“Ganggam Tari Kontemporer”, Tiga Koreografer Muda Sumbar Tampil di Ruang Serba Guna

Minggu, 25/08/2024 11:27 WIB
Pertunjukan koreografi

Pertunjukan koreografi "Panindogat" karya Ahmad Ghozali Idham Muttakin

Padang, sumbarsatu.com—Taman Budaya Sumatera Barat menggelar pertunjukan tiga koreografi dengan tajuk “Ganggam Tari Kontemporer” Sabtu malam, 24 Agustus 2024 di Gedung Lantai 4 Dinas Kebudayaan Sumatera Barat. Tiga koreografer itu adalah Arif Agustakdir Rahman, Achmad Iqbal, dan Ahmad Ghozali Idham Muttakin.

Ketiga koreografer muda ini merupakan hasil dari lokakarya tari yang merupakan program unggulan Taman Budaya Sumatera Barat yang dilaksanakan Maret  2022 yang diampu seniman tari Ery Mefri, Hartati, dan M Fitrik.

“Giat “Ganggam Tari Kontemporer”perwujudan apresiasi Taman Budaya terhadap peserta lokakarya tari yang dilaksanakan pada Maret 2022 lalu. Setelah menjalani proses kurasi dari para pengampu dan pengembangan ide dari konsep karya, maka malam ini ketiga karya cipta tari itu dipertunjukkan,” kata Supriyadi, Kepala Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat saat memberi sambutan pegelaran ini.

Sementara, Ery Mefri, koreografer Indonesa dan Pimpinan Nan Jombang Dance Company berharap, ketiga koreografer muda ini terus tanpa henti berproses, latihan, olah kepekaan social, perkaya gagasan dengan berdiskusi dan membaca.

“Proses berkarya merupakan keniscayaan dan mutlak. Tak ada karya seni yang diapresiasi secara luas public yang dihasilkan secara instan. Kematangan karya itu pada prosesnya. Jadi saya harap kepada tiga koreografer muda ini, terus matangkan karya tari dengan proses, proses, dan proses,” harap Ery Mefri yang baru mementaskan dua karya koreografinya di festival yang berbeda.

Undri, Kepala BPK III Wilayah Sumatera Barat menjelaskan posisi pemerintah sebagai fasilitator untuk kegiatan-kegiatan kebudayaan.

“Peran dan fungsi ini harus maksimal dilaksanakan. Kita harus mengakomodir karya-karya seni seniman dan difasilitasi agar publik bisa mengaksesnya,” kata Undri.

Karya koreografer Achmad Iqbal berjudul "Kita adalah Saksi".

Selain itu, ia berharap agar semua peristiwa budaya terdokumentasikan secara baik dan sistematis, mudah diakses, dan tertata sesuai dengan bidang seninya.

“Dokumentasi ini sering diabaikan padahal peristiwa budaya yang dokumentatif berperan besar di masa depan untuk menjajaki sejarah untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu, dan juga untuk riset dan penelitian,” urainya.  

 “Ganggam Tari Kontemporer” menghadirkan tiga pementasan tari. Masing-masing tari berdurasi berbeda tapi secara umum ingin menarasikan tentang aspek kegelisahan dan kecemasan diri dari gempuran sosial kendati masih gagap dalam menerjemakannya dalam gerak tubuh dan komposisi, serta elemen lainnya.  

Koreografer Arif Agustakdir Rahman menampilkan karyanya berjudul "Panggilan Jiwa Kekosongan", Ahmad Ghozali Idham Muttakin dengan "Panindogat", dan Achmad Iqbal berjudul "Kita adalah Saksi". Ketiga karya tari ini menggunakan latar musik rekaman.

Dalam relis buku program yang dibagikan, tak banyak yang bisa dipetik untuk acuan ketiga karya ini. Dalam buku program 16 halama kita tak menemukan konsepsi tari yang dipentaskan, tak ada penjelasan tentang proses dan dasar pijakan garapan. Kendati ada sinopsis masing-masing karya, yang judulnya pakai bahasa Inggris, toh tak memadai karena dalam pertunjukan di panggung terkesan meleset dari apa yang dituliskan dalam sinopsis sederhana itu.

Sebagai langkah awal bolehlah ketiga pertunjukan memeroleh apresiasi antusias seratusan penonton di gedung yang sebenarnya sangat tidak layak untuk pertunjukan seni. Dari aspek manapun dilihat, tempat pementasan di Lantai 4 Gedung Kebudayaan Sumatera Barat ini, sangat tidak memadai untuk pertunjukan seni jika dilekatkan dengan standar sebuah gedung seni. Tetapi jika cuma agar terlihat bahwa Dinas Kebudayaan dan UPT Taman Budaya Sumatera Barat seolah memprogramkan karya para seniman dan anggaran pun cair, tentu ini soal lain lagi.

Koreografer Arif Agustakdir Rahman menampilkan karyanya berjudul "Panggilan Jiwa Kekosongan"

Maka dengan demikian—yang jelas saja—dari sudut artistik, akustik, tata lampu, elemen lain seperti posisi dan tampilan ruang, dan sebagainya mendukung sebuah panggung, sehebat apapun karya seni diciptakan, akan babak belu saat ditampilkan di ruang serba guna ini. Tentu jika Dinas Kebudayaan dan Taman Budaya berkomitmen memajukan seni dan budaya Sumatera Barat, konkretkan hadirnya gedung pertunjukan seni yang representatif.

Dari itu pula, pementasan karya seni di ruang yang begini ini—untuk tiga karya koreografer muda ini misalnya—tak banyak yang bisa diungkap karena semua elemen dan unsur pertunjukan tidak memadai. Akibatnya, seniman tidak mendapatkan kritik seni yang bermutu. Dan tentu saja, berdampak pada peningkatan dan pengembangan kualitas karyanya sendiri.

Kegelisahan Koreografer Muda

Ketiga koreografer—yang barangkali usia sebaya: Ahmad Ghozali Idham Muttakin dan Achmad Iqbal menjalani proses pendidikan seni di ISI Padang Panjang, dan  Arif Agustakdir Rahman

 di UNP—mengisahkan kegelihan diri mereka yang diucapkan dalam koreografinya. Ketiga karya tari ini menggunakan latar musik rekaman.  

Arif Agustakdir Rahman dalam "Panggilan Jiwa Kekosongan" menarasikan soal modernitas kemajuan era teknologi yang sudah jadi bagian habitat kehidupan manusia ternyata semakin lama semakin mengosongkan hati mereka. Ada kehampaan psikologis yang terus menerus menggerogoti kehidupan manusia. Di atas panggung, para penari membawa gawai dengan menyalakan penerangnya sebagai simbol modernitas. Gawai atau telepon genggam merupakan perangkat teknologi yang tak bias dipisahjan dalam keseharian umat manusia.

Ahmad Ghozali Idham Muttakin dengan "Panindogat" yang berbasis pada tetarian tradisional etnis Mentawai. “Panindogat”, kata Ghozali, interpretasi dari ritual“pasibitbi”, yaitu ritual pengusiran roh jahat dalam masyarakat Mentawai. Eksploitasi liar biasa terhadap sumber daya alam Kepulauan Mentawai menginspirasinya, dan para cukong kayu yang memperkosa alam Mentawai secara serampangan, dianggapnya sebagai roh jahat.

“Makanya, roh jahat yang merusak alam Kepulauan Mentawai harus diusir. Ini pesan utama yang disampaikan tari "Panindogat" itu,” kata Ahmad Ghozali Idham Muttakin.

Sementara penampil pemungkas koreografer Achmad Iqbal berjudul "Kita Adalah Saksi" berkisah tentang invasi dan pembunuhan sistemik srael terhadap tanah dan rakyat Palestina.

Ada tiga penari di atas panggung dengan lumuran lumpur bergerak dengan dengan menyi,bolkan penyiksaan kekejaman zionis Israel. Dari tiga pertunjukan tari ini, cuma  karya ini yang penarinya mengeluarkan suara. Seorang penari secara verbal meneriakkan minta totong.

Jika program ini sebagai upaya Taman Budaya untuk melahirkan karya-karya yang berkualitas sebagai seni, proses kurasi yang sungguh-sungguh dari curator menjadi pertaruhan penting. Kurator harus betui-betul berdialog dan berinteraksi dengan para calon-calon koreografer muda ini, dan ini tentu berlaku juga terhadap teater, dan musik. Jangan terkesan karya-karya yang dihadirkan terlihat tidak sebagai hasil kerja kuratorial.

Malam itu, terlihat penonton cukup antusias dan kondisinya cukup positif. Dan kini tinggal bagaimana menata karya yang tampil di ruang serba guna itu ditata lagi dengan serius. SSC/MN

 

 

 



BACA JUGA