Muthia Rianti dan “Saruik Batali Salingkaik Baduri”: Catatan Pementasan dari Ganggam Tari Kontemporer 3

Kamis, 11/09/2025 06:00 WIB
karya tari kontemporer berjudul Saruik Batali Salingkaik Baduri karya Muthia Rianti yang dipentaskan dalam perhelatan Ganggam Tari Kontemporer 3 di Taman Budaya, Minggu, 7 September 2025, bertempat di Lantai 4 Gedung Dinas Kebudayaan Sumatera Barat.

karya tari kontemporer berjudul Saruik Batali Salingkaik Baduri karya Muthia Rianti yang dipentaskan dalam perhelatan Ganggam Tari Kontemporer 3 di Taman Budaya, Minggu, 7 September 2025, bertempat di Lantai 4 Gedung Dinas Kebudayaan Sumatera Barat.

OLEH Joni Andra (Koreogragfer Indonesia)

PANGGUNG gelap. Pencahayaan tidak tidak ada. Kondisi gelap ini justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi penonton sebab terganggu oleh cahaya billboard promosi acara yang terletak sangat dekat di sisi kanan dan kiri panggung. Tempat pementasan tari ini sesunggung bukan panggung pertunjukan seni tapi ruang serba guna.    

Tiga penari sudah berada di tengah panggung. Seorang penari perempuan tampak mengenakan baju putih dengan celana yang tidak jelas bentuknya—apakah galembong yang dimodifikasi atau celana pendek sebatas lutut. Sementara itu, dua penari laki-laki terlihat memeluk kaki dan meringkuk di bawah tubuh penari perempuan. Keduanya mengenakan kostum hampir serupa: celana pendek sebatas lutut (semi galembong) berwarna hijau tanpa baju.

Para penari laki-laki bergerak pelan, meliuk, lalu sesekali beralih ke gerakan cepat dan dinamis. Sejak awal hingga akhir, koreografer tampak berupaya mengeksplorasi berbagai bentuk gerak, saling mengisi, serta membangun komposisi melalui lompatan, rangkulan, lepas, dan lari. Pertunjukan ditutup dengan adegan dua penari laki-laki menyeret tubuh penari perempuan di lantai.

Deskripsi singkat tersebut merupakan bagian dari karya tari kontemporer berjudul Saruik Batali Salingkaik Baduri karya Muthia Rianti yang dipentaskan dalam perhelatan Ganggam Tari Kontemporer 3 di Taman Budaya, Minggu, 7 September 2025, bertempat di Lantai 4 Gedung Dinas Kebudayaan Sumatera Barat.

Koreografi Saruik Batali Salingkaik Baduri ingin menyampaikan makna kehidupan sebagai akar: diam, tetapi tak pernah mati; tumbuh lentur, merambat penuh kesetiaan, serta menguat dalam keterhubungan. Akar-akar itu bukan hanya jalinan biologis, melainkan simbol hubungan manusia yang saling bersinggungan, bersilang, dan menyatu dalam harapan.

Akar tumbuhan menjadi sumber ide koreografer Muthia Rianti, dipahami sebagai gambaran perjalanan hidup. Secara harfiah, akar berperan penting bagi tumbuhan: menyerap air dan nutrisi, menopang batang agar kokoh, dan semakin kuat seiring pertumbuhan pohon. Koreografer berusaha memaknai akar sebagai bentuk yang terus tumbuh, bergerak pelan, menyerupai interaksi manusia yang saling berhubungan. Dengan demikian, akar dijadikan metafora kehidupan manusia yang seharusnya tergambar dalam gerak.

Namun, gerak lompat, rangkul, dan liukan tubuh yang dilakukan berulang kali terasa naif. Gerakan dengan teknik sulit tidak didukung kemampuan penari yang seharusnya dapat lebih maksimal jika melalui latihan panjang. Pertunjukan berlangsung dalam tempo cepat dari awal hingga akhir, seolah-olah penonton tidak diberi jeda untuk bernapas sejenak. Karya ini terjebak dalam teknik rumit, mengejar tempo dan kecepatan tanpa memperhatikan makna setiap gerakan, sehingga terlihat masih “mentah.”

Pola lantai pun terkesan acak, tanpa hubungan sebab-akibat yang jelas. Transisi antargerakan sering kali terputus. Koreografer gagal menyatukan rangkaian karena terjebak pada obsesi menghadirkan teknik sulit yang tidak sepenuhnya dikuasai penari. Beberapa liukan tubuh bahkan menimbulkan kesan erotis di atas panggung. Mungkin koreografer bermaksud menggambarkan akar yang menjalar dan berliuk, tetapi hal itu tidak tercapai, terutama dengan kostum yang justru memberi kesan glamor.

Sebagaimana kita ketahui, tari kontemporer memuat nilai kritis dan visi yang ingin disampaikan kepada penonton. Keterkaitan ide, gagasan, gerak, dan seluruh elemen menjadi penting, tetapi hal itu tidak terlihat dalam karya ini. Judul yang kental dengan nuansa Minangkabau pun tidak tercermin pada perwujudannya. Gerak dasar dari silek Minangkabau tidak tergarap dengan baik. Langkah silek dan kuda-kuda hanya menjadi bentuk kosong tanpa rasa. Padahal, bagi penari Minangkabau, pemahaman silat bukan sekadar bentuk, melainkan juga makna dan filosofi yang menyertainya.

Karya yang penuh gerak belum matang ini diiringi musik garapan Dimas Dwi Septa. Sayangnya, musik hanya hadir sebagai pelengkap, bukan “jiwa” pertunjukan. Alunan dan dentumannya tidak memperkuat rasa, bahkan terlepas dari musik tradisi yang seharusnya dapat memperkaya karya.

Kostum dan riasan terlihat sangat modern. Seluruh penari mengenakan rambut palsu gimbal yang dihiasi kilatan glitter, mengingatkan pada era musik reggae beberapa dekade silam. Mungkin koreografer bermaksud menghadirkan rambut gimbal sebagai simbol akar. Namun, hal itu justru mengaburkan makna, sehingga penari tampak seperti penampil disko era 1980-an.

Rambut gimbal panjang tersebut juga menyulitkan penari yang tidak terbiasa, mengganggu gerakan, serta memecah konsentrasi. Riasan mencolok dengan glitter berkilau pun tidak mendukung karakter karya. Dalam tari kontemporer, tata rias seharusnya mendukung konsep dan ide, bukan sekadar kosmetik. Karakter lahir dari rasa dan ekspresi yang kuat, bukan dari rias glamor.

Dalam teori tari, proses penciptaan karya harus melalui eksplorasi, improvisasi, stilisasi, dan komposisi. Namun, di masa kini, karya tari sebaiknya lahir dari perenungan dan riset mendalam, bukan sekadar khayalan. Riset bisa dilakukan melalui interaksi dengan masyarakat sekitar, diperkaya literasi yang memadai. Begitu pula dengan latihan: teknik tidak dapat dikuasai hanya dalam beberapa hari, melainkan membutuhkan waktu panjang untuk membangun “rasa” dalam setiap gerak.

Sayangnya, masih banyak koreografer muda berkarya secara instan, menghindari proses panjang, hanya mengejar penampilan cepat, atau sekadar memenuhi pesanan. Inilah yang kerap menyebabkan karya gagal menyampaikan konsep secara matang.

Namun, setidaknya Muthia Rianti telah berkontribusi pada perkembangan tari kontemporer di Sumatera Barat. Dibutuhkan keberanian untuk hadir sebagai koreografer muda. Teruslah berproses. Waktu tidak pernah meninggalkan kita, justru kitalah yang sering meninggalkan waktu tanpa melewati proses panjang. Selamat melangkah ke rimba kesenian Sumatera Barat.

Tentang Koreografer Muda Muthia Rianti

Muthia Rianti lahir di Padang pada 21 November 1997. Ia menempuh pendidikan S1 di Program Studi Sendratasik Universitas Negeri Padang dan menyelesaikan S2 di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Kini ia berdomisili Kota Padang. Muthia aktif sebagai penari sekaligus koreografer muda.

Pada 2022, ia menjadi penari perwakilan Sumatera Barat dalam kunjungan ISBI Aceh ke ISBI Bandung, sekaligus koreografer tari Limpapeh Rumah Nan Gadang di Sanggar Seni Cahayo Bundo. Pada tahun yang sama, ia meraih Juara I Lomba Tari UGJ di Bandung, Jawa Barat.

Tahun 2024, ia meraih Juara II Lomba Senam Kreasi se-Sumatera Barat serta menjadi koreografer FLS2N dengan karya tari “Basorak Basamo” di SDN 08 Gaduik, Bukittinggi. Pada 2025, Muthia menjadi penari dalam Eksotika Bromo: Ruwat Rawat Segoro Gunung mewakili Sumatera Barat.

Karya Saruik Batali Salingkaik Baduri merupakan ekspresi Muthia dalam memaknai kehidupan manusia yang saling berkaitan. Karya ini lahir dari pengalaman empiris, diperkuat oleh dukungan komposer Dimas Dwi Septa, S.Sn., serta tim produksi: Dani Fajrul Arisy, SE., M.Sn., Alamadina, S.Pd., dan Oktry Ichanur Safri, S.Pd.*



BACA JUGA