"The Margin of Our Land" Sukses Usung Konflik Tanah Ulayat ke Atas Panggung

PERTUNJUKAN 5 KREATOR ISI PADANG PANJANG DI PEKANBARU

Minggu, 29/10/2017 15:48 WIB
Tari-teater “The Margin of Our Land” di Gedung Anjungan Seni Idrus Tintin, di Pekanbaru pada Sabtu (28/10/2017)  (Foto Denny Cidaik)

Tari-teater “The Margin of Our Land” di Gedung Anjungan Seni Idrus Tintin, di Pekanbaru pada Sabtu (28/10/2017) (Foto Denny Cidaik)

Pekanbaru, sumbarsatu.com--Pertunjukan tari-teater "The Margin of Our Land", kolaborasi lima kreator seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, yang digelar di Anjungan Seni Idrus Tintin Pekanbaru, Sabtu (28/10/2017) malam, dipadati penonton. Gedung berkapasitas 300 kursi itu penuh, yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, seniman, dan budayawan Riau.

Tari-teater "The Margin of Our Land" berkisah tentang konflik tanah ulayat di sebuah nagari di Minangkabau. Akhir dari perseruan soal tanah ulayat, direpresentasikan dengan hilangnya harga diri bundo kanduang dam kaumnya sebagai pemilik tanah ganggam bauntuak itu. Investor telah meluluhlantakkan apa yang mereka miliki secara turun temurun.

Pertunjukan tari-teater berdurasi 60 menit itu, digarap secara penuh lima kreator yang terdiri dari Ali Sukri (untuk koreografi), Kurniasih Zaitun (teater), Sahrul N (dramaturg), Elizar (musik), dan Yusril Katil (skenografi), dan diperkuat dengan 11 pemain.

Tari-teater “The Margin of Our Land” merupakan hasil dari dari penelitian, penciptaan, dan penyajian seni yang menceritakan tentang tanah pusaka (ulayat) atau ganggam bauntuak di Minangkabau.

Penciptaan seni yang berbentuk tari-teater berangkat dari kondisi sosial budaya Minangkabau tentang tanah ulayat atau ganggam bauntuak yang kerap bermasalah. Kami mennyajikannya dalam bentuk pertunjukan seni di atas panggung dengan mengelaborasikan tari-teater-musik. Karya ini berangkat dari riset dan penelitian.

Pagelaran "The Margin of Our Land" berjalan atas kerja sama Dinas Pariwisata Provinsi Riau dengan ISI Padang Panjang yang dihadiri langsung Rektor ISI Padang Panjang Prof Dr Novesar Jamarun, MS dan Pembantur Rektor I Ediwar, S.Sn., M.Hum., Ph.D. Terlihat hadir Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Islam Riau Muslim, S.Kar,. M.Sn. Namun, tak terlihat pejabat setingkat kepala dinas atau perwakilannya dari jajaran Pemprov Riau yang ikut menyaksikan peristiwa budaya ini.

"Pihak ISI Padang Panjang berterima kasih kepada semua pihak di Provinsi Riau, terutama pada Dinas Pariwisata yang membantu kegiatan ini sehingga pihak ISI Padangpanjang bisa tampil di Idrus Tintin, Pekanbaru. Sebelum di sini, beberapa kreator seni lainnya juga tampil di Yogyakarta dan Medan. Penampilan ISI Padang Panjang ini diharapkan memberi inspirasi bagi kita semua untuk lahirnya penciptaan-penciptaan seni baru ke depannya," kata Novesar Jamarun saat beri sambutan. Dia juga ucapkan terima kasih kepada seniman dan budayawan di Riau yang telah membantu kegiatan ini.

Sementara itu, salah seorang penonton bernama Nidia Wanti dari UIR mengaku puas dengan garapan dan kisah yang dihadirkan dalam pertunjukan seni-teater "The Margin of Our Land".

"Ini pertunjukan dengan konsep garapan kontemporer tapi tetap berbasis tradisi. Saya suka garapan seperti ini. Selain, ceritanya komunikatif walau ada beberapa adegan yang berlama-lama. Tapi secara umum "The Margin of Our Land" bagus," kata Nidia.

Pertunjukan tari-teater “The Margin of Our Land” merupakan hasil dari dari penelitian, penciptaan, dan penyajian seni yang menceritakan tentang tanah pusaka (ulayat) atau ganggam bauntuak di Minangkabau. Program ini merupakan hibah bersaing dari Dirjen Dikti, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Menurut Sahrul N, Ketua Tim Program Hibah Penelitian, Penciptaan, dan Penyajian Seni ini, penciptaan seni yang berbentuk dance theatre berangkat dari kondisi sosial budaya Minangkabau tentang tanah ulayat atau ganggam bauntuak yang kerap bermasalah.

"Kami mennyajikannya dalam bentuk pertunjukan seni di atas panggung dengan mengelaborasikan tari-teater-musik. Karya ini berangkat dari riset dan penelitian,” kata Sahrul N.

Menurutnya, dasar penciptaan seni yang berbentuk dance theatre ini mencoba memaksimalkan potensi seni tradisi Minangkabau yang diolah menjadi bentuk kekinian (modern dan kontemporer). Pertunjukan “The Margin of Our Land” di Gedung Idrus Tintin Pekanbaru ini merupakan episode pertama dengan tema tanah ulayat. Episode kedua mengangkat soal reklamasi, dan ketiga tentang garis batas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“The Margin of Our Land” dikesankan sebagai trilogi karya seni tari-teater dengan masing-masing tema berbeda tapi tetap dalam kerangka problem tanah dan penghuninya,” tambah Sahrul, yang juga seorang peneliti teater ini.

Ali Sukri, salah seorang koreografer dalam garapan ini, mengatakan, pertunjukan tari-teater “The Margin of Our Land” mereflesikan karya seni kontemporer dengan basis idiom garak-garik dan simbol dalam seni tradisi dan musik Minang dengan tafsir dan pemahaman dalam konteks kekinian.

“Titik inspirasi “The Margin of Our Land” ialah tradisi silek tuo Minang dan seni ulu ambek yang hidup di Padang Pariaman hingga kini,” kata Ali Sukri.

“Pun musik tradisi Minang, sebagai pendukung utama “The Margin of Our Land” diberi makna baru dengan memadukan teknologi saat ini,” tambah Elizar yang akrab disapa Aku ini.

Menurutnya, dalam “The Margin of Our Land” ini musik yang dimunculkan bukan nada-nada yang manis dan tertata, tapi penekanannya lebih kepada musik eksperimentatif.

Terkait dengan teater dan keaktoran laku pemain, menurut Kurniasih Zaitun atau Tintun, karya “The Margin of Our Land” mengangkat konflik klasik yang kerap terjadi di ranah Minang, yaitu soal tanah ulayat (ganggam bauntuak).

“The Margin of Our Land” mengisahkan orang Minang yang tak bisa dipisahkan dengan tanah ulayat, yang merupakan harga diri kaum (suku). Pemain dalam laku ini merepresentasikan setiap karakter dan konflik yang menelikungnya dengan pemahaman yang kuat,” jelas Kurniasih Zaitun yang memberikan penguatan pada laku keaktoran.

Bundo kanduang sebagai benteng terakhir pemilik tanah ulayat di Minang, berada pada posisi dilematis.

“Konflik-konflik yang menelikung itu dinarasikan dalam garak-garik tubuh penari, diliriskan aktor teater dengan karakter yang kuat, dan musik yang dibangun sebagai penguat suasana pertunjukan,” tambah perempuan sutradara ini.

“Tari-teater “The Margin of Our Land” menawarkan garapan kreatif dengan basis riset dan studi lapagan ke wilayah konflik, dan tentu saja diperkuat dengan studi pustaka. Konstruksi di atas panggung divisualkan dengan mengedepankan roh dari tanah ulayat itu. Perspektifnya terintegrasi dengan tata kelola lampu, properti, dan audionya, serta komposisi tari," kata Yusril Katil yang bertindak sebagai skenografinya.

Resistensi pada Penguasa

“The Margin of Our Land” menceritakan sekelompok kaum pemilik tanah ulayat pusaka tinggi (ganggam bauntuak) tersingkir dari lahan yang sudah mereka huni sejak beratus tahun silam secara turun-temurun. Tanah ulayat kaum itu dikuasa paksa dengan dalih hukum formal untuk pembangunan, yang membuat mereka tak berkutik saat tanah yang memberi mereka kehidupan itu, dikapling dengan garis polisi dan dijaga ketat militer.

Konflik pun tak terelakkan. Semua kaum itu, dari tua-muda, ninik mamak, hingga bundo kanduang, melakukan perlawanan mempertahankan hak milik mereka. Puncak perlawanan itu, bundo kanduang membuang harga dirinya dengan mengakhir hidupnya secara tragis.

Selain lima kreator seni tadi, “The Margin of Our Land” juga tak lepas dari kekuatan pemain dan pendukungnya. Untuk penari dan aktor ialah Erwin Mardiansyah, Reri Rinaldi, Mahmud Junanda, Egi Oktriadi, M. Iqbal Kurniawan, Anggi Trimar Putra, Deni Saputra, Riza Fadli, Bayu Mayhendra, Oktarina, dan Hasma Nora. Pemusik Indra Arifin, dan tata cahaya Budi dan Ari. Sedangkan untuk artistik ada Verdo, Syahrul Nizam, Misbah, Hamdani Johanis, Budi F. Pun diperkuat desain dan publikasi Ari Leo. Untuk dokumentasi foto dan video Yogi Audra Nesa, Topan Dewa Gugat, Denny Cidaik, dan Yogi Candra Putra.

Menurut Sahrul N, “The Margin of Our Land” pada Desember nanti juga akan dipentaskan di Padang Panjang. "Kita akan pentaskan di Padang Panjang agar warga Sumbar bisa menikmatinya," tambahnya. (SSC)



BACA JUGA