
OLEH Suswinda Ningsih, M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi, Pemerhati Media dan Budaya Digital)
SETIAP tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan Iduladha dengan gema takbir, penyembelihan hewan kurban, dan semangat berbagi yang meluas. Namun, di tengah semarak perayaan, kita perlu merenungkan kembali: apakah makna Iduladha masih tersampaikan secara utuh, atau telah tergerus oleh budaya pamer di era digital?
Iduladha bukan sekadar ritual, melainkan pengingat akan pengorbanan sejati. Ini merujuk pada kisah Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan putranya, Ismail AS, sebagai bentuk kepatuhan mutlak kepada Allah Swt. Meskipun ujian itu berakhir dengan penggantian seekor domba, peristiwa tersebut diabadikan dalam ibadah kurban sebagai simbol ketulusan, ketaatan, dan solidaritas sosial yang mendalam.
Dalam konteks kekinian, praktik keagamaan ini mengalami transformasi, terutama dalam cara penyampaiannya. Media sosial telah menjadikan hampir semua ekspresi bersifat publik, termasuk amal dan ibadah. Dokumentasi penyembelihan, laporan jumlah hewan kurban, hingga foto bersama daging kurban lazim diunggah ke platform digital.
Apakah ini keliru? Itu tergantung pada niat. Sebagian ulama meyakini bahwa hewan kurban dapat menjadi "kendaraan menuju surga" atau pelindung di akhirat, berdasarkan kiasan dari hadis tentang pahala haji dan kurban. Meskipun penafsiran literalnya bervariasi, makna simbolisnya kuat: “Siapa yang berkurban dengan ikhlas, hewan itu akan menuntunnya kepada keridaan Allah.”
Makna Kurban dalam Perspektif Komunikasi
Dari sudut pandang ilmu komunikasi, kurban adalah pesan simbolik. Dalam Teori Interaksionisme Simbolik (George H. Mead), setiap tindakan manusia memiliki makna yang dibentuk melalui interaksi sosial. Menyembelih hewan bukan hanya ritual, melainkan komunikasi simbolik tentang keikhlasan, ketaatan, dan kepedulian sosial.
Namun, ketika simbol ini kehilangan konteks dan direduksi menjadi sekadar konten visual, makna spiritualnya bisa memudar. Di sinilah Teori Dramaturgi dari Erving Goffman menjadi relevan. Goffman menyatakan bahwa dalam kehidupan sosial, manusia cenderung bertindak layaknya aktor di panggung teater: memilih peran, menyusun naskah, dan menciptakan kesan terbaik di hadapan publik—memoles citra diri sesuai yang ia inginkan.
Fenomena ini nyata dalam praktik Iduladha hari ini. Kurban tidak lagi sebatas ibadah personal dan sosial, tetapi juga menjadi bagian dari panggung digital yang menampilkan identitas, status sosial, bahkan pencitraan politik. Akibatnya, pengorbanan bisa bergeser dari makna spiritual menjadi strategi komunikasi diri.
Padahal, kurban sejatinya adalah momen pengujian keikhlasan dan pemurnian niat. Menyembelih hewan hanyalah bagian luar; yang lebih penting adalah menyembelih ego, gengsi, dan dorongan untuk selalu terlihat lebih baik dari yang lain.
Kembali ke Komunikasi yang Etis
Di tengah budaya pamer yang nyaris tak terbendung, kita perlu mengingat kembali prinsip komunikasi etis seperti yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas: komunikasi yang dibangun atas dasar kejujuran, saling pengertian, dan kebebasan dari dominasi simbolik.
Iduladha seharusnya menjadi momen untuk memperkuat empati, bukan sekadar mempertebal impresi. Ini adalah waktu untuk berbicara dalam bahasa perbuatan: berbagi kepada yang membutuhkan tanpa harus mempublikasikannya, menyapa mereka yang kesepian tanpa perlu mengabadikannya.
Di tengah dunia yang semakin bising oleh konten, mungkin yang kita butuhkan justru adalah kesunyian yang bermakna.
Sebab, dalam kisah Nabi Ibrahim, tidak ada gimik atau kebutuhan untuk dinilai publik. Hanya ada dialog sunyi antara manusia dan Tuhannya—cinta yang diuji melalui pengorbanan. Itulah esensi Iduladha yang patut direnungkan ulang di era digital ini. Sudah sejauh mana kita berkurban untuk Zat Mahapemberi kehidupan?
Berkurban Tidak Pernah Merugi
Dari sudut pandang spiritual dan sosial, berkurban tidak pernah membuat seseorang merugi—baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, kurban adalah sarana distribusi keadilan sosial yang konkret, menyambungkan empati dari yang mampu kepada yang kekurangan. Ia mempererat tali solidaritas dan menghidupkan semangat gotong royong dalam masyarakat.
Sementara di akhirat, Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap helai bulu hewan kurban akan menjadi pahala bagi yang melaksanakannya (HR. Ibnu Majah). Kurban adalah bentuk ibadah yang sangat dihargai karena melibatkan harta, keikhlasan, dan pengorbanan. Bahkan, dalam banyak riwayat, kurban disebut sebagai salah satu amal yang paling dicintai Allah pada hari-hari tasyrik.
Lebih dari itu, kurban adalah pelatihan spiritual. Ia mengajarkan kita untuk tidak terikat berlebihan pada kepemilikan. Ketika seseorang dengan ikhlas mengeluarkan hartanya untuk berkurban, pada dasarnya ia sedang menanam investasi, bukan kehilangan. Apa yang diberikan akan kembali dalam bentuk berkah yang tidak selalu terlihat kasatmata: ketenangan batin, rezeki yang diluaskan, dan kedekatan dengan Tuhan.
Iduladha mengajarkan kita bahwa komunikasi paling kuat bukanlah yang paling keras terdengar, tetapi yang paling dalam dirasakan. Di tengah era panggung digital, tantangannya bukan hanya menyembelih hewan kurban, tetapi juga menyembelih ego, gengsi, dan hasrat untuk selalu terlihat benar dan sempurna.
Mari kita rawat kembali semangat pengorbanan ini, bukan untuk ditonton, tetapi untuk dijalani. Karena sejatinya, siapa yang berkurban dengan hati, tidak akan pernah rugi—di dunia maupun di akhirat.*