
Laporan Sarah Azmi
Padang, sumbarsatu.com– Universitas Andalas berdiri megah di kawasan Limau Manis, Padang, Sumatera Barat. Gedung-gedungnya menjulang dengan arsitektur modern berwarna putih abu-abu, berbaris rapi mengikuti kontur perbukitan.
Kampus ini dikenal sebagai salah satu universitas ternama di Sumatera, lengkap dengan fasilitas megah: perpustakaan besar, auditorium, pusat riset, dan taman-taman hijau yang tertata apik. Mahasiswa berseliweran dengan tas ransel; sebagian duduk di gazebo atau kafe kampus dengan laptop terbuka, sibuk berdiskusi atau mengerjakan tugas.
Namun, di balik gemerlap citra akademik itu, ada sosok-sosok pekerja yang tak pernah masuk dalam bingkai kamera atau cerita di brosur promosi kampus. Salah satunya adalah Rina (nama samaran), seorang pekerja cleaning service yang telah 13 tahun mengabdi di kampus tersebut.
Rina mengenakan seragam sederhana: kerudung hitam polos, atasan hijau pudar dengan logo perusahaan outsourcing di dada, serta celana kain hitam yang warnanya mulai luntur. Sepatu kanvas hitam yang dipakainya tampak usang, ujungnya sedikit terkelupas. Tangannya cekatan menyapu lorong Gedung F.
Raut wajahnya ramah. Ketika mahasiswa lewat, ia menyapa dengan senyum kecil atau anggukan sopan. Namun, di balik wajah ramah itu, matanya menyimpan letih. Dengan tubuh mungilnya, Rina harus menyisir Gedung F yang luasnya mencapai ratusan meter persegi, dari pagi hingga sore. Meski telah bekerja lebih dari satu dekade, upah yang ia terima tak pernah jauh dari angka Rp2 juta per bulan.
“Saya sudah senang mendapatkan pekerjaan ini. Di tempat lain saya tidak akan diterima karena terkendala usia dan ijazah. Mungkin karena itu saya tidak digaji sesuai UMR,” katanya pelan, Kamis (1/5/2025).
Di rumah, Rina adalah ibu dari tiga anak yang masih bersekolah. Suaminya bekerja sebagai buruh bangunan harian. Setiap bulan, Rina harus memutar otak untuk membayar uang sekolah, membeli sembako, serta melunasi kontrakan kecil di pinggiran Padang.
“Kadang kalau ada pengeluaran mendesak untuk kebutuhan sekolah, saya harus pinjam dulu ke tetangga. Yang susahnya itu kalau anak-anak sedang butuh beli buku sekolah,” ujarnya sambil tertawa kecil, menutupi getir.
Gaji Rp2 juta jelas berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Kota Padang tahun 2025, yang telah ditetapkan sebesar Rp2.994.193,47. Pekerja outsourcing seperti Rina sering kali luput dari perhatian, meski mereka bekerja untuk lembaga besar milik negara.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerja berhak atas upah minimum, jaminan kesehatan, dan perlindungan sosial.
Sementara itu, di sektor industri, keluhan lain muncul dari seorang buruh laki-laki berusia 30-an yang enggan disebutkan namanya. Ia bekerja di sebuah perusahaan jasa pengiriman obat di Kota Padang. Meski upahnya sesuai UMR, ia mengaku gajinya selalu dibayarkan dalam tiga kali cicilan setiap bulan.
“Awal bulan cuma dikasih separuh, nanti tanggal 15 baru setengah lagi, akhir bulan baru lunas semua. Kadang kalau istri saya butuh biaya mendadak, seperti ke rumah sakit, mesti kasbon di kantor,” tuturnya. “Kalau mau protes, takut dipecat. Yang penting bisa kerja dulu.”
Yang lebih parah, ia bahkan tidak didaftarkan ke BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan. Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan seluruh pekerjanya. Praktik seperti ini bukan hanya melanggar aturan administratif, tetapi juga merampas hak-hak dasar buruh untuk hidup aman dan sehat.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI) Sumatera Barat, Ihsan Riswandi, menegaskan bahwa kondisi ini merupakan bentuk pengabaian hak asasi manusia.
“Kalau pekerja outsourcing di institusi publik seperti Unand saja dibayar di bawah UMR, bagaimana nasib mereka yang bekerja di sektor informal atau pabrik kecil?” ujarnya. “Kami melihat ada pola pembiaran. Negara tidak cukup hadir untuk memastikan hak-hak normatif buruh dipenuhi. Padahal, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 jelas menyebut setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Ihsan juga mengingatkan bahwa praktik pembayaran upah secara dicicil dan penghilangan hak atas jaminan sosial adalah bentuk eksploitasi yang harus dihentikan.
“Buruh bukan sekadar tenaga kerja murah. Mereka manusia, punya keluarga, punya kebutuhan. Perusahaan tidak boleh menekan buruh hanya demi meraup keuntungan dari kerja keras mereka,” tambahnya.
PBHI Sumbar mendesak pemerintah daerah, terutama Dinas Tenaga Kerja, untuk segera melakukan inspeksi mendalam ke tempat-tempat kerja yang diduga melanggar hak-hak buruh. Selain itu, institusi pendidikan seperti Unand juga diminta mengevaluasi sistem kerja outsourcing yang digunakan selama ini agar pekerja di bawahnya mendapatkan perlindungan yang setara.
Sementara itu, di ujung percakapan, para buruh berharap agar pekerjaan mereka dihargai sesuai dengan kewajiban yang telah mereka jalankan, dan agar perusahaan mematuhi aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Di Hari Buruh Internasional ini, suara-suara mereka seharusnya menggema lebih keras. Sebab, tanpa mereka, kampus, pabrik, kantor, bahkan rumah-rumah kita tak akan berjalan sebagaimana mestinya. SSC