Bumi Teater: Tentang Latar Budaya dan Ketokohan dalam Komunitas Seni

-

Selasa, 05/11/2019 14:09 WIB
Pementasan naskah

Pementasan naskah "Imam Bonjol" Bumi Teater di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat menjelang pementarsan di Festival Istiqlal di Jakarta tahun 1995--foto dok maknaih

OLEH Sudarmoko
Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand

Tulisan ini membahas keberadaan Bumi, sebuah kelompok seni di Sumatera Barat, dengan melihat faktor penting yang mendukung proses dan capaian yang berlangsung dalam waktu yang panjang. Kedua faktor tersebut adalah latar belakang budaya yang menjadi penopang dan sumber penciptaan, dan totalitas tokoh yang menjadi magnet bagi proses panjang perjalanan kelompok kesenian tersebut. Sebelum pembahasan kedua hal tersebut, di dalam tulisan ini saya akan memberikan konteks sejarah kesenian dan kebudayaan di Sumatera Barat di sekitar periode keberadaan Bumi, yang memiliki pengaruh bagi keberadaan Bumi dan pilihan bentuk artistiknya.  

Bumi Teater yang didirikan oleh Wisran Hadi, bersama beberapa orang seperti Herisman Is, Hamid Jabbar, dan Puti Reno Raudha Thaib, pada tahun 1976 pada awalnya memiliki fokus pada seni rupa. Hal ini dikarenakan, salah satunya, latar belakang pendidikan Wisran dari ASRI Yogyakarta. Pilihan seperti ini kemudian berkembang dan merambah bidang seni lain, sastra dan teater, yang kemudian malah menjadi bidang yang menonjol dari Bumi Teater dan Wisran Hadi sebagai seorang pengarang. Ketiga bidang seni ini memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perjalanan Bumi, yang dapat dibuktikan dengan karya-karya yang telah dihasilkan dan capaian-capaian prestisius yang didapatkan.

Keberadaan Bumi Teater di lapangan seni budaya Sumatera Barat memiliki posisi yang penting. Di antara grup atau komunitas seni yang pernah berdiri, Bumi memberikan jejak proses kreatif dan sekaligus resonansi kesenian yang cukup berpengaruh. Bumi menjadi seperti grup yang memiliki efek spiral yang melahirkan sejumlah seniman dan budayawan yang turut mendukung keberlangsungan seni budaya di Sumatera Barat. Bumi tidak hanya berpusat pada aktivitas yang dikelolanya saja, namun juga menjangkau kantong-kantong lain, seperti sekolah-sekolah, mengirimkan anggotanya untuk mendampingi dan membentuk grup-grup teater, untuk kemudian memberikan ruang pertemuan kembali. Kondisi demikian tentu saja memperlihatkan fungsi komunitas seni dalam bentuk yang lain, yaitu membangun iklim yang kondusif dalam membentuk ekosistem seni budaya.

Konteks Sosial, Politik, dan Budaya Bumi

Tahun pendirian Bumi Teater merupakan masa-masa kelanjutan dari perjalanan kesenian dan kebudayaan di Indonesia, khususnya setelah kemerdekaan. Periode tahun 1940an hingga 1960an merupakan sebuah masa dimana para tokoh pemikir kebudayaan meletakkan fondasi arah kebudayaan, dengan mengimajinasikan masa depan kebudayaan Indonesia. Kita tentu saja ingat dengan polemik yang terjadi antara berbagai pihak, untuk menawarkan rumusan kebudayaan Indonesia. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan salah satu pernyataan sikap yang cukup berani dalam memandang arah kebudayaan mana yang akan dituju. Mereka yang mencetuskan sikap ini memandang kebebasan dalam mencari, merujuk, mengonsep, mempraktikkan, dan mengembangkan kebudayaan dari berbagai sumber.

Benturan-benturan pemikiran dan ideologi dalam menawarkan rumusan kebudayan juga terjadi. Kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan pandangan ikut memperkaya diskusi dan upaya pencarian arah kebudayaan itu. Misalnya saja Lekra, Lesbumi, hingga lembaga-lembaga dari perguruan tinggi turut menyumbangkan pemikirannya. Secara mendasar, polemik kebudayaan juga sampai ke daerah-daerah. Berbagai gerakan, diskusi, polemik, digelar. Sementara pranata atau infrastruktur kebudayaan itu sendiri masih mencari bentuk dan tatanan yang ideal, keberadaan komunitas seni turut mengisi usaha pembentukan karakter kebudayaan.

Di Sumatera Barat, dalam catatan yang saya miliki, keberadaan Bumi merupakan langkah awal dimulainya pengelolaan kesenian yang cukup terstruktur. Jika pada masa awal kemerdekaan lahir Seniman Muda Indonesia yang diasuh oleh beberapa seniman seperti AA Navis, Djanain, Delsy Syamsumar, Decha, dan sebagainya, namun kondisi sosial politik tidak mendukung sepenuhnya untuk berkembang secara baik. Beberapa peristiwa sosial politik yang terjadi, seperti perang kemerdekaan (1947-1949), Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (1948-1949), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (1956/8-1961), hingga peristiwa upaya kudeta 1965, kegiatan seni budaya di Sumatera Barat dapat dikatakan tidak menemukan gerak yang leluasa. Sejak 1965, dengan pendirian Sekolah Seni (Sesri atau SMSR) di Padang, dan juga pembukaan Konservatorium atau SMKI di Padangpanjang, masa depan kesenian dan kebudayaan seperti menunjukkan kemungkinan potensi pengembangannya.

Tentu saja dengan adanya lembaga pendidikan seni seperti di atas memerlukan ruang yang dapat menerima aktivitas dan kreativitas para lulusannya. Salah satu jawaban tentunya adalah kehidupan kesenian dan kebudayaan di lapangan nyata. Pendirian Pusat Kesenian Padang, yang kemudian menjadi Taman Budaya, berdirinya kelompok atau komunitas seni seperti Sanggar Kinantan, Krikil Tajam, Daerah Persinggahan, dan Bumi cukup memberikan bukti bagaimana proses tersebut berlangsung. Melalui aktivitas dan kreativitas kesenian yang diakomodir oleh komunitas seperti ini kesenian menemukan ruang yang kondusif. Ruang-ruang ini memberikan peluang bagi publikasi, diseminasi, dan diskusi atas karya-karya yang lahir, kritik dan evaluasi, hingga penataan dan perencanaan masa depan kesenian dan kebudayaan.   

Pemindahan ibu kota provinsi Sumatera Tengah (kemudian menjadi Sumatera Barat) dari Buktitinggi ke Padang pada tahun 1975 juga turut mengubah peta kesenian dan kebudayaan. Aktivitas kesenian yang semula berada di darek, dengan karakter yang cenderung homogen, menjadi lebih heterogen karena letaknya di pesisir atau Padang. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagaimana pengelolaan kesenian, misalnya, dengan pengaruh dari luar, dapat memberikan nilai lain dalam perkembangannya.

Latar Budaya dan Ketokohan dalam Bumi

Bumi Teater setidaknya memiliki dua sebab penting sebagai sebuah kelompok teater yang memiliki nafas panjang. Pertama karena memiliki dukungan latar budaya seperti tradisi mengolah naskah sendiri, dan kedua karena memiliki tokoh sentral sendiri. Kedua hal ini tidak hanya terjadi pada kasus Bumi, namun juga pada kelompok lain yang memiliki daya tahan serupa, terutama pada masa yang sama juga.   

Untuk yang pertama, dukungan latar budaya bagi teater, Bumi mendapat peluang dengan mengolah naskah-naskah yang dihasilkan oleh Wisran Hadi sebagai olahan utama. Proses yang bersamaan antara naskah dengan pertunjukan juga menjadi sebuah keunggulan. Misalnya saja dilakukan oleh Bengkel Teater, Teater Populer, dan juga Garasi. Dengan sistem seperti ini, Bumi memiliki kelelusaan untuk mencari bentuk pertunjukan yang sesuai, proses penciptaan yang lentur, dan juga sumber pengolahan artistik yang berbeda dari kelompok lain yang berlatar belakang budaya berbeda.

Dengan demikian, kita dapat menyaksikan bagaimana Bumi menjadi sebuah kelompok teater dengan capaian artistik yang mumpuni di antara kelompok-kelompok teater lainnya di Indonesia. Bahasa pertunjukannya cenderung menawarkan kekhasan budaya, bahkan jika kita bandingkan dengan kelompok teater lainnya dengan menggunakan dialog dan narasi yang kuat dan menjadi landasan pertunjukannya. Wisran dapat memanfaatkan kekuatan bahasa lisan, metaforik, kontradiktif, ambigu, yang ada dalam bahasa Minangkabau, menjadi dialog yang memiliki keunggulan untuk dijadikan naskah atau dipertunjukkan.

Kekuatan bahasa dalam naskah-naskah yang dihasilkan Wisran, bersamaan juga dengan proses yang terjadi dalam pertunjukan yang dibuatnya, juga berhasil ketika menjadi sebuah naskah drama. Bahasa yang digunakan menyimpan potensi dramatik, seperti juga naskah, atau lebih tepatnya narasi, seperti yang tersebar dalam naskah-naskah tambo yang menjadi dasar bagi pertunjukan teater tradisional (randai, misalnya).   

Sebab yang kedua adalah keberlanjutan teater sebagai sebuah grup, dengan adanya faktor utama yang menjadi kendali dan juga daya hidup. Di antaranya adalah sutradara, atau orang yang menjadi bagian inti dari grup tersebut. Posisi ini dipegang oleh Wisran Hadi. Ia memiliki visi, strategi, dan daya tahan untuk menjaga keberlangsungan Bumi. Dengan mendedikasikan dirinya dengan banyak cara demi keberlangsungan Bumi, Wisran telah menunjukkan diri bagaimana totalitas itu memang diperlukan bagi kelompok seni.

Di sini juga terlihat bagaimana Wisran Hadi membagi dirinya untuk keperluan beberapa bidang seni dan budaya yang berbeda penanganannya. Kelompok teater memerlukan pendekatan yang komunal, interaksi yang intensif, dan melibatnya banyak pihak dan orang. Sementara dalam penulisan naskah, juga karya sastra yang dihasilkannya, lebih bersifat personal, memerlukan ruang privat, dan proses yang individual. Di lain pihak, dalam skala yang lebih luas, Wisran masih memberikan kontribusi dalam hal kebijakan, pengelolaan peristiwa kesenian dan kebudayaan, hingga perdebatan kebudayaan. Posisi ini membentuk pilihan tematik hingga ketegasan dalam karya-karya pertunjukan teaternya.

Setidaknya, dari dua sebab di atas Bumi Teater memang menonjol sebagai sebuah grup kesenian, dan dalam waktu yang cukup panjang. Sebenarnya kita dapat menempatkan pembicaraan ini dalam tubuh Bumi itu sendiri, yang memilik bidang seni rupa dan sastra. Wisran menempatkan kedua bidang ini sebagai bagian yang lain dalam proses berteaternya, meskipun sebenarnya menjadi penyangga yang mendukung proses itu. Ia berhasil dalam dua hal sekaligus, pertunjukan teater sebagai hasil dari proses kolektif, dan naskah drama sebagai karya individual. Namun lagi-lagi kedua bidang terakhir ini memiliki karakter yang berbeda, sebagaimana disebut di atas, dan memberikan pengaruh kolektif dalam bentuk yang lebih sporadis, individual, dan nyaris tidak banyak diperbincangkan.    

Bumi Kini

Lalu apakah Bumi hanya akan menjadi sejarah dalam perkembangan kesenian dan kebudayaan di Sumatera Barat, misalnya, karena dua faktor di atas tidak lagi bekerja? Misalnya saja, setelah Wisran Hadi meninggal dunia, dan tidak ada yang menjadi figure sentral dalam mengelola Bumi, grup ini dapat tetap hidup dan mendapatkan sumber penciptaan. Saya melihat sejumlah kehilangan, tentu saja, dan juga pelajaran dari analisis di atas. Mengelola grup teater, juga komunitas seni secara umum, memerlukan totalitas, terutama dari tokoh inti di dalamnya. Kekuatan manajemen pengelolaan yang modern tidak serta merta dapat menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kelompok seni. Proses dan produk utama dari kelompok seni adalah capaian artistik dan estetik, yang sangat ditentukan oleh senimannya. Ketergantungan pada sosok atau figur ini masih belum dapat dihindari dan diabaikan, karena sifatnya sangat melekat pada kompetensi seni yang dimilikinya.

Pada kasus Bumi Teater, inisiatif untuk mengadakan Festival Bumi dengan serangkaian pertunjukan karya-karya yang telah dihasilkan oleh Wisran Hadi, dapat menjadi pengingat sejarah kesenian dan kebudayaan di Sumatera Barat. Hanya saja, festival ini memiliki ancaman sebagai sebuah rutinitas, selebrasi, reproduksi, dari apa yang pernah ada, jika tidak dicarikan sebuah konsep dan tujuan yang lebih progresif dan futuristik, terutama bagi kepentingan kesenian dan kebudayaan hari ini dan masa depan. Kontekstualisasi, pembacaan ulang, bahkan pada upaya dekonstruksi sebaiknya diberikan peluang yang lebih luas.

Perkembangan teater hari ini juga sudah memiliki warna yang lebih beragam, dengan pilihan dan dukungan estetik dan artistik yang juga bervariasi. Semangat pencarian, elan vital, daya tahan, konsep dan kepercayaan pada proses berkesenian, dan keberanian dalam menawarkan interpretasi, yang harus dapat dijadikan sebagai spirit dari proses penting yang telah dilalui oleh Bumi. Bagi saya, hal seperti ini yang menjadi contoh penting untuk terus menerus dipertimbangkan. Hal ini bisa menjadi tulang punggung bagi proses kemanusiaan dan kebudayaan yang ideal dan bermartabat. Apalagi bila dihubungkan dengan godaan bagi para seniman dan budayawan, dalam industri dan ekonomi kreatif yang menyediakan tawaran kapitalisasi ekonomis, alih-alih menawarkan nilai yang memperkuat kemanusiaan kita.

Namun demikian, sisi latar belakang budaya dan ketokohan dalam membangun dan menjaga keberlangsungan komunitas seni masih menjadi pilar yang penting. Kemunculan tokoh yang sekaligus juga memiliki idealisme, totalitas, dan latar belakang yang kuat dalam ranah kebudayaan memang tidak banyak. Kerja-kerja komunal sering kali harus berseberangan dengan urusan pribadi. Manajemen komunitas dengan pendekatan yang lebih modern memang telah diperkenalkan oleh banyak pihak, melalui berbagai program. Akan tetapi, kekuatan komunitas seni di Indonesia umumnya, masih mengandalkan kekuatan bahan olahan budaya yang terdekat dan juga ketokohan yang mampu mengikat berbagai elemen yang terakit dan terkait dengan komunitas seni masing-masing. Dampak yang ditimbulkan, memang, kekhawatiran pada keberlangsungan komunitas yang ada. Seperti yang dialami oleh Bumi Teater. Dan ini dapat menjadi sebuah pertimbangan dalam memilih cara pengelolaan komunitas seni.***



BACA JUGA