Siswa korban keracunan usai menyantap menu makan bergizi gratis (MBG) menjalani perawatan medis di Posko Penanganan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (23/9/2025). Berdasarkan data dari posko penanganan hingga Selasa (23/9) pukul 07.00 WIB sebanyak 352 siswa dan orang tua mengalami keracunan yang diduga akibat menyantap hidangan makan bergizi gratis pada (22/9/2025). Foto ANTARA
Jakarta, sumbarsatu.com– Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap maraknya kasus keracunan makanan dalam program makan bergizi gratis (MBG) yang digagas sebagai program unggulan Presiden Prabowo Subianto.
Alih-alih memperbaiki status gizi anak, program ini justru memunculkan persoalan baru setelah ribuan siswa di berbagai daerah jatuh sakit usai mengonsumsi makanan yang disediakan.
Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Badan Gizi Nasional (BGN), IDAI menegaskan bahwa keselamatan anak dan kelompok rentan seperti balita serta ibu hamil harus menjadi prioritas utama.
Ketua Umum IDAI, DR Dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA, Subs Kardio(K), menilai kasus keracunan massal yang terjadi berulang kali tidak bisa dianggap sepele.
“Satu anak keracunan saja sudah menjadi masalah, apalagi ini menimpa ribuan anak di Indonesia,” kata Piprim Basarah Yanuarso dalam relis yang diterima sumbasatu, Minggu (28/9/2025).
Lonjakan kasus keracunan MBG dalam sebulan terakhir memang mengkhawatirkan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sedikitnya 6.452 siswa mengalami gejala keracunan hingga 21 September 2025.
Data BGN per 25 September juga melaporkan 5.914 korban, sementara Kementerian Kesehatan mencatat 5.207 korban dari 60 kasus, dan BPOM melaporkan 5.320 korban dari 55 kasus. Kasus terbesar terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dengan 1.333 siswa di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas jatuh sakit secara bersamaan.
Di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, 335 siswa keracunan, 34 di antaranya harus dirawat intensif. Di Bogor, Jawa Barat, sebanyak 223 siswa keracunan hingga pemerintah daerah menetapkannya sebagai kejadian luar biasa.
Hasil uji laboratorium terhadap sampel makanan MBG mengungkap adanya kontaminasi bakteri Salmonella serta indikasi kontaminasi silang dalam proses pengolahan.
Temuan ini menambah kuat dugaan bahwa standar keamanan pangan belum sepenuhnya dipenuhi oleh penyelenggara di lapangan. Sejumlah dapur MBG pun mulai ditutup karena tidak memenuhi syarat kebersihan.
IDAI menilai ada sejumlah hal mendesak yang perlu segera dibenahi. Keselamatan anak dan kelompok rentan harus ditempatkan di atas segalanya, sementara seluruh rantai penyediaan hingga distribusi makanan wajib mengikuti standar keamanan pangan yang ketat.
Selain itu, menu yang diberikan perlu disusun oleh ahli gizi anak agar benar-benar mendukung tumbuh kembang. Pengawasan terhadap dapur dan mitra penyedia juga mesti diperketat melalui sertifikasi dan monitoring rutin. Tak kalah penting, mekanisme mitigasi dan layanan aduan harus tersedia agar kasus keracunan bisa segera ditangani bila muncul kembali.
Sekretaris Umum IDAI, DR Dr Hikari Ambara Sjakti, SpA, SubsHemaOnk(K), menambahkan, pihaknya siap bekerja sama dengan pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk memastikan program MBG tidak menyimpang dari tujuan awalnya.
“Kami ingin program ini benar-benar memberikan manfaat kesehatan dan masa depan yang lebih baik bagi anak Indonesia,” kata Hikari Ambara Sjakti.
Namun, kritik publik terhadap MBG semakin kencang. Sejumlah LSM menuntut penghentian sementara program hingga evaluasi tuntas dilakukan. Reuters melaporkan bahwa pemerintah sendiri mengakui lemahnya pengawasan sebagai salah satu penyebab utama keracunan massal. Selain itu, menu yang disajikan dinilai terlalu banyak bergantung pada makanan olahan yang tidak ideal untuk konsumsi anak.
Dengan rentetan kasus yang sudah menimbulkan ribuan korban, desakan agar pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh kian menguat. IDAI menekankan, terutama di daerah 3T yang pengawasannya lebih lemah, program MBG tidak boleh berhenti sebatas slogan.
Program ini harus menjamin gizi sekaligus keamanan pangan, sehingga benar-benar menjadi investasi untuk masa depan generasi muda Indonesia. ssc/mn