Target Pajak Terlalu Tinggi, SBY Sebut Jokowi Peras Pengusaha Secara Sadis
Jakarta, sumbarsatu.com--Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menggunakan cara sadis untuk menggenjot penerimaan negara dari pajak.
Di saat perekonomian Indonesia tengah lesu, pemerintah dalam APBN 2016 justru menargetkan penerimaan pajak yang fantastis, yakni sekitar Rp1.546,7 triliun.
Menurutnya, untuk mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran seharusnya pemerintah tidak memberatkan pengusaha dengan target pajak yang terlampau tinggi.
"Mungkin saya berbeda dengan banyak ekonom dan pejabat negara sekarang. Untuk mencegah terjadinya lay off di perusahaan, tolong pajak justru tidak diperberat," ujarnya di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (3/3/2016) seperti dilansir sindonews.com.
Kendati setiap pemimpin negara memiliki cara masing-masing untuk menggenjot penerimaan negara, namun cara yang diambil Presiden Jokowi terbilang sadis. Politisi Partai Demokrat ini menilai, pemerintah telah berlebihan menggenjot penerimaan pajak.
"Saya tidak setuju dengan cara sadis seperti itu. Walaupun memang setiap pemimpin punya strategi masing-masing. Jangan pajaknya digenjot dan diperas secara berlebihan. Kalau sudah normal, back to business as usual. Banyak cara, tapi yang jelas government itu tripartied, pekerja, pengusaha, dan pemerintah," tandasnya.
Sekadar informasi, dalam APBN 2016 pemerintah menargetkan penerimaan negara dari pajak sebesar Rp1.546,7 triliun. Sementara pada tahun lalu, target penerimaan pajak sekitar Rp1.294 triliun dengan realisasi hanya sekitar Rp1.055 triliun atau 81,5% dari target.
Sementara itu, pada saat yang sama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga mendesak agar pemerintahan Presiden Jokowi mengembalikan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia ke angka 5%. Pasalnya, jika pertumbuhan tidak dikembalikan ke angka tersebut akan berimplikasi luas.
Hal tersebut disampaikan SBY dalam presentasinya di depan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), bertema "Visi Perekonomian Indonesia ke Depan".
"Bagaimanapun growth harus dibawa kembali menuju 5% sampai 6%. Kita bicara 5% menuju 6%. Karena kalau tidak dikembalikan ke angka 6%, implikasinya luas," ujarnya.
Untuk merealisasikan hal tersebut, lanjut politisi Partai Demokrat ini, belanja pemerintah harus ditingkatkan dengan dikalkulasikan setelah memperhatikan penerimaan (revenue) negara. Terpenting, jangan pengeluaran justru lebih besar daripada pemasukan.
"Jangan besar pasak dari pada tiang. Defisit ada hitungannya. Setelah kalkulasi penerimaan, pilih pembelanjaan yang dapat stimulasi pertumbuhan. Karena itu satu-satunya yang dimiliki pemerintah, APBN," imbuhnya.
Sebab, kata SBY, jika daya beli masyarakat rendah, harga kebutuhan pokok naik, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maka akan menurunkan belanja rumah tangga. Apalagi jika investor masih bersikap wait and see terhadap perekonomian Indonesia, maka hal tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Tanah Air.
"Kalau government spending juga menurun, lengkap sudah menyumbang secara negatif. Karena itu tools yang at hand di tangan pemerintah. Pastikan APBN ada komponen yang stimulasi pertumbuhan. Kalau rakyat kita susah sehari-hari membeli kebutuhannya di sejumlah komoditas, government must be willing untuk membantu mereka," tandasnya. (SSC)
Jakarta, sumbarsatu.com--Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menggunakan cara sadis untuk menggenjot penerimaan negara dari pajak.
Di saat perekonomian Indonesia tengah lesu, pemerintah dalam APBN 2016 justru menargetkan penerimaan pajak yang fantastis, yakni sekitar Rp1.546,7 triliun.
Menurutnya, untuk mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran seharusnya pemerintah tidak memberatkan pengusaha dengan target pajak yang terlampau tinggi.
"Mungkin saya berbeda dengan banyak ekonom dan pejabat negara sekarang. Untuk mencegah terjadinya lay off di perusahaan, tolong pajak justru tidak diperberat," ujarnya di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (3/3/2016) seperti dilansir sindonews.com.
Kendati setiap pemimpin negara memiliki cara masing-masing untuk menggenjot penerimaan negara, namun cara yang diambil Presiden Jokowi terbilang sadis. Politisi Partai Demokrat ini menilai, pemerintah telah berlebihan menggenjot penerimaan pajak.
"Saya tidak setuju dengan cara sadis seperti itu. Walaupun memang setiap pemimpin punya strategi masing-masing. Jangan pajaknya digenjot dan diperas secara berlebihan. Kalau sudah normal, back to business as usual. Banyak cara, tapi yang jelas government itu tripartied, pekerja, pengusaha, dan pemerintah," tandasnya.
Sekadar informasi, dalam APBN 2016 pemerintah menargetkan penerimaan negara dari pajak sebesar Rp1.546,7 triliun. Sementara pada tahun lalu, target penerimaan pajak sekitar Rp1.294 triliun dengan realisasi hanya sekitar Rp1.055 triliun atau 81,5% dari target.
Pertumbuhan Ekonomi ke 5 Persen
Sementara itu, pada saat yang sama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga mendesak agar pemerintahan Presiden Jokowi mengembalikan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia ke angka 5%. Pasalnya, jika pertumbuhan tidak dikembalikan ke angka tersebut akan berimplikasi luas.
Hal tersebut disampaikan SBY dalam presentasinya di depan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), bertema "Visi Perekonomian Indonesia ke Depan".
"Bagaimanapun growth harus dibawa kembali menuju 5% sampai 6%. Kita bicara 5% menuju 6%. Karena kalau tidak dikembalikan ke angka 6%, implikasinya luas," ujarnya.
Untuk merealisasikan hal tersebut, lanjut politisi Partai Demokrat ini, belanja pemerintah harus ditingkatkan dengan dikalkulasikan setelah memperhatikan penerimaan (revenue) negara. Terpenting, jangan pengeluaran justru lebih besar daripada pemasukan.
"Jangan besar pasak dari pada tiang. Defisit ada hitungannya. Setelah kalkulasi penerimaan, pilih pembelanjaan yang dapat stimulasi pertumbuhan. Karena itu satu-satunya yang dimiliki pemerintah, APBN," imbuhnya.
Sebab, kata SBY, jika daya beli masyarakat rendah, harga kebutuhan pokok naik, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maka akan menurunkan belanja rumah tangga. Apalagi jika investor masih bersikap wait and see terhadap perekonomian Indonesia, maka hal tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Tanah Air.
"Kalau government spending juga menurun, lengkap sudah menyumbang secara negatif. Karena itu tools yang at hand di tangan pemerintah. Pastikan APBN ada komponen yang stimulasi pertumbuhan. Kalau rakyat kita susah sehari-hari membeli kebutuhannya di sejumlah komoditas, government must be willing untuk membantu mereka," tandasnya. (SSC)