457133199_10164347244519546_2195191196766360531_n
OLEH Saidiman Ahmad (Peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting SMRC)
SETELAH tidak maju dalam pemilihan kepala daerah di Jakarta dan Jawa Barat, Anies Baswedan terpikir untuk mendirikan partai politik. Ini gagasan yang menarik. Menurut Prof. Saiful Mujani, lahirnya partai politik di Indonesia biasanya dipengaruhi atau didukung oleh tiga faktor. Pertama, tokoh.
Umumnya partai di Indonesia, terutama pasca-reformasi, lahir karena adanya figur karismatik. PKB memiliki Abdurrahman Wahid. PAN sebelumnya memiliki Amien Rais. Partai Demokrat didirikan sebagai wadah untuk menampung pendukung Susilo Bambang Yudhoyono. Gerindra juga demikian, sebagai kendaraan politik Prabowo Subianto. Di Partai NasDem ada Surya Paloh. Demikian pula dengan umumnya partai lain di Indonesia.
Melihat kiprah politik Anies sejauh ini, ia jelas memenuhi syarat ketokohan untuk sebuah partai politik. Anies bukan hanya pernah menjadi gubernur di provinsi paling strategis, DKI Jakarta, tapi juga menjadi pemenang kedua pemilihan presiden dengan perolehan suara 24,9 persen. Total sekitar 40 juta warga memilihnya dalam Pilpres 2024 itu.
Bahkan tanpa menjadi anggota partai, dia berhasil menarik tiga partai utama dengan latar belakangan ideologi berbeda: PKS yang islamis/modernis, PKB yang berbasis massa muslim tradisionalis, dan Nasdem yang nasionalis. Semua itu terjadi karena daya tarik figur Anies yang kuat.
Faktor kedua yang bisa menjadi dasar pendirian partai adalah basis massa organisasi masyarakat. Beberapa partai yang lahir pasca-reformasi berdiri dengan dukungan basis massa ormas. Ini diwakili terutama oleh PKB yang berbasis massa NU dan PAN yang dekat dengan massa Muhammadiyah. PKS juga demikian, partai ini menampung massa gerakan tarbiyah yang marak di perkotaan sejak 1980-an dan 1990-an menjelang reformasi.
Apakah Anies memiliki basis massa yang bisa digerakkan membentuk partai? Ya. Salah satu kelompok utama pendukung Anies baik sebagai gubernur Jakarta maupun calon presiden adalah massa dari ormas Islam, terutama di luar NU. Bahkan terlihat organisasi-organisasi dan gerakan Islam baru cenderung dekat dengan Anies. Ini bisa menjadi pintu masuk Anies yang membuat jejaring politik sampai ke tingkat akar rumput di seluruh wilayah Indonesia.
Sejak memenangkan Pilkada DKI 2017, Anies sebetulnya telah menjadi representasi politik Islam di Indonesia. Menurut Prof. Burhanuddin Muhtadi, kecenderungan pemilih yang memiliki orientasi politik Islam di Indonesia mencapai 30-an persen. Ini modal sosiologis yang penting bagi Anies untuk membentuk partai politik. Disadari atau tidak, Anies telah menjadi semacam ikon politik Islam di Indonesia.
Faktor ketiga yang memungkinkan pendirian partai yang kuat adalah momentum perubahan. Reformasi adalah momentum penting yang mendorong lahirnya banyak partai. Reformasi menandai perubahan sistem politik dari otokratis ke demokrasi.
Dalam skala yang lebih kecil, situasi melemahnya demokrasi sekarang ini bisa menjadi momentum yang tepat untuk menawarkan pada publik satu gagasan perubahan atau perbaikan.
Selain menjadi representasi politik Islam, Anies pada dasarnya juga telah menjadi salah satu figur anti-tesis istana. Upaya istana melemahkan demokrasi dengan mengkooptasi partai-partai politik, mengintervensi lembaga yudikatif, membeli independensi ormas besar, menekan media, dan lain-lain adalah bukti tendensi otoritarian pemerintah.
Situasi yang semakin memburuk ini mengalirkan perlawanan publik. Ini adalah momentum perubahan yang penting untuk melahirkan gerakan sosial dan politik baru. Dan ini adalah momentum yang baik bagi figur seperti Anies untuk ikut menumbuhkan semangat perubahan melalui gerakan politik yang lebih terlembaga.
Tiga prasyarat atau modal utama pendirian partai telah terpenuhi. Selanjutnya kita akan melihat apakah modal politik itu bisa dirajut untuk mendirikan satu partai politik yang akan menjadi kanal aspirasi baru bagi para loyalis Anies Baswedan yang memiliki karakter islamis dan demokratis sekaligus. Mungkin.
Depok, 30 Agustus 2024