Purnama Penuh di Atas Jembatan Leighton

Senin, 08/09/2025 09:26 WIB

OLEH Otong Rosadi (Dosen Filsafat Hukum Universitas Ekasakti, Penyuka Sejarah)

DINI HARI ini, Senin, 15 Rabiulawal 1447 H, bertepatan dengan 8 September 2025, bulan kembali purnama. Ia bulat sempurna, memantulkan cahaya yang jatuh ke permukaan Sungai Siak, seakan menaburkan perak di atas riak air yang tenang. Malam ini istimewa, sebab purnama datang bersama gerhana, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus.

Mobil yang ditumpangi penulis dari Padang baru saja melintasi Jembatan Siak I—lebih akrab disebut Jembatan Leighton. Dari arah Pekanbaru menuju Rumbai, jembatan itu berdiri tegar membelah sungai. Dalam balutan cahaya rembulan, ia tampak seperti saksi bisu zaman yang panjang.

Terbayang oleh penulis proses panjang jembatan ini, sejarahnya. Jembatan ini tidak lahir begitu saja. Ia berawal dari langkah panjang eksplorasi Caltex atas minyak bumi di tanah kaya minyak ini. Dahulu, para pekerja harus menempuh perjalanan melelahkan dari Padang ke Pekanbaru dengan bus. Rute itu bukan sekadar lintasan, melainkan pertarungan dengan malam, dengan hutan Sumatra yang gelap, penuh rimba dan sunyi.

Di tengah perjalanan, bus sering kali mogok. Maka, kayu selalu dibawa, bukan hanya untuk alas, tetapi juga untuk perapian, penerang, penghangat, sekaligus pengusir rasa takut di hutan pekat. Begitu pula bahan pangan disediakan untuk berhari-hari. Jalan penghubung itu lebih dari sekadar jalan: ia adalah nadi pengikat manusia dengan peradaban.

Jalan panjang itulah yang meniscayakan hadirnya jembatan di atas banyak sungai. Awalnya hanya feri yang mengantar. Lalu, jembatan apung berupa ponton, sederhana, tetapi menyatukan dua daratan yang terpisah. Pada masa Wali Kota pertama Pekanbaru, Datuk H. Wan Abdurahman, jembatan ponton itu diresmikan dengan penuh kebanggaan.

Namun, zaman menuntut lebih. PT Caltex Pacific Indonesia (kini PT Caltex Pacific Company) pun menggandeng PT Leighton Indonesia Construction Company dari Australia. Dari sinilah lahir jembatan permanen yang kita kenal hingga kini. Karena nama perusahaan tertera di papan proyek, masyarakat menamainya “Jembatan Leighton”—atau disingkat dengan akrab, Leton. Jembatan yang pernah disebut terpanjang di Sumatra itu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 19 April 1977.¹

Subuh ini, ketika kendaraan penulis melintas di atasnya, semua kisah masa lalu itu berkelebat di ingatan. Jembatan ini bukan sekadar besi, beton, dan tiang pancang. Ia adalah monumen perjalanan: tentang keringat pekerja, tentang hutan yang ditaklukkan, tentang sungai yang dipersatukan, dan tentang peradaban yang tumbuh di tepi Siak.

Kini, di bawah purnama penuh yang menggantung di langit Bumi Lancang Kuning, Jembatan Leighton tetap kokoh, memantulkan cahaya ke air sungai, seolah berbisik bahwa sejarah tidak pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam setiap lintasan, dalam setiap hembusan angin subuh yang melewati baja dan beton, dalam setiap tatapan mata yang menoleh ke arah sungai sambil mengingat masa lalu.

Penulis pun tersadar, jembatan tidak hanya menghubungkan daratan yang terpisah, tetapi juga manusia dengan kenangan, masa lalu dengan masa kini, serta harapan dengan masa depan. Sebagaimana purnama yang bulat, jembatan adalah lingkaran persatuan. Ia menyatukan yang jauh, mendekatkan yang asing, dan mengingatkan bahwa kehidupan selalu membutuhkan jembatan—baik berupa bangunan maupun berupa pengertian dan kebersamaan.

Jembatan, dalam makna terdalamnya, adalah lambang peradaban. Ia melawan keterpisahan dan keterasingan. Ia menjadi simbol keberanian manusia untuk menjinakkan alam sekaligus menyatukan manusia satu sama lain. Di Pekanbaru, Jembatan Leighton bukan hanya penghubung Rumbai dengan pusat kota, melainkan juga penghubung antara tradisi dan modernitas, antara masa lalu kolonial dengan cita-cita kemajuan bangsa.

Setiap kali kendaraan melintas, ada denyut sejarah yang ikut bergerak. Generasi yang pernah menyaksikan peresmian jembatan ini kini menua, tetapi jembatan tetap berdiri, menerima beban baru, cerita baru, harapan baru.

Maka, di atas Jembatan Leighton yang disinari purnama penuh ini, penulis merasa seakan sedang berada di pertemuan: antara sejarah dan masa depan, antara kesunyian malam dan denyut kehidupan, antara manusia dengan takdirnya.

Penulis percaya, selama jembatan itu berdiri, bahkan setelahnya, kisah-kisah baru akan terus lahir, dibisikkan angin subuh, dituliskan rembulan, dan dikenang oleh siapa saja yang melintasinya. Terutama bagi mereka yang terus mentafakuri semesta. (OR)


¹ Catatan sejarah: Jembatan Siak I (Leighton) memiliki panjang ±350 meter dengan konstruksi rangka baja. Pada masanya, ia menjadi jembatan terpanjang di Sumatra, menghubungkan Pekanbaru dengan kawasan industri Rumbai. Kehadirannya menandai tonggak penting pembangunan infrastruktur di Riau era 1970-an.



BACA JUGA