
Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang, dalam “Bangku Kayu dan Kamu Yang Tumbuh di Situ #2 pada Festival Teater Tubuh Payung Hitam 2019 di Amphiteater Selasar Sunaryo Art, Bandung, Jawa Barat, Kamis (25/7/2019) lalu. Foto Antara
OLEH Emilda (Petani dan Penikmat Teater)
Tadi malam, Rabu 21 Agustus 2019 di Taman Budaya Sumatera Barat saya menyaksikan pementasan seni pertunjukan yang dibawa Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang berjudul "Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2," karya dan sutradara Yusril Katil. Pertunjukan ini merupakan bagian dari rangkaian Silek Arts Festival 2019 dalam Galanggang Seni Pertunjukan.
Dalam catatan saya, pertunjukkan ini memakan waktu 50 menit. Dari awal hingga akhir pertunjukan membuat penonton antusias dan terpana melihat 4 aktor yang menggunakan 4 kursi kayu yang dieksplorasi apik dengan satu aktor mengeksplorasi satu kursi.
Pertama dari pemain satu yang masuk ke pentas dengan sebelumnya masih memakai pakaian sehari-hari. Tidak dengan pakaian performa yang biasanya, seperti yang telah disiapkan di belakang panggung sebelumnya.
Pemain satu membuka satu per satu pakaiannya di atas panggung dan menukar dengan celana galembong, khas pakaian silek Minangkabau yang berwarna putih. Lagi-lagi soal kebiasaan mulai diperlihatkan dalam awal pertunjukkan ini. Kebiasaan itu dicoba untuk dihancurkan atau dicoba diabaikan.
Dalam benak saya sebagai penonton, sebuah panggung pertunjukan yang merupakan representasi dari pencitraan yang berbeda dengan bawah panggung. Namun kali ini, sutradara mencoba hal baru. Pertama adalah soal kostum pemeran yang diganti di atas pentas, kemudian pemakaian warna celana galembong silat yang biasanya berwarna hitam, dan dalam pertunjukan ini di pakai warna putih.
Selanjutnya tubuh mulai dieksplorasi. Pemain satu yang berada di sudut kanan panggung berdiri, memasukkan kepala ke dalam baju berbahan kaus yang sebelumnya ia pakai, hingga beberapa ekplorasi seperti menggambarkan keterikatan dan keterkungkungan terhadap apa yang ada dalam kebiasaan.
Konsep baju yang pada awalnya adalah sebagai pelindung, penutup tubuh ditampilkan sebagai pengikat tubuh dan pemain satu tampak memberontak dengan itu dan mengusahakan untuk melepaskan keterkungkungan itu sampai baju yang dipakai pemain satu terbuka.
Kemudian pemain dua masuk dengan cara yang sama, masuk dengan pakaian sehari- hari dan menukarnya di panggung dengan celana galembong warna putih yang telah diletakkan sebelumnya di kursi kayu.
Begitu seterusnya hingga masuk pemain tiga dan empat. Pemain empat yang sedikit tengil dengan mengenakkan helmnya saat masuk ke dalam pentas membuat geli para penonton.
Gerakan silek dimulai di atas bangku dengan menaikinya, mendudukinya atau menginjaknya. Baik dalam posisi kursi sedang tegak dengan baik hingga kursi yang rebah atau terjungkir. Berawal dengan adegan konsentrasi, pemanasan sampai gerakan balega (gerakan silat tanding) hingga gerakan gerakan artistik yang membutuhkan keterampilan khusus dengan persiapan tubuh yang kuat.
Gerakan gerakan yang membingungkan bagi penonton hingga jika dinikmati sebagai gerakan yang sangat beragam dapat sebagai penggambaran kehidupan yang beragam seperti nasib yang datang, kadang tinggi, datar dan jatuh menimpa siapa saja kemudian terjatuh lagi, terhempas, terbentur, diimplementasikan dalam bentuk gerakan memukau. Hingga para pemain menceritakan saat sekolah di bangku sekolah dasar, tentang keteraturan, tentang perjalanan kanak kanak dalam aktivitas sekolah, belajar, ditertawakan teman, persaingan, juga tidak dianggap oleh lingkungan dan teman temannya.
Sebagai penonton, saya sangat menikmati. Begitu juga dengan penonton lain yang juga terhibur dengan pertunjukan minim kata dan banyak gerak tubuh ini. Beberapa kalimat yang dilontarkan para pemain hanyalah berupa monolog yang diucapkan sebagai petunjuk sebuah adegan.
"Lawan indak dicari"
"Batamu pantang diilakkan"
"Alu tataruang patah tigo"
"Samuik tapijak indak mati"
Merupakan salah satu petatah petitih yang harus dipegang teguh oleh para pesilat Minangkabau. Di sinilah semua berakar dan harus lekat dalam kehidupan orang Minangkabau yang tidak boleh takut dengan segala masalah yang datang menimpanya.
Pertunjukkan "Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2” ini hanya ditampilkan kali ini saja di Sumatera Barat, membuat saya sangat terpanggil untuk menyaksikannya, karena setelah ini pertunjukan ini hanya akan dilakukan di luar Sumatera yaitu sampai Samarinda dan Malaysia. Jadi rugi rasanya jika tidak mendapatkan kesempatan ini.
Selamat kepada Yusril Katil, pemeran dan kru Komunitas Senin Hitam Putih yang bekerja keras menemukan formula menarik dalam perkembangan perteateran Indonesia, khususnya Sumatera Barat. Salam.