Interpol Tolak Permintaan Kirgistan Tangkap Pendiri Media Independen

Sabtu, 01/11/2025 06:22 WIB

Kirgistan, suumbarsatu.com--IInterpol menolak permintaan otoritas Kirgistan untuk mengeluarkan Red Notice terhadap Rinat Tuhvatshin, salah satu pendiri media investigasi independen Kloop. Langkah tersebut dinilai bermotif politik dan menjadi bagian dari rangkaian penindasan terhadap jurnalisme kritis di bawah pemerintahan Presiden Sadyr Japarov.

Permintaan Red Notice—yang biasanya dipakai untuk melacak penjahat berbahaya dan membuka jalan bagi ekstradisi—ditolak secara resmi oleh Interpol karena dinilai melanggar aturan lembaga tersebut yang melarang penggunaan sistem untuk tujuan politik.

“Konstitusi Interpol memiliki aturan ketat yang mencegah sistem kami digunakan untuk tujuan politik, jadi kami menolak permintaan Red Notice,” ujar Direktur Komunikasi Interpol, Samuel Heath.

Meski demikian, pemberitahuan tersebut sempat terlihat di beberapa negara sebagai status "menunggu tinjauan", memicu pertanyaan tentang bagaimana permintaan itu sempat beredar meski sudah ditolak.

Kloop dan Tuhvatshin Menjadi Sasaran

Kloop, media yang dikenal karena liputan korupsi dan pelanggaran pemilu di Kirgistan, telah menghadapi tekanan intensif dalam beberapa tahun terakhir. Pada Februari 2024, pengadilan di Bishkek memerintahkan penutupan Kloop dengan alasan liputannya dianggap “mengganggu kesehatan mental masyarakat” karena terlalu “negatif”.

“Sistem ini diciptakan untuk melacak penjahat berbahaya di seluruh dunia, tetapi pihak berwenang kita justru menggunakannya untuk menganiaya jurnalis,” kata Tuhvatshin, yang kini hidup dalam pengasingan. Ia menyebut tindakan pemerintah sebagai bentuk memalukan bagi reputasi negara.

Penindasan terhadap Tuhvatshin semakin menguat usai pengadilan Kirgistan menetapkan dirinya dan beberapa jurnalis lain sebagai “ekstremis” pada akhir Oktober. Tuduhan tersebut juga mencakup Anna Kapushenko (pemimpin redaksi Kloop), Galina Gaparova (direktur), dan Bolot Temirov dari Temirov Live.

Pola Represi yang Sistematis

Kasus ini bukan yang pertama. Sejumlah jurnalis dan staf media independen telah ditangkap, kantor media digeledah, dan konten digital diblokir sejak 2024. Dua juru kamera Kloop dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada Mei 2025, sementara beberapa mantan akuntan menerima hukuman percobaan.

“Rezim otoriter sering mengeksploitasi Interpol, dan praktik ini telah diketahui komunitas internasional,” ujar aktivis HAM Leila Nazgul Seiitbek, yang juga kini berada di pengasingan.

Organisasi hak asasi manusia global ikut mengecam. Amnesty International menyebut kasus ini sebagai “penghancuran jurnalisme independen secara terang-terangan,” dan Komite Perlindungan Jurnalis menyebutnya “episode memalukan dalam sejarah Kirgistan modern.”

Pemimpin redaksi OCCRP, Miranda Patrucic, memperingatkan bahwa pemerintah Kirgistan “tidak akan berhenti menganiaya jurnalis yang bersuara kritis,” baik yang berada di dalam negeri maupun luar negeri.

Penolakan Interpol menjadi preseden penting bagi perlindungan jurnalis internasional, tetapi fakta bahwa permintaan tersebut sempat beredar menunjukkan lemahnya perlindungan dari penyalahgunaan politik.

Kasus Kirgistan menjadi contoh terbaru bagaimana mekanisme hukum internasional dapat diperalat otoriter untuk membungkam pers, mengancam ekosistem demokrasi di kawasan Asia Tengah.

Seorang juru bicara Interpol, Samuel Heath, mengonfirmasi bahwa permintaan tersebut telah masuk namun ditolak karena melanggar ketentuan lembaga internasional itu.

“Kami memiliki aturan ketat agar sistem kami tidak digunakan untuk tujuan politik,” katanya seperti dilansir https://www.occrp.org Sabtu, 1 November 2025.

Meski ditolak, pemberitahuan sempat muncul di sistem otoritas beberapa negara sebagai “menunggu tinjauan”, memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana informasi tersebut sempat tersirkulasi. Interpol menolak memberikan detail lebih lanjut.

Tekanan pada Jurnalis Terus Meningkat

Langkah pemerintah Kirgistan ini datang di tengah gelombang penindasan terhadap media kritis sejak Presiden Sadyr Japarov berkuasa pada 2020. Kloop, yang dikenal atas liputan korupsi pejabat negara dan proses pemilu, diperintahkan tutup pada Februari 2024 dengan alasan pemberitaannya “mengganggu kesehatan mental masyarakat.”

Tuhvatshin, yang kini hidup di pengasingan, menyebut tindakan pemerintah sebagai upaya membungkam kritik.

“Sistem ini dibuat untuk memburu kriminal berbahaya, bukan jurnalis,” ujarnya. “Ini memalukan bagi negara kami.”

Aktivis HAM Leila Nazgul Seiitbek menilai langkah tersebut sebagai pola penyalahgunaan alat internasional untuk mengejar pembangkang.

“Mereka ingin membungkam suara dari luar negeri,” katanya.

Pengadilan Kirgistan baru-baru ini menetapkan Tuhvatshin dan sejumlah jurnalis lainnya sebagai “ekstremis.” Editor Kloop, Anna Kapushenko, hingga tokoh Temirov Live, Bolot Temirov, ikut terdampak putusan tersebut.

Penindasan bermula sejak penggerebekan 2024 terhadap rumah jurnalis Temirov Live yang berujung pada penahanan dan vonis penjara beberapa staf. Tekanan meningkat lagi pada Mei 2025 ketika 10 orang terkait Kloop ditahan dan dua juru kamera dijatuhi hukuman lima tahun.

Organisasi internasional mengecam tindakan Kirgistan. Amnesty International menyebutnya sebagai “penghancuran jurnalisme independen,” sementara Komite Perlindungan Jurnalis menyebut situasi ini “memalukan dalam sejarah Kirgistan modern.”

Pemimpin redaksi OCCRP, Miranda Patrucic, memperingatkan bahaya yang semakin besar:

“Jurnalis, baik di dalam maupun luar negeri, kini hidup dalam ancaman.”

Kasus Kirgistan menunjukkan tren global penyalahgunaan mekanisme penegakan hukum internasional untuk membungkam kritik. Penolakan Interpol menjadi sinyal penting—tetapi ancaman terhadap kebebasan pers masih jauh dari selesai. sssc/mn

sumber: occrp.org



BACA JUGA