Membangun Ruang Belajar yang Bebas dari Perundungan dan Kekerasan Seksual

Kamis, 13/11/2025 17:44 WIB

OLEH Dr. Lismomon Nata, S.Pd., M.Si., CHt (Ketua Pokja Pengembangan Program Bina Ketahanan Remaja Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga / Social Resilience and Family Development Expert TCARE)

ANAK-ANAK berangkat ke sekolah setiap pagi. Mereka semestinya tidak hanya membawa buku, pena, atau gawai di dalam tasnya. Akan tetapi seharusnya juga membawa harapan dan rasa ingin tahu, serta keyakinan bahwa sekolah adalah tempat yang aman untuk tumbuh dan bermimpi.
Namun, harapan itu kini mulai retak.

Kasus perundungan (bullying) dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terus bermunculan di berbagai daerah, dari ruang kelas sekolah dasar hingga kampus perguruan tinggi. Fenomena tersebut mengingatkan kita pada kenyataan pahit: sekolah yang semestinya menjadi tempat belajar justru dapat berobah menjadi ruang yang menimbulkan luka batin dan trauma.

Padahal, pendidikan sejatinya bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi proses memanusiakan manusia. Sebagaimana diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan berarti menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, sebagai manusia dan anggota masyarakat. Artinya, tujuan utama pendidikan bukan sekadar mencetak generasi berprestasi, melainkan membentuk pribadi yang beradab, berkarakter, dan bahagia.

Namun, bagaimana mungkin kebahagiaan itu tumbuh jika ruang belajar justru dipenuhi rasa takut, tekanan, dan ketidaknyamanan? Di sinilah urgensi membangun ruang belajar yang bebas dari perundungan dan kekerasan seksual menjadi semakin mendesak, bukan hanya sebagai kebijakan, tetapi sebagai gerakan moral dan budaya.

Fenomena perundungan di sekolah ibarat gunung es sosial, yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil dari masalah yang jauh lebih besar di bawahnya. Laporan resmi menunjukkan kasus kekerasan di sekolah meningkat dari tahun ke tahun, namun jumlah sebenarnya jauh lebih banyak. Sebagian besar korban memilih diam, takut disalahkan, tidak dipercaya, atau bahkan dikucilkan oleh teman sebaya.

Perundungan kini hadir dalam berbagai bentuk. Dulu, ia tampak dalam bentuk kekerasan fisik  seperti memukul, mendorong, atau menghina secara langsung. Kini, di era digital, perundungan telah menjelma menjadi cyberbullying: menyebarkan foto pribadi, menulis komentar kejam di media sosial, membuat meme yang mempermalukan, atau menyebar fitnah di grup daring sekolah.

Lebih dari sekadar luka fisik, bentuk kekerasan baru ini meninggalkan luka psikologis yang jauh lebih dalam, yaitu kehilangan rasa percaya diri, kecemasan sosial, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup bahkan rasa balas dendam.

Contohnya apa yang diungkapkan oleh Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), insiden pembakaran sekolah yang dilakukan seorang siswa di SMP Negeri 2 Pringsurat Temanggung tahun 2023 yang lalu karena sering dirundung oleh teman-teman dan guru-gurunya (https://lpai.id/siswa-bakar-sekolah-di-temanggung-ini-kata-lembaga-perlindungan-anak-indonesia/). Demikian juga peristiwa pembakaran asrama pesantren di Aceh atau peristiwa ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta beberapa waktu yang lalu (https://www.kompas.id/artikel/ledakan-di-sman-72-jakarta-dan-gunung-es-perundungan-siswa-sekolah). 

Kekerasan tersebut dapat saja berawal dari yang paling mengkhawatirkan, yaitu bagaimana kekasaran telah dinormalisasi. Kata-kata kasar seperti “anjir”, “anjay”, atau “goblok” kini dianggap biasa. Candaan yang menyinggung fisik, warna kulit, atau orientasi dianggap hiburan. Bahkan komentar bernuansa seksual sering kali diterima sebagai “lelucon ringan”.
Inilah awal dari budaya yang berbahaya, ketika kekerasan tidak lagi dikenali sebagai kekerasan, melainkan dianggap bagian dari pergaulan.

Anak tidak ada yang terlahir sebagai pelaku kekerasan. Mereka belajar dari lingkungan yang membentuknya. Secara sosiologis, perilaku perundungan dan kekerasan seksual muncul dari dua sumber utama, yaitu faktor individu dan faktor sosial.

Banyak anak tumbuh dalam lingkungan penuh tekanan, disalahkan, dikritik, atau dibanding-bandingkan. Mereka tidak diajarkan cara mengelola emosi dengan sehat, sehingga menyalurkan rasa marah atau rendah diri melalui dominasi atas orang lain. Anak yang sering direndahkan bisa menjadi perundung agar merasa “berkuasa”; sementara anak yang kurang percaya diri menjadi sasaran empuk.

Di era serba cepat dan terbuka, nilai-nilai moral sering kabur. Media sosial memuja popularitas, bukan kebaikan. Tayangan kekerasan dan seksual dikonsumsi tanpa penyaring nilai.

Akibatnya, banyak anak kehilangan empati. Mereka terbiasa melihat penderitaan orang lain sebagai tontonan, bukan sebagai panggilan untuk peduli. Ironisnya, rumah dan sekolah yang pada hakekatnya adalah dua tempat yang seharusnya menjadi benteng moral,  justru sering kehilangan fungsi perlindungannya. Di rumah, anak tidak didengar; di sekolah, ia tidak dipahami. Maka terbentuklah generasi yang merasa sendiri dalam keramaian.

Selama ini, banyak sekolah menangani perundungan dengan pendekatan hukuman dan disiplin keras. Pelaku dihukum, diberi peringatan, atau dikeluarkan. Namun, pendekatan ini sering gagal mengubah perilaku karena tidak menyentuh akar persoalan: cara berpikir dan budaya interaksi.

Untuk mencegah kekerasan, kita harus membangun kesadaran baru bahwa setiap anak berhak atas rasa aman, dan setiap manusia memiliki martabat yang tidak boleh direndahkan.

Pendidikan anti-perundungan harus berangkat dari tiga nilai dasar, yaitu setiap anak unik dan berharga. Tak ada dua anak yang sama, perbedaan adalah ruang belajar, bukan alasan untuk merendahkan, kebahagiaan sejati lahir dari menghargai, bukan menindas.

Kesadaran ini tidak tumbuh dari ceramah moral yang kaku, melainkan dari keteladanan dan pembiasaan empatik. Guru dan orang tua harus menjadi “cermin perilaku” yang menunjukkan bagaimana cara menghargai orang lain, bagaimana menegur dengan santun, dan bagaimana meminta maaf dengan tulus.

Dalam sistem pendidikan kita, guru dan orang tua adalah dua pilar utama pembentuk karakter anak. Guru bukan sekadar pengajar ilmu, melainkan penuntun jiwa (pamong). Ia hadir bukan hanya untuk menilai, tapi untuk memahami. Sementara orang tua adalah sekolah pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar cinta, hormat, dan tanggung jawab.

Anak yang merasa diterima dan didengar di rumah tidak akan mencari pengakuan dengan menindas orang lain. Anak yang tumbuh dalam kasih sayang akan lebih mudah berempati.

Karena itu, membangun sekolah yang bebas kekerasan harus dimulai dari membangun rumah yang penuh cinta. Ki Hajar Dewantara menegaskan nilai Tri Rahayu:

Hamemayu Hayuning Sarira (memelihara diri), Hamemayu Hayuning Bongso (menjaga bangsa), dan Hamemayu Hayuning Bawono (memelihara alam semesta).

Nilai-nilai luhur ini mengajarkan keseimbangan antara kesadaran diri, tanggung jawab sosial, dan kepedulian terhadap dunia. Pendidikan yang berakar pada nilai ini akan melahirkan manusia yang kuat secara moral dan halus secara rasa.

Dalam tradisi pendidikan Nusantara, dikenal tiga prinsip mendalam: Momong, Among, dan Ngemong. Momong berarti merawat dengan kasih, menanamkan kebiasaan baik tanpa tekanan. Among berarti menuntun dengan teladan, bukan dengan ketakutan dan Ngemong berarti menjaga, mendampingi, dan menuntun anak agar tumbuh sesuai kodratnya.

Pendekatan Tri Mong ini menunjukkan bahwa pendidikan sejati bukan sekadar mengajar, tetapi mendampingi perjalanan tumbuhnya manusia muda.

Guru sejati adalah mereka yang bisa menanamkan nilai tanpa menyakiti, menegur tanpa merendahkan, dan mendidik dengan hati yang tulus. Jika prinsip ini dihidupkan di sekolah, maka ruang belajar akan menjadi tempat yang menumbuhkan, tempat anak berani berpikir, merasa aman berpendapat, dan tidak takut menjadi dirinya sendiri.

Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan konsep Tri Pusat Pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus bersinergi, karena anak belajar bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga dari dunia sekitarnya termasuk dunia digital. Maka, menciptakan ruang belajar yang aman juga berarti menciptakan ekosistem sosial yang peduli.

Perilaku berkarakter dapat ditumbuhkan melalui tiga langkah penting yang harus dilalui, yaitu Ngerti, memahami nilai kebaikan, Ngrasa, merasakan dengan hati dan empati dan Nglakoni, mengamalkannya dalam tindakan nyata. Jika anak hanya ngerti tanpa ngrasa, maka pengetahuannya kering dan tak berjiwa. Tapi bila sudah ngrasa dan nglakoni, ia akan menjadikan nilai itu bagian dari dirinya inilah hakikat pendidikan karakter yang sejati.

Kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, dan perundungan tidak bisa dihapus dengan ketakutan. Pendidikan harus ditutup dengan cinta, bukan ancaman.

Anak-anak perlu diajarkan keberanian untuk berkata benar, sekaligus kelembutan untuk menghargai perbedaan. Mereka perlu tahu bahwa menjadi kuat bukan berarti menindas, tetapi mampu melindungi.

Sekolah yang bebas perundungan bukanlah sekolah yang penuh aturan, melainkan sekolah yang menumbuhkan rasa memiliki, di mana setiap anak merasa dihargai, setiap guru menjadi panutan, dan setiap interaksi dipenuhi kehangatan.

Kita mungkin tidak bisa menghentikan perubahan zaman, tetapi kita bisa menyiapkan generasi yang tangguh, berakal sehat, dan berhati lembut untuk menavigasinya. Sebab anak yang merasa aman akan tumbuh menjadi anak yang bahagia  dan anak yang bahagia, pada akhirnya, akan membangun peradaban bangsa yang damai, beradab, dan manusiawi untuk kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang.*

  



BACA JUGA