Kepala Taman Budaya Sumbar, M. Devidan Kepala Seksi Produksi dan Kreasi Seni Taman Buadaya Sumbar, Ade Efdira, Foto scientia.id
Padang, sumbarsatu.com —Taman Budaya Sumatera Barat mulai menggeser orientasi program seni budaya tahun 2026 ke arah yang lebih strategis dan kontekstual.
Masuknya bidang film sebagai program institusi ini—yang selama ini dipegang pusat—serta penguatan isu pelestarian lingkungan, menandai perluasan mandat kebijakan budaya daerah yang selama ini lebih terfokus pada seni pertunjukan konvensional.
Kepala Taman Budaya Sumbar, M. Devid, menyatakan bahwa pengembangan film bukan sekadar penambahan program, melainkan respons institusional terhadap perubahan lanskap seni dan industri kreatif di daerah. Selama ini, pengelolaan perfilman lebih banyak berada di bawah kewenangan kementerian di tingkat pusat.
“Pada 2026, Taman Budaya mulai masuk ke wilayah film. Ini bagian dari upaya daerah mengambil peran dalam pengembangan ekosistem seni yang selama ini terpusat di kementerian,” ujar Devid saat Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang dilasanakan pada Sabtu (20/12/2025) di kantor lembaga ini. .
Ia menambahkan, Pengembangan film dirancang melalui workshop dan festival AndalaSinema sebagai tahap awal pembentukan ekosistem, sekaligus membuka ruang transfer pengetahuan bagi sineas lokal. Langkah ini menempatkan Taman Budaya tidak hanya sebagai ruang pertunjukan, tetapi juga sebagai simpul produksi dan literasi seni.
Di sisi lain, Kepala Seksi Produksi dan Kreasi Seni Taman Buadaya Sumbar, Ade Efdira, menyebut kesinambungan program lama tetap dijaga. Program seperti Saba Fest (seni untuk disabilitas), lomba menulis cerpen, serta berbagai workshop tari, teater, dan musik dipertahankan sebagai bentuk komitmen terhadap akses dan keberlanjutan.
Selain film, Taman Budaya Sumbar juga meluncurkan “Puitisenja”, ruang temu sastra dan musik yang menyasar generasi muda. Program ini dirancang untuk menjawab keterputusan antara institusi kebudayaan dan anak muda yang selama ini lebih akrab dengan ruang-ruang ekspresi nonformal.
“Puitisenja menjadi upaya menghadirkan sastra dalam format yang lebih cair dan relevan dengan gaya hidup anak muda hari ini,” kata Ade.
Untuk tahun 2026, Taman Budaya Sumbar menetapkan pelestarian lingkungan sebagai tema besar program. Tema ini diharapkan tidak berhenti pada slogan, tetapi diolah menjadi wacana artistik oleh seniman lintas disiplin melalui karya dan praktik kreatif.
Diskusi perumusan program turut mengungkap persoalan klasik Taman Budaya, yakni keterbatasan sarana dan prasarana. Jurnalis Nasrul Azwar mengingatkan bahwa kualitas program perlu ditopang fasilitas yang memadai agar tidak berhenti pada tataran gagasan.
“Sehebat apa pun konsepnya, tanpa fasilitas yang layak, minat seniman akan berkurang,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, M. Devid menyebutkan bahwa Taman Budaya Sumbar tengah membangun fasilitas pentas seni baru sebagai upaya memperbaiki daya dukung kelembagaan.
Dari sisi pelaku film, Rori menilai masuknya film ke program Taman Budaya sebagai peluang sekaligus tantangan. Menurutnya, penguatan kapasitas sumber daya manusia harus menjadi prioritas awal.
“Workshop penting sebagai fondasi, supaya pengembangan film tidak hanya simbolik,” katanya.
Meski masih dihadapkan pada keterbatasan fisik, TB Sumbar tetap berstatus Tipe A berdasarkan sertifikasi Kementerian Kebudayaan RI. Penilaian tersebut didasarkan pada kualitas dan variasi program, media publikasi, serta sasaran kegiatan yang inklusif—mulai dari seniman senior, generasi muda, anak-anak, hingga penyandang disabilitas.
Dengan arah program yang semakin melebar dan tematik, Taman Budaya Sumatera Barat berada pada persimpangan penting: antara perluasan mandat kebijakan budaya dan kemampuan institusi dalam menyediakan infrastruktur pendukung.
Tahun 2026 akan menjadi ujian apakah Taman Budaya mampu bertransformasi dari sekadar ruang kegiatan menjadi aktor kebijakan kebudayaan daerah yang berpengaruh. ssc/mn