
-
OLEH Alfitri (Departemen Sosiologi FISIP Unand)
BERTEMU rumah makan atau restoran Padang di negara lain adalah sesuatu yang menyenangkan dan membangkitkan semangat. Harapannya, bisa kembali menikmati cita rasa asli tanah asal. Apalagi jika sudah beberapa hari meninggalkan kampung halaman.
Selain itu, timbul pula rasa bangga. Masakan Minang yang populer dengan sebutan Nasi Padang ternyata dapat diterima dan disukai oleh banyak orang dari berbagai bangsa, serta eksis di mancanegara. Wajar saja jika Audun Kvitland, seorang artis dari Norwegia, sampai menciptakan dan menyanyikan lagu berjudul "Nasi Padang".
Rasa bangga dan harapan makan enak itulah yang muncul ketika, misalnya, beberapa tahun lalu saya dan Prof. James Hellyward ikut antre pukul 11 siang di Warong Nasi Pariaman di sudut Jalan North Bridge dan Kandahar, dekat Masjid Sultan, Singapura. Juga ketika saya, Prof. Ardi, dan beberapa kawan diajak makan siang oleh Prof. Ismet Fanany dari Deakin University di salah satu restoran Padang di Melbourne, Australia.
Demikian pula pada Jumat malam (25/04/2025) itu, kami makan malam di Restoran Padang Nusantara. Lokasinya strategis, terletak di tepi Sungai Mekong dan dekat dengan istana raja di Phnom Penh. Kawasan ini merupakan destinasi wisata yang banyak dikunjungi oleh penduduk lokal maupun wisatawan asing.
Malam itu benar-benar membangkitkan selera. Beragam lauk-pauk khas Minang tersaji di etalase Restoran Padang Nusantara ini: rendang, gulai tunjang, ikan asam pedas, dendeng balado, gulai ikan, perkedel, sayur pucuk parancih, gulai cubadak, sambal lado merah, sambal lado hijau, dan sebagainya.
Tampak dua orang ibu asal India (Bombay) dan seorang pria keturunan Tionghoa sedang menikmati nasi Padang di meja mereka masing-masing. Seorang pengemudi Grab juga terlihat sedang menunggu pesanan nasi bungkusnya. Tampaknya, Restoran Padang Nusantara ini cukup diterima dan digemari oleh berbagai kalangan di Phnom Penh.
Ternyata, pemilik Restoran Padang Nusantara adalah orang Jakarta, namun juru masaknya didatangkan dari Padang. Sementara itu, ibu-ibu berjilbab yang bertugas menyendok lauk di dekat etalase adalah warga asli Kamboja yang cukup fasih berbahasa Indonesia.
Menurut Naim et al. (1985), tukang masak adalah pekerja yang menerima bagian atau gaji lebih besar dibandingkan pekerja lainnya di rumah makan Padang. Sebab merekalah yang menentukan cita rasa dan kualitas masakan dari rumah makan atau restorannya.
Rupanya malam itu bukan hanya kami yang dari Padang yang taragak Nasi Padang. Dr. Gamal dari UNS Solo pun tampak senang dan makan dengan lahap. Kim Hong, yang sudah tujuh tahun kuliah di Unand, terlihat sudah begitu serasi dan doyan Nasi Padang. Sopir mobil kami pun tampak tersenyum-senyum menikmati nasi Padang yang mungkin baru pertama kali ia cicipi. Namun semua kami menunjukkan tanda-tanda menikmati enaknya Nasi Padang: makan batambuah, bahkan ada yang sampai bapaluah.
Akhirnya, seperti biasa — kebiasaan sebagian urang awak setelah makan enak di restoran atau rumah makan Padang adalah mencermati bill atau tagihan. Prof. Ardi, sebagai ketua rombongan, menerima bill dan memeriksanya dengan saksama. Ia mengangguk-angguk dan bergumam, "Wajar dan sesuai..."
Beberapa saat kemudian, Prof. Ardi menyebutkan nilai total harga serta bertanya kepada saya, "Bagaimana menurut pendapat Pak Al...?"
"Pantas dan sesuai. Dari kualitas rasa, kenyamanan, pelayanan, dan harga, disimpulkan: akreditasi Padang Nusantara ini: A," jawab saya.
"Alhamdulillah..." sambut Prof. Rudi dan teman-teman lain sambil tertawa bahagia. *