Pelajaran dari Bu Guru Sejarah

Kamis, 16/10/2025 11:26 WIB

Oleh Alfitri (Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)

MENJADI bagian dari angkatan 1983 SMA Negeri 2 Padang adalah fase yang paling berkesan dalam hidup saya. Bersekolah di salah satu SMA favorit di Sumatera Barat tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Itu masa yang penuh warna—antara semangat belajar, canda tawa bersama teman, dimarahi guru, hingga berbagai kejadian yang jika diingat sekarang rasanya bisa membuat senyum-senyum sendiri.

Saya termasuk siswa yang bisa dibilang kalem. Tidak usil kepada teman dan tidak pula suka mencari gara-gara dengan guru. Aktivitas saya standar saja: belajar, ke kantin saat istirahat, dan kadang membantu teman yang kesulitan dalam pelajaran. Pokoknya elok laku dan saulah saja. Atau menurut istilah orang dari negeri Paman Sam, good boy-lah.

Namun entah kenapa, justru di masa SMA inilah saya pernah dua kali diusir keluar kelas oleh guru yang sama. Diusir keluar kelas tidak pernah saya alami saat SD, SMP, maupun kuliah—hanya di SMA.

Bayangkan, dua kali diusir, dan oleh guru yang sama. Yang pertama terjadi ketika saya masih di kelas 1, dan yang kedua saat sudah duduk di kelas 3.

Kejadian pertama terjadi pada semester awal di kelas 1.5. Waktu itu saya masih anak baru, belum terlalu paham dengan gaya para guru. Hari Jumat menjelang sore, pelajaran Sejarah sedang berlangsung. Bu Guru Sejarah menyampaikan pengumuman bahwa karena ada acara pada Sabtu, sekolah akan libur.

Spontan, saya yang duduk di belakang menoleh dan berkata kepada Taufik—teman sebangku saya, anak Solok yang pintar dan akhirnya kuliah di ITB:

“Long weekend, mah, Fik. Bisa angku pulang kampuang, trus baliak ka Padang Senin pagi.”

Taufik tertawa kecil, “Ha ha… iyo… iyo…”

Tiba-tiba suara lantang Bu Guru Sejarah memotong percakapan kami.

“Kamu, keluar dari kelas!”

Saya kaget bukan main—bukan karena takut, tapi karena tidak menyangka. Percakapan kecil itu rasanya bukan kesalahan fatal. Tapi ya sudahlah. Saya pun patuh keluar kelas, lalu duduk di luar sambil merenung dan memandangi halaman sekolah yang sore itu tampak tenang.

Saya pikir kejadian itu tidak akan terulang lagi. Hari-hari berikutnya saya jalani seperti biasa, tentu dengan lebih berhati-hati, terutama saat pelajaran Sejarah. Tapi rupanya takdir berkata lain.

Tahun berganti. Kini saya sudah di kelas 3, menjelang akhir masa SMA. Ternyata kejadian serupa terulang lagi—dan, guru yang mengusir saya, tetap guru yang sama. Seperti sebelumnya, saya duduk di belakang. Mungkin karena kedapatan berbicara sebentar dengan Adrianto, teman sebangku waktu itu.

“Keluar kamu!”

Saya kembali patuh. Tapi kali ini saya tidak duduk di luar kelas. Saya langsung melangkah ke ruang guru BP—sebuah ruangan sederhana di belakang kantin, sederet dengan tempat parkir motor.

Bu Guru BP menerima saya dengan ramah. Kepadanya saya jelaskan duduk persoalannya sambil sedikit protes, “Why me?” Saya sering melihat teman-teman lain yang jauh lebih ribut di kelas, tapi tidak sampai diusir.

“Sabar saja, ya. Tetap semangat belajar. Sebentar lagi EBTA,” kata Bu Guru BP menenangkan.

Meski dua kali diusir keluar kelas, hubungan saya dengan Bu Guru Sejarah itu tetap baik. Saya tetap menghormatinya, dan beliau pun tidak pernah menunjukkan sikap dendam. Bahkan nilai pelajaran Sejarah saya setiap semester selalu angka delapan, termasuk nilai EBTA di ijazah. Saya pikir itu tanda bahwa beliau sebenarnya tahu saya siswa yang baik, dan beliau juga guru yang objektif serta tidak pendendam.

Kini, berpuluh tahun kemudian, sebagai seorang dosen, saya terkadang juga mengusir mahasiswa dari kelas—terutama mereka yang tetap berbicara setelah beberapa kali diingatkan. Tapi seperti Bu Guru Sejarah dulu, saya juga berusaha tetap objektif dalam memberi nilai. Jika hasil ujian mahasiswa itu baik, nilainya tetap baik.

Dari pengalaman diusir Bu Guru Sejarah itulah saya memetik pelajaran berharga: sekolah bukan hanya tempat menuntut ilmu, tetapi juga tempat membentuk karakter. Dari beliau saya belajar bahwa seorang guru boleh marah kepada muridnya, tetapi tidak boleh menyimpan dendam. Guru harus tetap objektif dan adil dalam menilai.

Kini saya sadar, tugas seorang guru tidak berhenti pada mengajar, tetapi juga membentuk karakter muridnya. Sebaliknya, seperti kata seorang bijak, seorang murid mesti bisa memetik inspirasi dari setiap tindakan gurunya. *



BACA JUGA