Hilmar Farid
Padang, sumbarsatu.com– Sebagai bagian dari rangkaian tur kuliah umun (studium generale) ke universitas di 11 kota di Indonesia, Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Hilmar Farid, melanjutkan rangkaian kuliah umumnya di Universitas Andalas, Sumatra Barat pada Rabu, 11 September 2024.
Dalam kuliah umum yang dihadiri oleh mahasiswa, pelaku budaya, serta akademisi di Sumatra Barat ini, Hilmar menyoroti potensi kebudayaan dalam mendorong pembangunan berkelanjutan dalam hal tata kelola serta pengembangan sumber daya manusia (SDM) budaya yang berfokus pada biocultural diversity.
“Biocultural diversity sendiri merupakan saat keanekaragaman hayati bertemu dengan keanekaragaman budaya,” kata Hilmar di depan ratusan mahasiswa yang memenuhi Convention Hall Unand.
Dalam kuliah umum itu, Hilmar menitikberatkan bahwa kebudayaan dan alam memiliki kaitan yang cukup kuat. Sebagai negara dengan biocultural diversity terbesar, Indonesia memiliki potensi yang besar pula. Hilmar mencontohkan keberadaan tanaman mangrove yang tersedia di Mentawai Sumatra Barat mencapai 32.600 hektare berpotensi menyumbang perekonomian yang besar jika hasil pengolahannya baik.
“Berdasarkan Studi Bank Dunia, hasil pengolahan mangrove secara lestari per hektar bisa menghasilkan 10.000 dolar Amerika Serikat,” terangnya.
“Budaya dan kultural memiliki kesamaan, yang mana jika digali akan semakin besar. Jika alam tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal, maka yang akan terjadi adalah kemarau kebudayaan. Selama ini, hal tersebut kurang dianggap penting karena Jika saja kita bisa memanfaatkan potensi alam seperti mangrove, maka tentu ini bisa berkontribusi pada pariwisata, iklim hingga menghasilkan triliunan rupiah. Bayangkan ini bisa diaplikasikan ke seluruh Sumatra Barat bahkan ke Indonesia,” tambah Hilmar.
Bahkan, menurutnya, keberadaan wellness industry di Indonesia selama ini belum menjadi perhatian meskipun memiliki potensi yang cukup besar. Berdasarkan data Global Wellness Economy, basis ekonomi yang dihasilkan dari wellness industry menyumbang 5,6 triliun dolar Amerika Serikat. “Baginya, jika kebudayaan dikelola dengan baik, maka wellness industry bisa terus meningkat.”
Indonesia termasuk dalam 3 negara terbesar biocultural diversity nya. Bagaimana mungkin suatu negara yang dianugerahkan biokultural terbesar, saat mengembangkan wellness industry malah berada di urutan 50-an. Bahkan jika disandingkan di Asia, Indonesia masuk urutan ke 8. Yang menjadi persoalan selama ini adalah tata kelolanya hingga sulit memanfaatkan secara maksimal.
“Untuk memaksimalkan berbagai sumber daya yang luar biasa ini, perlu ada kombinasi antara pengetahuan lokal, science, dan teknologi modern. Dengan begitu, bidang keilmuan akan ada pembaruan,” urai sosok kelahiran kota Bonn, Jerman Barat, yang sudah menjabat Dirjen Kebidayaan sejak tahun 2015 ini.
Perkuat Tata Kelola Kebudayaan dengan Riset dan Kolaborasi
Untuk menghasilkan tata kelola kebudayaan yang baik, keberadaan kerangka kelembagaan penting untuk memastikan peran kebudayaan bisa jalan dengan baik. Dalam hal kebijakan, sudah ada aturan hukum seperti undang-undang yang mengamanatkan kebudayaan sebagai barang publik, sehingga kebijakan harus inovatif.
Jika potensi kebudayaan diakui, maka hal ini dapat dimasukkan dalam standar pelayanan minimal, yang secara otomatis menjaga keberlanjutan institusi kebudayaan. Untuk itu, inovasi kebijakan diperlukan agar layanan kebudayaan dapat berjalan secara efektif.
“Lewat riset dan advokasi kebijakan, bukti dari lapangan dapat memperkuat argumen bahwa kebudayaan adalah barang publik. Alih-alih memikirkan kelayakan infrastruktur dan kecukupan sumber daya, pelaku dan pemerintah bisa memiliki lebih banyak fokus di substansi dan dampak dari kebudayaan itu sendiri,” Hilmar menjelaskan.
Menurut Hilmar, keterlibatan publik sangat penting. Lembaga pendidikan menurutnya, bisa bekerja sama dengan seniman, komunitas, dan pelaku budaya untuk memahami masalah dan advokasi yang diperlukan.
Pembangunan kebudayaan berkelanjutan tidak hanya bergantung pada APBN atau APBD, tetapi juga melalui kemitraan dengan sektor swasta. Baginya, penting untuk memikirkan pembiayaan kebudayaan sebagai investasi yang menghasilkan dampak sosial positif (Social Return on Investment), sehingga dampak sosial dari kebijakan tersebut dapat diukur dengan jelas.
Kepala Dinas kebudayaan Provinsi Sumatra Barat Jefrinal Arifin yang hadir dalam studium generale menjelaskan, upaya pengelolaan kebudayaan yang sudah dilakukan di Sumbar.
“Pemerintah Provinsi Sumatera Barat terus melakukan upaya untuk meningkatkan pengelolaan kebudayaan, di antaranya melalui penerbitan Peraturan Daerah (Perda) tentang pemajuan kebudayaan, pelestarian cagar budaya, dan pengelolaan museum,” terang Jefrinal.
Menurutnya, perda ini menjadi panduan bagi pemprov dalam mengelola kebudayaan. Sumatra Barat sendiri bukan hanya milik Minangkabau, tetapi juga semua etnis yang ada di wilayah tersebut. Dengan keragaman budaya yang ada, tentu kita tidak bisa bekerja sendiri-sendiri, melainkan perlu bersatu dalam memajukan kebudayaan Sumbar.
Syukri Arief, Wakil Rektor 1 (Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan) Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat menjelaskan, kebudayaan Minangkabau telah menjadi perhatian di Universitas Andalas karena telah menjadi basis kebudayaan yang kaya untuk menjadi sumber pengetahuan.
“Dalam hal pemajuan kebudayaan, Unand berkomitmen untuk terus mendukung dan memaksimalkan SDM lewat berbagai program. Studium Generale ini menjadi momen baik bagi mahasiswa untuk dapat pencerahan langsung dari Dirjen Kebudayaan,” kata Syukri Arief.
Menurut Syukri Arief, kegiatan ini bukan sekadar untuk pengetahuan, tetapi juga sebagai patokan dan pandangan ke depan bagaimana arah dan kebijakan nasional terutama dalam hal tata kelola dan sumber daya manusia kebudayaan.
“Kami berharap bisa turut berpartisipasi menghasilkan lulusan dengan tata kelola yang baik untuk program pemajuan kebudayaan di Indonesia,” papar Syukri Arief.
Acara kuliah umum ini menjadi momentum penting untuk membangun kesadaran akan pentingnya partisipasi komunitas lokal dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan budaya, serta memperkuat sinergi antara akademisi dan pelaku budaya di tingkat nagari. SSC/REL