Koalisi Masyaralat Sipil Sebut, Izin Operasional PT. Sumber Permata Sipora Bermasalah

Selasa, 17/06/2025 12:38 WIB
mentawi

mentawi

Padang, sumbarsatu.com— Koalisi Masyarakat Sipil (KMP) Sumatera Barat menyatakan bahwa rencana usaha PT. Sumber Permata Sipora (PT. SPS) tidak layak secara lingkungan. Hal ini berkaitan dengan terbitnya surat Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atas nama PT. SPS oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, tertanggal 28 Maret 2023, yang memberi hak pemanfaatan kawasan seluas 20.706 hektare di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Pulau Sipora yang hanya seluas 615,18 km² termasuk kategori pulau kecil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang telah diperbarui dengan UU Nomor 6 Tahun 2023.

“Berdasarkan peraturan tersebut, pemanfaatan pulau kecil seharusnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, riset, budi daya laut, pariwisata berkelanjutan, serta pertahanan dan keamanan negara. Karena sifatnya sebagai hukum khusus lex specialis, maka aturan ini mengesampingkan ketentuan umum dari UU Kehutanan dan UU Tata Ruang,” terang Tommy Adam, Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar dalam relis yang diterima sumbarsatu, Selasa (17/6/2025).

Dijelaskannya, Koalisi menemukan berbagai kekeliruan serius dalam proses penyusunan dokumen lingkungan PT. SPS. Salah satunya adalah ketidaksesuaian kode KBLI dalam izin usaha. PT. SPS awalnya mengajukan kode KBLI 02111 untuk usaha pemanfaatan kayu hutan tanaman, namun dalam dokumen AMDAL justru menggunakan kode KBLI 02121 dan 0230, yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan alam dan hasil hutan bukan kayu.

“Perbedaan ini menyesatkan dan berisiko besar terhadap lingkungan karena hutan alam memiliki keanekaragaman hayati dan fungsi lindung yang lebih kompleks daripada hutan tanaman,” tambahnya.

Dari hasil analisis koordinat wilayah konsesi yang terlampir dalam dokumen izin, ditemukan kejanggalan lokasi. Sebanyak 132 titik koordinat ternyata mengarah ke wilayah di Kelurahan Ciwaringin, Kota Bogor, Jawa Barat seluas 2.407 hektare—bukan di Pulau Sipora. Ini merupakan kesalahan fatal yang mencerminkan lemahnya proses verifikasi dokumen oleh instansi terkait.

Dokumen AMDAL PT. SPS juga dinilai tidak menyajikan kajian rona awal lingkungan secara menyeluruh. Wilayah studi tidak mencakup pesisir dan perairan laut yang jelas akan terdampak. Tidak ada informasi mengenai sumber material untuk pembangunan atau revitalisasi jalan sepanjang 130 km, serta tidak dilakukan analisis dampak dari pengambilan dan mobilisasi material tersebut.

Lebih jauh, tidak ditemukan data awal mengenai populasi dan distribusi satwa endemik serta satwa dilindungi di area konsesi. Pengabaian ini bisa mengarah pada pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Kelompok marginal seperti ibu rumah tangga pembudidaya toek (pangan lokal) juga luput dari kajian dampak sosial ekonomi. AMDAL tidak menyinggung potensi hilangnya pendapatan mereka akibat rusaknya kualitas air sungai yang menjadi sumber penghidupan.

Selain itu, sebagian besar data yang digunakan dalam AMDAL adalah data sekunder, bahkan ada yang berasal dari Pulau Siberut yang secara geografis dan ekologis berbeda dengan Sipora.

Meski disebutkan akan membuka lapangan kerja, dokumen AMDAL tidak menunjukkan prioritas perekrutan tenaga kerja lokal. Tidak ada pula perhitungan atau antisipasi terhadap kemungkinan kehilangan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan dan dampaknya terhadap penghidupan mereka.

Proses penyusunan dokumen lingkungan ini pun tidak partisipatif. Sosialisasi hanya dilakukan sekali, dengan mengundang empat orang dari tiap desa. Pengumuman juga hanya dimuat di media cetak yang tidak beredar di desa-desa sekitar lokasi rencana usaha, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang memadai.

Aspek risiko bencana pun tidak dijabarkan secara memadai. Padahal Pulau Sipora merupakan kawasan rawan gempa, tsunami, banjir, dan longsor. Data tahun 2024 menunjukkan telah terjadi 29 bencana, termasuk gempa, cuaca ekstrem, dan banjir. Tidak adanya analisis risiko bencana menyebabkan dokumen AMDAL gagal merumuskan langkah mitigasi yang tepat.

Berdasarkan semua temuan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat mendesak Menteri Kehutanan dan Menteri Investasi/BKPM untuk membatalkan izin PBPH PT. SPS karena cacat prosedural, substansial, dan administratif. Koalisi juga meminta pemerintah untuk menegakkan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta menolak seluruh bentuk penebangan hutan alam di Pulau Sipora.

Koalisi juga menyerukan agar Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar menyatakan rencana usaha PT. SPS tidak layak lingkungan dan meminta Komisi Penilai AMDAL Pusat tidak menerbitkan persetujuan lingkungan. AMDAL yang telah disusun dinilai cacat teknis dan etis, tidak partisipatif, serta mengabaikan aspek keberlanjutan sosial dan ekologis.

Koalisi menegaskan bahwa kegiatan PBPH PT. SPS hanya akan memperparah krisis lingkungan, meningkatkan risiko bencana, serta mengancam mata pencaharian masyarakat adat dan kelompok rentan, khususnya perempuan pembudidaya pangan lokal. ssc/rel



BACA JUGA