YLBHI Catat 3.337 Orang Ditangkap dan 10 Meninggal

Rabu, 03/09/2025 11:25 WIB

 

Jakarta, sumbarsatu.com— Gelombang demonstrasi di puluhan kota pada 25–31 Agustus 2025 berujung represi aparat. Berdasarkan data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH, sedikitnya 3.337 orang ditangkap, 1.042 mengalami luka, dan 10 meninggal dunia.

YLBHI menilai pemerintah dan aparat tidak lagi mengamankan aksi, melainkan melakukan represi sistematis dan meneror rakyat. Akses bantuan hukum bagi peserta aksi kerap dihalangi, bahkan sejumlah pengacara LBH turut menjadi korban kekerasan di Samarinda dan Manado.

Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur menyebut eskalasi represi meningkat setelah Presiden Prabowo memerintahkan TNI-Polri menindak tegas massa aksi pada 31 Agustus. Sejak itu, konvoi aparat bersenjata hingga kendaraan tempur Anoa 6x6 dikerahkan di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta, bahkan masuk ke dalam kampus dan menembakkan gas air mata.

YLBHI mendesak Presiden Prabowo, Menhan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Panglima TNI Agus Subiyanto menarik tentara dari operasi pengamanan sipil serta meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mundur. Mereka juga menuntut pembebasan semua peserta aksi yang ditangkap tanpa syarat dan pemulihan hak korban.

“Pemerintah Prabowo tengah menyebarkan ketakutan terhadap warga negaranya sendiri. Penggunaan kekerasan, tuduhan kriminal (makar, terorisme) terhadap warga, penangkapan, penyerbuan, penembakan gas air mata di dalam kampus, serta pengerahan tentara dalam patroli menunjukkan bahwa aparat gabungan tidak lagi bertugas mengamankan jalannya aksi, melainkan sudah mengarah pada represi sistematis dan bentuk teror terhadap rakyat,” kata Muhammad Isnur yang dilansir YLBHI, Selasa (3/9/2025).

 Pernyataan Presiden Prabowo ditindaklanjuti Kapolri Listyo Sigit dengan perintah menembak massa aksi yang masuk ke kantor polisi. Sementara itu, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin memerintahkan TNI–Polri bekerja sama untuk “menjaga keamanan”. Hal ini menunjukkan keputusan pelibatan tentara secara aktif dalam keamanan dalam negeri.

Di lapangan, intensitas represi aparat gabungan semakin brutal. Berdasarkan data LBH–YLBHI dari berbagai sumber, termasuk LBH daerah, setidaknya 3.337 massa aksi ditangkap sepanjang 25–31 Agustus 2025 di 20 kota, antara lain Jakarta, Depok, Semarang, Cengkareng, Kabupaten Bogor, Yogyakarta, Magelang, Bali, Bandung, Pontianak, Medan, Sorong, Malang, Samarinda, Jambi, dan Surabaya. Di Surabaya, Jakarta, dan Bandung, aparat kepolisian tidak hanya menangkap massa aksi, tetapi juga secara acak menangkap warga yang sedang beraktivitas di sekitar lokasi.

Represi juga dilakukan melalui pembatasan akses informasi dengan melarang media massa meliput aksi serta mematikan konten siaran langsung TikTok setelah perusahaan tersebut dipanggil oleh Kominfo. Dampaknya, masyarakat kehilangan akses informasi dan terganggu hak ekonominya.

Selain itu, aparat kepolisian menutup akses bantuan hukum bagi warga yang ditangkap. Di Semarang, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, Bandung, dan Surabaya, pengacara publik dari LBH–YLBHI dihalang-halangi memberikan bantuan hukum kepada massa aksi yang ditahan.

Ironisnya, penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan juga dialami pengacara publik di Samarinda dan Manado yang sedang memantau jalannya aksi. Di Manado, pengacara publik LBH Manado ditangkap dan dipukuli beramai-ramai oleh aparat kepolisian. Di Samarinda, Pengacara Publik LBH Samarinda ditangkap, diseret, dan diperiksa di Polresta Samarinda hingga pukul 02.00 WITA dini hari.

Data kekerasan fisik juga dihimpun dari pemberitaan media massa mengenai pasien rumah sakit. Setidaknya 1.042 massa aksi dilarikan ke rumah sakit di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali, Bandung, Medan, Sorong, dan Malang akibat luka-luka karena kekerasan aparat.

Angka ini belum termasuk korban yang mengalami penyiksaan saat penangkapan. Aksi yang menjalar menjadi kerusuhan juga menelan korban jiwa sebanyak 10 orang per 1 September 2025.

Tindakan ini melanggar Pasal 28G UUD 1945 yang menegaskan setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. YLBHI mengingatkan Presiden Prabowo, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Panglima TNI Agus Subiyanto untuk tunduk pada UUD 1945 yang memandatkan TNI bertugas mempertahankan, melindungi, serta memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, sekaligus mengingatkan amanat Reformasi 1998 bahwa militer tidak boleh mencampuri urusan sipil.

“Pemerintah Prabowo sedang menyebarkan ketakutan terhadap warganya sendiri. Aparat gabungan tidak lagi bertugas mengamankan jalannya aksi, tetapi telah berubah menjadi alat represi sistematis dan bentuk teror terhadap rakyat,” tegas Muhammad Isnur. 

Menurutnya, eskalasi kekerasan meningkat signifikan sejak Presiden Prabowo Subianto memerintahkan TNI–Polri melakukan penindakan tegas pada 31 Agustus 2025. Instruksi itu kemudian ditindaklanjuti Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang memerintahkan tembakan terhadap massa aksi yang masuk ke kantor polisi.

Sementara Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin meminta TNI dan Polri bekerja sama menjaga keamanan, yang dianggap YLBHI sebagai legitimasi keterlibatan militer secara aktif dalam urusan sipil.

Desakan LBH–YLBHI

Dalam pernyataan sikapnya, LBH–YLBHI menegaskan delapan tuntutan, di antaranya:

  • Mengutuk keras kekerasan aparat yang menimbulkan korban jiwa.
  • Mendesak Presiden Prabowo dan Menhan Sjafrie menarik tentara dari operasi keamanan dalam negeri.
  • Menuntut Kapolri Listyo Sigit mundur serta memulihkan hak-hak korban.
  • Mengecam pemblokiran informasi publik.
  • Meminta lembaga pengawas negara seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, dan KPAI melakukan investigasi independen.

 “Pemerintah jangan abai terhadap tuntutan rakyat, termasuk penolakan atas berbagai kebijakan yang merugikan masyarakat,” tegasMuhammad Isnur.

Siaran pers ini ditandatangani pengurus YLBHI bersama LBH dari 18 kota/kabupaten di Indonesia, mulai dari Banda Aceh, Padang, Jakarta, hingga Papua dan Merauke. ssc/mn



BACA JUGA