereka akan dibawa ke guru-guru mereka ke hutan berhari-hari.
“Di hutan, seorang lelaki akan diuji. Ia akan bertemu musuh yang tidak pernah ia bayangkan. Bisa jadi manusia, harimau, bisa saja terlihat, bisa juga tidak. Ini akan menempa batin. Biar mereka (murid baru) itu tahu, kalau hidup tidak hanya apa yang terlihat oleh mata,” ujar seorang ‘tua silat’ lain meningkahi.
Kelam kian leluasa. Di bawah sinar lampu, murid-murid itu terus belajar gerakan-gerakan, serangan-serangan tajam. Kopiah hitam bertengger di atas kepala, sarung melilit pinggang. Aroma kemenyan menyeruak dingin malam. Perempuan-perempuan menabuh canang, gong. “Sekarang, perempuan tidak boleh lagi belajar silat Pangian. Dulu silat ini dikembangkan oleh seorang perempuan yang merantau ke Pangian, daerah aliran sungai yang nanti berhubungan dengan Batanghari ini. Walau silat ini memiliki asal dari seorang perempuan, tidak boleh diajarkan pada perempuan. Buat apa? Negeri sudah aman. Tidak ada lagi perang. Perempuan boleh belajar silat yang lain, yang batin, bukan yang kau lihat ini,” Siti Saadah perempuan berusia 80 tahun itu terus bercerita pada saya, dan tangannya terus menabuh canang sebagai wujud dari kegembiraan para perempuan di perguruan ini menerima murid.
Esok malam, dan malam-malam berikutnya, murid-murid baru perguruan Pangian itu masih akan terus berlatih. Saya membayangkan Sjafruddin dan pelarian itu, saya membayangkan Barisan Maut. Saya membayangkan keadaan pada masa itu. Koran-koran Belanda masa itu mengabarkan, barisan rakyat ini terus didesak hingga Sungai Dareh. Belanda merasa telah menumpas mereka sejak di Sijunjung, namun janggalnya, barisan yang telah ditumpas itu seperti tidak habis-habis dan kembali berhadapan dengan Belanda di Sungai Dareh. Barisan itu kemudian lenyap begitu saja. Di Padang Laweh, (daerah yang tidak begitu jauh dari tempat saya duduk malam ini) dulu dengan penuh kekesalan pasukan Belanda membakar kampung memancing gerombolan itu keluar. Namun, intelijen mengabarkan: Sjafruddin telah meninggalkan Sungai Dareh dan jejaknya hilang begitu saja.
Sjafruddin tidak pernah tertangkap dan Indonesia masih ada hingga hari ini. Di Sungai Dareh, tugu PDRI didirikan kemudian untuk mengingat betapa rakyat menolak kolonialisme bercokol. Pesilat-pesilat yang dulu disebut sebagai Black Cat, Barisan Maut, mungkin telah tiada. Akan tetapi, filosofi dan tatanan hidupnya terus diwariskan turun-temurun hingga sekarang. Di Dharmasraya yang modern, candi-candi, benda-benda peninggalan masa lampau masih lestari di tepi Batanghari. Begitu juga silat. ***
*Penulis yang tertarik dengan sejarah Minangkabau. Tulisannya telah dimuat di media dan jurnal ilmiah