
OLEH Alfitri -- Departemen Sosiologi FISIP Unand
Pada tahun 2023, prevalensi stunting di Sumatera Barat tercatat sebesar 23,6 persen, turun 1,6 persen dari 25,2 persen pada tahun 2022 (Antaranews.com, 28/11/2024). Meskipun angka ini menunjukkan tren yang positif, capaian tersebut masih belum memenuhi target RPJM Nasional sebesar 14 persen pada tahun 2024.
Secara nasional pun, target tersebut belum tercapai. Survei Status Gizi Indonesia (2024) menunjukkan bahwa prevalensi stunting nasional adalah 19,8 persen.
Diperlukan kerja keras dan kolaborasi dari kementerian, lembaga, serta semua pemangku kepentingan untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Karena itu, Departemen Sosiologi FISIP Unand melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, pada Senin (16/06/2025) lalu.
Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh para dosen tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Departemen Sosiologi FISIP Unand, Dr. Indraddin, dan didampingi oleh Wali Nagari Guguak Malalo, Mulyadi.
Kegiatan ini berupa penyuluhan dan sesi tanya jawab, yang berlangsung di aula Kantor Wali Nagari Guguak Malalo. Sekitar 50 orang ibu-ibu dan kader dari sembilan posyandu mengikuti kegiatan ini dengan antusias.
Seperti diketahui, stunting—atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis—harus dicegah sedini mungkin melalui pengetahuan dan asupan gizi yang memadai. Anak yang mengalami stunting tidak hanya memiliki tinggi badan yang lebih rendah dari standar usianya, tetapi juga mengalami dampak yang jauh melampaui aspek fisik. Stunting memengaruhi perkembangan otak, prestasi belajar, hingga produktivitas kerja di masa dewasa.
Secara umum, penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi dalam jangka panjang, khususnya pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Selain itu, praktik pemberian makan yang keliru, rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi, serta buruknya kondisi sanitasi dan akses air bersih turut memperparah masalah ini. Kemiskinan dan keterbatasan pendidikan juga memperkuat lingkaran stunting di banyak keluarga.
Di beberapa wilayah pedesaan Sumatera Barat, masih banyak ibu hamil yang tidak mendapatkan asupan makanan bergizi atau tidak menjalani pemeriksaan kehamilan secara rutin. Ada pula praktik-praktik tradisional yang menolak pemberian makanan tertentu kepada bayi dan balita karena alasan mitos dan kepercayaan turun-temurun.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah merespons masalah ini melalui berbagai program intervensi, seperti pemberian makanan tambahan, kampanye ASI eksklusif, pelatihan kader posyandu, hingga penyuluhan gizi untuk ibu hamil dan menyusui. Namun, tantangan utamanya masih terletak pada keberlanjutan dan pemerataan program hingga ke pelosok nagari.
Peran masyarakat, termasuk tokoh adat dan agama, sangat penting di Sumatera Barat. Melibatkan mereka dalam penyuluhan gizi dan perubahan perilaku akan lebih efektif karena nilai budaya dan norma sosial sangat kuat di daerah ini. Dukungan komunitas lokal dapat mempercepat penerimaan praktik pengasuhan yang lebih sehat dan berbasis ilmu pengetahuan.
Perguruan tinggi juga memiliki kontribusi besar melalui penelitian, pengabdian masyarakat, dan program KKN Tematik. Mahasiswa dapat menjadi agen perubahan dengan melakukan edukasi langsung, pelatihan kader kesehatan, serta penyuluhan tentang pentingnya 1.000 HPK. Ini sekaligus menjadi sarana pembelajaran dan pemberdayaan generasi muda. Dalam hal ini, kerja sama dan keaktifan posyandu sangatlah penting.
Di akhir kegiatan, para peserta semakin menyadari bahwa stunting bukan sekadar persoalan tinggi badan, melainkan soal masa depan bangsa. Di Sumatera Barat, warisan budaya Minangkabau yang kaya dapat menjadi pedoman dan fondasi untuk memperkuat solidaritas sosial, mendukung pola hidup sehat, serta menjamin hak anak untuk tumbuh secara optimal. Generasi emas hanya bisa diwujudkan jika anak-anak tumbuh sehat, cerdas, dan kuat sejak dini.*