Panggung Ekspresi FPS Sumbar, M. Ishak Fahmi Berorasi: Kritik Adalah Hak Bangsa Dilindungi UU

Minggu, 01/09/2024 17:22 WIB

Padang, sumbarsatu.com—Seratusan penonton duduk balopok di lantai ubin. Mereka sedang menikmati sajian seni dari Panggung Ekspresi Forum Perjuangan Seniman Sumatera Barat, Sabtu 31 Agustus 2024.

Selain penampilan seni, penonton yang didominasi kaum muda ini, juga mendengar saksama orasi budaya yang disampaikan M. Ishak Fahmi, SH, MH, CRBD, seorang Advokat and Low Consultan, dan juga penyuka seni dan budaya ini.

Ishak—yang merupakam putra dari budayawan Minangkabau Bagindo Fahmi—membuka orasinya dengan meneriakkan lantang “Merdeka! Merdeka!”. Dalam orasinya, ia bicara tentang antara ideal dan fakta.

“Agustus adalah bulan bersejerah bagi bangsa ini. Kita memperingati hari kemerdekaan negara kita ini. Namun, kita dikangkangi oleh kenyataan yang sumbang, bertolak belakang antara yang ideal dan dengan fakta,” kata Ishak penuh semangat.

Ia menyebutkan, Taman Budaya merupakan area berkesenian, wadah bagi segala kegiatan kesenian dan kebudayaan daerah (Minangkabau) harus didukung dengan fasilitas yang representatif. Itu idealnya, tidak sebagaimana yang kita lihat secara fakta.

“Semuanya tidak terujud maksimal, kecuali bengkalai bangunan yang kian berlumut dan merimba. Tidak ada kepastian, kapan bengkalai itu diselesaikan,” sebut Ishak.

Ishak mengatakan, silang pendapat itu biasa, apalagi di Minangkabau. "Basilang kayu mako api iduik, bareh jadi nasi." Namun nyala api tungku harus dikontrol aga periuk tidak meleleh, "Jan pariuak jadi sompong."

Ishak bermisal, dalam demokrasi, idealnya kontestasi pilkada mesti lebih satu pasang. Faktanya beberapa daerah memaksakan agar calon yang maju satu pasang saja, melawan kotak kosong. Selain itu, idealnya suara rakyat mesti diakomodir namun faktanya justru kehendak penguasa partai politik yang berlaku.

“Bila terbentur dengan regulasi yang sudah ada, maka aturan atau undang-undang yang tidak cocok segera diubah,” terangnya.

“Inilah yang terjadi di negeri kita. Sebagai rakyat, apakah kita diam? Membiarkan? Tidak, ini harus dilawan! Mengkritik adalah hak warga negara yang dijamin konstitusi dan UU.”

M. Ishak Fahmi

Panggung Ekspresi ini, selain dimeriahkan oleh Komunitas Pemusik Jalanan (KPJ) pimpinan Doni Kamardi, juga oleh Grup Tari Anak Indonesia pimpinan Elfi Damayanti dan Sanggar Seni Indah di Mato pimpinan Erdawati. Monolog “Putu dan Seni” yang dimainkan Artika R dari Komunitas Studio Merah Fakultas Hukum Unand cukup memukau penonton yang duduk bersila di parkiran Taman Budsya tersebut.

Sebagaimana biasanya, pembacaan puisi kali ini diisi oleh Hana Disti dari kalangan milenial dan Yeyen Kiram. Performance Art yang digelar oleh seniman Yogyakarta, Muchlis Zukri.

Penampilan Muchlis Zukri cukup menarik dengan tubuhnya yang dibungkus kain merah putih, dikupas habis hingga ia telanjang bagaikan kertas koran yang penuh dengan aneka tulisan tentang ketidakpuasannya.

KPJ Sakato kembali tampil sebagai penutup dengan lagu “Bento” yang dipupulerkan oleh Iwan Fals. SSC/IF



BACA JUGA