Sabtu, 13/09/2025 11:25 WIB

BPRN dengan WALHI Sumbar Bahas Polemik Geothermal Pandai Sikek,

Laporan Mahdi Latief 

MASYARAKAT Nagari Pandai Sikek tengah menghadapi dilema: apakah energi panas bumi membawa dampak positif atau justru negatif bagi kehidupan mereka? Apakah energi ini mampu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat atau sebaliknya?

Energi panas bumi yang kerap disebut bersih dan terbarukan justru menimbulkan kontroversi dan polemik di Nagari Pandai Sikek. Pemerintah pusat telah menetapkan proyek ini sebagai bagian dari agenda masa depan Net Zero Emission 2060.

Terdata, Sumatera Barat memiliki 19 titik potensi panas bumi, salah satunya berada di Jorong Pagu-pagu, Nagari Pandai Sikek. Nagari yang terletak di kaki Gunung Singgalang ini mayoritas warganya berprofesi sebagai petani. Dalam rencana pembangunan, titik Wellpad PLTP Tandikek–Singgalang berada di lahan pertanian produktif milik masyarakat.

Sejak adanya sosialisasi pada 2024, masyarakat semakin aktif mencari informasi mengenai dampak Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) terhadap lingkungan. Hasilnya, mayoritas warga menyatakan menolak pembangunan proyek ini.

Keraguan dan alasan yang simpang siur terus diperbincangkan di ruang publik hingga rumah ibadah. Karena itu, Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) Pandai Sikek berinisiatif memfasilitasi persoalan tersebut.

Pada Kamis, 11 September 2025, BPRN Pandai Sikek menggelar pertemuan dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Barat, didampingi Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sumbar. Pertemuan ini menjadi ruang diskusi untuk memahami dampak PLTP terhadap masyarakat dan lingkungan.

Dari Badan Perwakilan Rakyat Nagari Pandai Sikek dihadiri antara lain 
Mahdi Latief Damsir, Wahyu Novriandi, Zuherman, Refriwan Datuak Sinaro Nan Kuniang, Susi Marlina, Latif, Datuak Sinaro, Zuherman, Susi Marlina, dan Wahyu. Dan dihadir Direktur Walhi Sumbar Wengki Purwanto, serta jajaran PBHI Sumbar. 

Direktur WALHI Sumbar Wengki Purwanto mengatakan, sebuah investasi yang masuk ke daerah perlu mendapat persetujuan masyarakat secara sadar tanpa paksaan. Jika masyarakat menolak, maka hal itu sah secara hukum.

Kajian WALHI menunjukkan bahwa PLTP berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, sosial budaya, maupun ekonomi. Konstitusi pun melindungi hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 119/PUU-XXIII/2025.

BPRN Pandai Sikek menegaskan bahwa kekhawatiran utama masyarakat adalah berkurangnya lahan pertanian produktif. Jika lingkungan rusak, maka pertanian dan hasil panen akan terdampak. Apalagi Nagari Pandai Sikek merupakan daerah rawan bencana.

Menanggapi hal ini, Direktur WALHI menjelaskan bahwa populasi manusia akan terus bertambah sementara luas lahan pertanian tetap. Potensi berkurangnya lahan produktif memang nyata.

Selain itu, pengoperasian PLTP juga berisiko meningkatkan aktivitas seismik, memicu tanah longsor, menimbulkan kompetisi sumber daya air yang bisa menyebabkan kekeringan, serta mencemari tanah yang berpengaruh terhadap pertanian.

Hilangnya biodiversitas, polusi udara akibat lepasan gas beracun, risiko kesehatan seperti ISPA, hingga ancaman korban jiwa karena kebocoran gas beracun juga patut diwaspadai. Ditambah lagi, emisi gas rumah kaca dari siklus operasional PLTP justru bisa memperburuk krisis iklim.

“Lingkungan yang indah hari ini adalah warisan berharga untuk anak cucu kita. Karena itu, menjaga kelestarian adalah tanggung jawab bersama,” tegasnya.

Pertemuan ini ditutup dengan komitmen bersama antara BPRN Pandai Sikek, WALHI, PBHI, dan KIPP Sumbar untuk menjaga kondusivitas lingkungan dan masyarakat. Selanjutnya, BPRN bersama warga akan menyampaikan aspirasi masyarakat Nagari Pandai Sikek kepada pemerintah terkait.*

BACA JUGA