Ultimatum dari Sumatera Barat, Representasi Militansi Aksi Massa Berunjuk Rasa

LAWAN POLITIK DINASTI

Rabu, 28/08/2024 22:34 WIB

 

Laporan Lapangan SARAH AZMI (Reporter sumbarsatu)

Padang, sumbarsatu.com— Seribuan warga dari pelbagai elemen, terutama mahasiswa kampus-kampus di Sumatera Barat “menduduki” gedung rakyat di Simpang Oke Jalan Khatib Sulaiman Padang. Gedung rakyat itu adalah Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat. Aksi massa meggelar unjuk rasa sejak Kamis, 22 Agustus hingga Senin, 28 Agustus 2024.  

Aksi massa pada Kamis 22 Agustus 2024, pengunjuk rasa memeriksa semua ruang di gedung wakil rakyat itu tapi tak satupun anggota DPRD Sumatera Barat berada di dalam gedung nan megah itu. Beberapa sumber mengatakan, semua anggota DPRD kunjungan kerja ke dapil masing-masing.

“Dewan Pengkhianat Rakyat Daerah (DPRD) menghilang. Takut kepada mahasiswa,” teriak seorang orator dari pelantang suara yang bunyinya sudah agak pecah.

Sebelumnya, dengan membakar ban bekas di depan plang nama kantor wakil rakyat itu, aksi massa membacakan ultimatum yang dinamai “Ultimatum dari Sumatera Barat” yang isinya antara lain mengancam DPR agar jangan main-main dengan RUU Pilkada. “Jika dimainkan dan tetap ngeyel, kami akan boikot pilkada serentak tahun 2024.”

Aksi massa dengan isu "Kawal Putusan MK" yang berlangsung berhari-hari itu merupakan bagian dari gerakan nasional yang menuntut keadilan dari DPR RI dan pemerintah yang melakukan manuver politik ugal-ugalan dengan merevisi UU Pilkada pada 21 Agustus 2024.

Revisi UU Pilkada itu terkesan sangat kuat sebagai bentuk perlawan terhadap keputusan Mahkamah KonstitusiMahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No.60/PUU-XXII/2024  terkait ambang batas parlemen dan No 70/PUU-XXII/2024 tentang batas minimum usia calon kepala daerah. Kendati akhirnya karena desana publik dan masifnya demonstrasi, Baleg DPR bersama KPU memasukkan keputusan MK itu dalam RUU Pilkada.

Sebelumnya, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Wilayah Sumatera Barat mengecam keras tindakan DPR RI dan pemerintah yang secara terang-terangan melakukan pembangkangan konstitusi dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi No.60/PUU-XXII/2024 dan  No.70/PUU-XXII/2024 yang diharapkan mampu menjaga marwah demokrasi dalam proses pemilihan kepala daerah.

Pembangkangan ini dilakukan semata-mata untuk melumpuhkan demokrasi dan melanggengkan kekuasaan Presiden Jokowi dan kroni-kroninya yang didukung oleh kepentingan oligarki. Lumpuhnya demokrasi dan hilangnya fungsi oposisi akan semakin memperburuk upaya dalam mengatasi upaya perlindungan Hak Asasi Manusia, serta mewujudkan cita-cita pendiri bangsa untuk menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh tumpah darah Indonesia.

“Revisi UU Pilkada ini secara telanjang mewakili kepentingan-kepentingan politik penguasa, dan prosesnya yang begitu cepat dan singkat sepenuhnya mengingkari partisipasi dan keberadaan publik. Bila dibiarkan, praktek-praktek politik berbahaya ini akan mempunyai konsekuensi yang luas dan serius pada kemaslahatan publik, termasuk dapat memperburuk konstitusi dan persoalan pelanggaran Hukum dan Hak Asasi Manusia,” papar Ihsan Riswandi, Ketua PBHI Sumbar berorasi.

Namun, di Sumbar, aksi ini bukan sekadar tentang mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Lebih dari itu, ini adalah seruan terhadap kondisi demokrasi yang dianggap semakin terancam.

Demokrasi yang Terancam

Rasa frustrasi dan ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi negara kian mencuat di tengah masyarakat Sumbar.

"Kami merasa bahwa demokrasi sedang berada di ujung tanduk," ujar Firdaus, seorang aktivis mahasiswa dan Presiden BEM KM Universitas Andalas yang turut serta dalam aksi tersebut. "Institusi-institusi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, seperti Mahkamah Konstitusi, kini dihadapkan pada tantangan besar untuk membuktikan bahwa mereka masih dapat dipercaya oleh rakyat."

Firdaus bukanlah satu-satunya yang merasakan keresahan ini. Di Bukittinggi, kota yang dikenal dengan sebutan "Paris van Sumatra," demonstran berkumpul di DPRD Kota Buktinggi dengan semangat yang sama. Mereka mengungkapkan kekhawatiran atas apa yang mereka anggap sebagai erosi demokrasi di Indonesia.

"Kita harus memastikan bahwa suara rakyat tidak dimanipulasi," kata Marni, seorang ibu rumah tangga yang membawa serta dua anaknya dalam aksi tersebut. "Kalau tidak, apa gunanya kita berdemokrasi?"

Militansi dari Ranah Minangkabau 

Sumatera Barat, dengan akar budaya Minangkabau yang kental, memiliki sejarah panjang dalam perjuangan melawan ketidakadilan. Semangat ini kembali mencuat dalam aksi "Kawal Putusan MK dan Batalkan Revisi UU Pilkada." Bagi masyarakat Minangkabau, keadilan dan musyawarah adalah prinsip-prinsip yang tidak dapat diganggu gugat. Mereka melihat perlawanan ini sebagai bagian dari tradisi menjaga marwah dan martabat.

"Prinsip ‘adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah’ mengajarkan kita bahwa keadilan harus ditegakkan di atas segalanya," kata Dwi Setiawan, mahasiswa ISI Padang Panjang yang turut berorasi di Padang. "Kita tidak boleh diam saat melihat kebenaran dipertaruhkan," teriak Dwi Setiawan lantang.

Harapan di Tengah Kegelapan

Meski penuh dengan kekhawatiran, aksi ini juga menyimpan harapan. Harapan bahwa suara rakyat yang bergema dari Sumbar hingga ke Jakarta akan mendorong DPR RI dan pemerintah untuk bertindak adil dan mementingkan suara rakyat. Harapan bahwa demokrasi, meski dihadapkan pada tantangan besar, akan tetap bertahan dan bahkan menjadi lebih kuat.

"Ini bukan hanya tentang keputusan MK yang dianulir atau Revisi UU Pilkada, ini tentang masa depan demokrasi kita," ujar Sarah Azmi, dari Koalisi Masyarakat Sipil yang ikut turun ke jalan. "Kita tidak bisa membiarkan demokrasi kita hancur begitu saja. Aksi ini menunjukkan bahwa negara ini milik seluruh masyarakat Indonesia bukan hanya milik keluarga, sebagaimana mandate Konstitusi kedaulatan ada ditangan rakyat, bukan ditangan rezim."

Hingga malam tiba, massa masih bertahan, menolak untuk pulang sebelum memastikan tidak adanya penerbitan Perpu oleh Presiden untuk melanggengkan kekuasaan politik dinastinya yang sudah dibangun lebih kurang 2 periode terakhir. Bagi masyarakat Sumbar, aksi ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang untuk menjaga demokrasi tetap hidup di tanah air. Aksi ini masih akan tetap bertahan hingga penutupan pendaftaran calon kepala daerah berakhir dan hingga kedaulatan itu kembali kepada rakyat.

Jumat 23 Agustus, aksi massa berlanjut. Namun kali ini, pagar gedung rakyat DPRD Provinsi Sumatera Barat dikunci. Penngunjuk rasa berorasi di luar gedung. Beda dengan hari Kamis aksi massa dibolehkan masuk ke halaman gedung itu.

Aksi pada Jumat massa menuntut bertemu dengan pimpinan dan semua anggota DPRD Sumbar ini. Aksi diiringi dengan hujan lebat. Militansi demonstran berunjuk rasa layak diapresiasi. Di tengah guyuran hujan, mereka tetap berorasi meminta agar anggota DPRD keluar dari “persembunyiannya” namun tak satupun yang berani mendatangi para pengunjuk rasa.

Saat waktu salat Ashar masuk, massa melakukan salat berjamaah di jalan dalam guyuran hujan deras. Sementara di Masjid Asy Syura di Kompleks DPRD Sumbar, yang jaraknya 10 meter dari massa yang salat berjamaah, azan juga berkumandang. Tapi panggilan salat wajib itu ironisnya dengan memagar pintu masjid.

Senin, 26 Agustus, aksi massa unjuk rasa terus berlanjut. Pintu pagar tetap dikunci. Namun, setelah dua hari menggelar unjuk rasa, Supardi, Ketua DPRD Sumatera Barat bersedia menemui massa. Ia naik ke atas kendaraan komando aksi massa. Bawaannya menggigil. Suaranya tak jelas benar. Supardi dipaksa membacakan tuntutan massa demonstran. Lalu ia baca. Tak lama ia pun pergi. Ketua DPRD Sumbar yang tidak terpilih lagi ini dengan pengawalan aparat polisi ini, diteriaki Dewan Pengkhianat Rakyat.

Massa menggoyang-goyangkan pintu pagar setinggi jerapah dewasa itu. Lalu, aksi massa berlanjut dengan merantai dan menggeboki pintu pagar gedung rakyat dari luar. “Karena kami tak dilarang masuk, lebih baik pintu pagar itu kami gembok dari luar,” kata Calvin Permana.

Rabu, 28 Agustus, di saat pelantikan anggota DPRD Sumatera Barat hasil Pileg 2024 untuk periode 2024-2029 dilangsungkan seremonialnya, puluhan massa juga menggelar aksi unjuk rasa dengan menyampaikan orasinya.

Di tengah hiruk-pikuk keramaian pelantikan, mereka membacakan “Ultimatum Rakyat Sumbar” yang ditujukan kepada anggota dewan yang sedang dilantik, isinya adalah:

ULTIMATUM RAKYAT SUMBAR

“Kawal DPRD Sumbar Pelayan Rakyat, Bukan Pengabdi Dinasti, Partai atau Oligarki”

Rabu 28 Agustus 2024 ini, 65 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat dilantik menjadi anggota perwakilan rakyat di Gedung DPRD Sumbar. Selama ini, mandat rakyat hanya berhenti saat pemilihan umum berlangsung.

Pascapemilu ruang partisipasi dipersempit bagi suara-suara rakyat. Mandat yang diberikan oleh rakyat seringkali dikangkangi malah DPRD acapkali menjadi pengabdi dinasti, partai dan oligarki. Situasi ini membuat rakyat sengsara hidup dan kehidupannya.

Perampasan ruang hidup masif terjadi yang memicu kekerasan disegala lini mulai dari kekerasan diranah rumah dan juga diranah public. Situasi ketidakadilan dan keprihatinan yang dirasakan oleh rakyat malah tidak ada dukungan signifikan untuk menyelesaikan problem-problem rakyat.

Sibuk melancong sana-sini dengan kata keren kunjungan kerja dan studi untuk perubahan namun hasilnya nihil bagi rakyat. Kami muak dengan dukungan lip service yang selalu di hadirkan dewan perwakilan.

Di hari ini, kami bagian dari Gerakan Ultimatum Rakyat Sumbar akan selalu berusaha menyelematkan demokrasi. Memastikan DPRD pelayan rakyat adalah misi kami kedepan.  Ada 8 isu utama Rakyat Sumbar, yang harus diprioritaskan penyelesaiannya oleh anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat sebagai berikut:

  • UANG KULIAH TUNGGAL (UKT) MAHAL DAN IURAN PENGEMBANGAN INSTITUSI

kibatnya banyak mahasiswa/i pupus harapan melanjutkan perkuliahan. Hal ini terjadi di PTN-PTN di Sumbar seperti UNAND, UNP serta UIN Iman Bonjol Padang. Situasi ini dikarenakan Mendikbud mengeluarkan Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 yang membuat UKT semakin tinggi dan bisa membebankan IPI bisa maksimal 4 kali jumlah UKT. Hal ini membuat para pimpinan kampus berbondong untuk melakukan hal tersebut. Kami menuntut Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 dicabut dan DPRD Sumbar wajib mengadvokasinya bagi rakyat Sumbar.

Selain itu, UKT Mahal juga dikarenakan adanya proporsi anggaran yang tidak adil bagi kampus kedinasan dan kampus umum yang dikelola Kemendikbud. Setiap tahun, kemendikbud menganggarkan dana sekitar 30 Triliun bagi perguruan tinggi namun Menteri memberikan dana 23 Triliun bagi kampus kedinasan dan hanya 7 Triliun bagi kampus umum dibawah dikti. Hal ini merupakan ketidakadilan yang terjadi di tubuh Kemendikti, padahal yang kuliah di kampus kedinasan terbatas dan lebih sedikit daripada yang perguruan tinggi umum. Kami mendesak DPRD Sumbar untuk mengupayakan perubahan anggaran Pendidikan yang adil bagi kampus umum sehingga dapat menurunkan angka UKT bagi kampus umum.

  • DARURAT KEKERASAN APARAT

Proses penegakan hukum yang terjadi di Sumatera Barat bahkan Indonesia penuh dengan brutalitas dan menghalalkan darah serta nyawa rakyat. Sebut saja kasus Afif Maulana dan 18 orang kawannya menjadi korban kekerasan polisi dan penyiksaan dalam Tragedi Kuranji tanggal 9 Juni 2024 lalu. Namun tak ada sikap dari DPRD Sumbar dan pejabat lainnya. Institusi kepolisian bersikap superbody dan tak tahu diri bukan hanya memukul rakyat tapi juga merusak demokrasi dengan menghalangi dan melakukan kekerasan terhadap jurnalis.

Kita tahu pers adalah pilar kelima demokrasi yang wajib dilindungi secara penuh. Tak hanya itu, kasus extra judicial killing (pembunuhan diluar prosedur hukum) terjadi tiap tahun di Sumatera Barat berganti-ganti pelakunya dari polres ke polres di Sumatera Barat. Sudah saatnya, DPRD Sumbar mendesak lahirnya regulasi anti penyiksaan untuk memberantas polisi brutal dan mencoreng nama korps kepolisian. RUU Anti Penyiksaan adalah perjuangan panjang dari rakyat yang rindu akan polisi paham HAM dan presisi.

  • SELESAIKAN KONFLIK AGRARIA DI SELURUH NAGARI DI SUMATERA BARAT

Konflik agraria massif terjadi di Sumbar terutama di Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Solok Selatan,  Kabupaten Agam, Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Pesisir Selatan. Konflik ini seringkali laten dan akan manifest dalam waktu-waktu tertentu. Hal ini dikarenakan, pemanfaatan tanah yang timpang dimana tanah dikuasai lebih banyak oleh oligarki sedangkan rakyat tak punya tanah untuk bertani dan berproduksi.

Kebanyakan kasus terjadi akibat perkebunan sawit yang hadir tahun 90an di Sumbar sebut saja Petani Kapa melawan PT PHP 1, Masyarakat adat melawan PT LIN, Masyarakat Kinali melawan PTPN VI, Masyarakat Bidar Alam melawan PT RAP, Masyarakat Aia Gadang melawan PT Anam Koto yang menghasilan kriminalisasi terhadap rakyat. DPRD Sumbar wajib mendukung percepatan upaya reforma agraria dan menyelesaikan konflik agrarian sebagai Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria dan memastikan rakyat dalam penyelesaian konflik tidak dikriminalisasi oleh institusi kepolisian. Kami mendesak DPRD Sumbar segera membentuk Pansus Penyelesaian Konflik Agraria di Sumatera Barat.

  • DUKUNG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU DAN MENTAWAI

Perlindungan hak masyarakat adat dengan cara pengakuan hutan adat terutama di Kabupaten Mentawai yang telah mengajukan 9 pengakuan hutan adat sejak bertahun-tahun lalu ke KLHK namun tidak pernah digubris oleh KHLK RI. Memastikan hutan adat bebas dari ekspolitasi hutan dan pastikan RTRW adil bagi masyarakat adat Sumbar seperti areal budidaya pertanian terpadu berbasis budaya agrarian bagi masyarakat adat Mentawai dan Minangkabau.

  • DUKUNG REGULASI DAN ANGGARAN PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI SUMATERA BARAT

Kasus kekerasan seksual yang massif di Sumatera Barat belum optimal dilakukan pemulihan oleh pemerintah. Korban-korban berjatuhan namun dukungan masih kecil dari pemerintahan kami ingin ada peningkatan perlindungan korban kekerasan seksual di Sumatera Barat melalui dua cara yakni pertama membuat regulasi perlindungan korban kekerasan seksual untuk mengatasi DARURAT KEKERASAN SEKSUAL DI SUMATERA BARAT.

Kedua dengan memberikan anggaran khusus pemulihan korban kekerasan seksual bukan untuk rapat-rapat.Kami mendesak minimal dianggarkan 500 juta khusus untuk pemulihan korban yang digunakan untuk keperluan pengobatan medis, dukungan psikologis dan dukungan taktis lainnya yang benar-benar dampaknya dirasakan oleh korban kekerasan seksual.

 

  • DUKUNG PERCEPATAN RUANG AKSES EKONOMI BAGI USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

Selama ini, ruang-ruang public sulit menjadi akses ekonomi bagi rakyat sebut saja penggusuran PKL dimana-mana. Kami mendesak adanya keadilan ekonomi bagi semua bukan hanya memfasilitasi si kaya tapi memberikan perlindungan dan akses bagi ekomoni mikro, kecil dan menengah. Urgen untuk membuat regulasi daerah perlindungan bagi usaha kecil, mikro dan menengah sehingga mereka dapat dengan nyaman mencari penghidupan dan sama-sama bisa hidup di wilayah Sumatera Barat.

  • LAWAN PERUSAK LINGKUNGAN DI SUMATERA BARAT

Selama ini, DPRD SUMBAR tidak bersikap atas perusakan lingkungan yang terjadi di Sumbar. Lihat saja rusaknya jalan nasional Aie Dingin akibat tambang bermasalah dekat jalan nasional sehingga menghambat akses transportasi warga. Pengawasan tambang Sirtukil merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi yang mesti diawasi kerjanya oleh DPRD Sumbar. Bahkan DPRD Sumbar tak bersikap saat masyarakat Desa Sijantang Koto merasakan sakit akibat perusakan atau pencemaran yang dilakukan oleh PLTU Ombilin padahal KLHK RI menjatuhkan paksaan pemerintah sejak tahun 2018 kepada PLTU Ombilin namun tak ada sikap dari DPRD Sumbar. Isu lingkungan dan kerusakan wajib menjadi salah satu isu prioritas di DPRD Sumbar kedepannya.

  • PERBAIKI JALAN-JALAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI

Banyak jalan-jalan rusak dimana-mana dan kami meminta DPRD Sumbar focus memperbaiki jalan rusak yang menjadi kewenangan provinsi Sumatera Barat terutama tanah datar, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kota Sawahlunto, Kabupaten 50 Kota dan jalan rusak lainnya yang menjadi kewenangan provinsi Sumatera Barat.

Tertanda

ULTIMATUM RAKYAT SUMBAR

 

Suasana pelantikan 65 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat pada Rabu 28 Agustus 2024.



BACA JUGA