OLEH Ubai Dillah Al Anshori (Penyair dan Esais)
BUKANKAH AA Navis berada di lingkungan yang sangat erat kaitannya dengan sastra, literasi ataupun pendidikan? Kita sama-sama mengenal dan begitu terngiang pada Robohnya Surau Kami. Bukan hanya itu, Bertanya Kerbau Pada Pedati yang juga menghiasi karya-karya sastra di Indonesia. Mungkin bagi beberapa kalangan tulisan ini tidak terlalu penting, bahkan angin lalu yang sebentar lagi juga hilang arah.
Tapi, bagi beberapa yang lain begitu penting. Mengapa AA Navis jadi pembahasan pada tulisan saya. Karena pada tahun ini tepat 100 tahun (1924-2024) sastrawan dan budayawan yang lahir di Kota Padang Panjang. Berbagai macam kegiatan berlangsung, mulai dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), bahkan kampus-kampus yang bersinggungan dengan sastra terlibat. Mulai dari bicara karya-karya AA Navis, lomba menulis esai terhadap karya-karyanya, bincang buku, lomba baca puisi, lomba menulis cerpen, dan sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta.
Sebenarnya, sampai saat ini saya masih menunggu apa yang akan dilakukan oleh Padang Panjang (kota Literasi dan kota Pendidikan) itu dalam aspek ini? Menarik untuk dipertanyakan bila memang kota kelahirannya sendiri ‘merasa tidak begitu penting’. Ketika gembar-gembor bahwa (Padang Panjang) Kota Pendidikan. Apakah AA Navis tidak begitu mentereng dalam bidang pendidikan? Atau bila disebutkan titik fokusnya tidak pada itu. Tapi hal yang lain, pada apakah fokusnnya? Ini bukan tentang sinis dan tidaknya, tapi ini lebih kepada kualitas dan mutu yang harus dibincangkan untuk membentuk sumber daya manusia yang mengenal sekitarnya.
Mungkin tulisan ini akan diduga menjurus pada pihak terkait, sah-sah saja sebagai dugaan. Bila pun memang harus dilakukan. Pertanyaannya adalah sebanyak apa karya-karya AA Navis atau tentangnya dibicarakan, diteliti, dan dimasukkan dalam dunia sekolah atau pendidikan? Pemikiran-pemikiran yang bernas, ide-idenya melihat sesuatu begitu penting untuk diketahui setiap kalangan. Itu sebabnya, negara bersedia melakukan semarak tentangnya. Padahal di sisi lain, masih ada sastrawan seperti Sitor Situmorang yang bersamaan (100 tahun) dengan AA Navis. Tentu, terpilihnya Navis tidak pula harus saya bahas dalam tulisan ini. Karena, nantinya akan meluas, dan memanjang.
Dalam hal yang lain, perlu pula kita mempertanyakan ulang berapa banyakkah karya-karya AA Navis mewarnai pojok-pojok baca di perpustakaan kita? Mungkin pula saat proses perbelanjaan buku ‘kita’ tidak siap mengasingkan ‘dana’ untuk karya-karya seperti: AA Navis, Wisran Hadi, Gus tf Sakai, Iyut Fitra, Irman Syah, Adri Sandra, Zelfeni Wimra, Deddy Arsya, Raudal Tanjung Banua, Ahda Imran, Heru Joni Putra, Esha Tegar Putra, Fatris MF, dan masih banyak nama-nama penulis Sumatera Barat yang telah sampai di tingkat nasional dan internasional.
Bukankah literasi juga akan menyuarakan dirinya pada kesejahteraan? Lalu siapa yang akan memulai kalau tidak diawali oleh masing-masing dari kita mendorong agar terus berkarya. Karena, begitu asiknya bila di antara kita saling berkontribusi, tepatnya di sendi-sendi yang memang layak untuk diperjuangkan bersama. Sesekali mari pulang pada wajah Padang Panjang. Wajah yang terus dibicarakan tentang masa lalunnya. Melahirkan para pemikir-pemikir berkelas. Lalu bagaimana dengan saat ini?
Coba mari sama-sama kita lihat tokoh Padang Panjang yang barangkali selama ini tidak terlalu populer bagi masyarakatnya: Rivai Apin, Mochtar Apin, Nawawi Soetan Makmoer, Zainuddun Labay, Adnan Sjamni, Bustanul Arifin, Hoerijah Adam, Mohammad Yusuf, Nas Achnas, dan Sjamsuddin Jusuf. Mayoritas dari mereka tidak terlepas dari bidang seni, sastra, dan pendidikan.
Masihkah ada kekeliruan untuk melirik AA Navis sebagai tokoh yang layak dibicarakan? atau barangkali nama-nama lain akan menyusul, dan perlu kita bincangkan sebagai apresiasi pada dirinya.
Namun, pada aspek lainnya, Saya juga merasa bahagia karena di salah satu lorong di Padang Panjang terdapat foto AA Navis, dan tertulis ‘pejuang padang panjang’ di antara deretan tokoh dan wali kota pertama hingga akhir. Setiap hari orang akan lulu-lalang melihat foto dengan pertanyaan yang barangkali berulang. Siapakah beliau? Sisi manakah perjuangannya? Kenapa disebut pejuang?
Bukan hanya anak-anak, kiranya orang tua juga terasa ‘asing’ dengan nama tersebut. Pada satu sisi (penulis, sastrawan, dan budayawan) dianggap sebagai orang yang ‘bebas, tidak dapat diikat, dan tidak dapat diajak kompromi’ itu sebabnya tidak perlu terlalu dibesar-besarkan. Di sisi lain, dianggap sebagai ‘pelengkap’ karena masuk dalam ruang-ruang penting (pendidikan, sastra, dan budaya) sehingga harus dilibatkan sekalipun tidak dijadikan sebagai kunci utama dalam pengembangan tersebut.
Tulisan ini tidak memberikan kelengkapan biografi, karya, dan pemikiran yang diberikan oleh AA Navis. Sekalipun, begitu banyak bertebaran buku-buku beliauL Yang Berjalan Sepanjang Jalan, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Surat dan Kenangan Haji, Kemarau, Jodoh, Bertanya Kerbau Pada Pedati, dan lain sebagainya.
Masihkah ada AA Navis di Padang Panjang?