Lubuk Sikaping, sumbarasatu.com--Pasaman bukan hanya kaya tradisi dan adat, tetapi juga menyimpan jejak penting peradaban Hindu–Budha. Situs-situs tersebut bukan sekadar benda arkeologis, melainkan sumber pengetahuan yang menunjukkan bagaimana masyarakat masa lampau membangun relasi harmonis dengan alam. Di tengah tantangan ekologis saat ini, nilai-nilai kearifan tersebut menjadi semakin relevan.
Merespons kebutuhan itu, Komunitas Pecinta Peninggalan Purbakala dan Budaya (K-P3B) Pitamahadara menggelar diskusi budaya bertema “Menggali Kearifan Lingkungan dari Situs Peninggalan Bercorak Hindu–Budha di Pasaman”, Minggu, 23 November 2025.
“Kegiatan ini menjadi ruang untuk menggali perspektif budaya, arkeologi, dan lingkungan mengenai warisan Hindu–Budha di Pasaman,” ujar Mulyadi Putra, ketua panitia sekaligus pimpinan komunitas.
Mulyadi menambahkan, diskusi ini bertujuan menghubungkan nilai kearifan masa lalu dengan konteks pelestarian lingkungan masa kini, sekaligus memperkuat kolaborasi antara akademisi, praktisi budaya, pemerintah, dan masyarakat. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan Tahap 3 Tahun 2025 Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 3 Sumatera Barat.
Kepala BPK Wilayah 3, Martias, menegaskan di hadapan peserta—yang terdiri dari guru sejarah, pegiat komunitas dan sanggar seni-budaya, pemerhati budaya, mahasiswa, pemangku adat, pemuda sekitar situs, serta juru pelihara—bahwa Pasaman merupakan salah satu simpul penting jaringan peradaban Bukit Barisan. Pengetahuan dan nilai-nilai yang tersimpan dalam tinggalan itu perlu digali secara berkelanjutan.
“Diskusi ini hanya langkah awal,” tegasnya.
Di bawah tenda di kompleks Candi Tanjung Medan, diskusi menghadirkan tiga pembicara: Taufik Wijaya (aktivis/jurnalis lingkungan), Muhammad Faisal Chair (arkeolog Unand), dan Arbi Tanjung (pegiat budaya), dengan moderator Ubai Dillah Al Anshori (penyair).
Taufik Wijaya mengajukan pembacaan Pasaman melalui tiga elemen utama: candi, air, dan harimau. Ketiganya, menurutnya, merupakan kunci untuk memahami nilai-nilai luhur masyarakat masa lampau dalam menjaga keseimbangan alam. Pengetahuan itu penting untuk merumuskan hubungan manusia–alam hari ini.
Arbi Tanjung memaparkan bukti kearifan air yang tercatat dalam Prasasti Ganggo Hilia (abad ke-14). Prasasti tersebut menyebutkan bahwa sumber air di wilayah itu dapat diminum dan digunakan bersama oleh manusia dan hewan. Ini menunjukkan pemahaman ekologis yang tinggi.
Sementara itu, Muhammad Faisal Chair menyoroti keistimewaan Pasaman sebagai wilayah yang terhubung dengan budaya Malayapura. Ia menawarkan hipotesis mengenai asal-usul nama Pasaman dari kata Sanskerta Prasamam—yang berarti damai, tenang, tenteram.
Etika Prasamam tampak dalam Prasasti Lubuk Layang yang memuat nilai ketenteraman batin dan keharmonisan masyarakat. Situs bercorak Shiwa-Budha, arca, dan prasasti memperkuat keterhubungan Pasaman dalam sistem Mandala Malayapura.
Setelah sesi diskusi, enam puluh peserta dibagi ke dalam tiga kelompok untuk merumuskan rekomendasi. Kelompok guru sejarah didampingi oleh Muhammad Faisal Chair, kelompok pegiat komunitas dan sanggar oleh Taufik Wijaya serta Ubai Dillah Al Anshori, dan kelompok umum oleh Arbi Tanjung.
Rekomendasi utama yang dihasilkan adalah perlunya kegiatan berkelanjutan yang melibatkan kolaborasi lintas bidang, lintas lembaga, dan lintas komunitas untuk menggali serta menjaga kekayaan pengetahuan budaya Pasaman.
Harapan ini sejalan dengan sambutan Walinagari Panti Selatan, Didi Al Amin, yang mendorong adanya kegiatan kolaboratif dalam pemeliharaan pengetahuan situs Candi Tanjung Medan melalui dana desa.
Kepala Dinas Parporabud Kabupaten Pasaman, melalui Kabid Budaya Jafar, menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan tersebut. Menurutnya, komunitas adalah mitra utama pemerintah daerah dalam pemajuan kebudayaan.ssc/rel