Rumah yang hancur akibat gempa bumi di Papua Nugini. Sumber KITLV
OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
Apa kabar Pansier? Perjalanan kita mengubek-ubek kisah-kisah di periode kolonial kali ini masih di wilayah timur Indonesia dan masih di seputaran kisah-kisah kegempaan yang pernah melanda, dan salah satunya adalah Papua.
Menurut Nuryanto, H.S (2019), wilayah Papua dipengaruhi oleh dua lempeng tektonik utama yang saling bertabrakan dan bergerak secara aktif. Lempeng Pasifik-Caroline bergerak ke arah barat-barat daya, sedangkan Lempeng Indo-Australia bergerak ke utara. Akumulasi energi di sekitar titik pertemuan lempeng-lempeng ini akan memicu terjadinya gempa bumi ketika lapisan bumi tidak mampu menahan energi yang terakumulasi.
Di periode Kolonial Belanda, catatan kegempaan di Papua dikabarkan oleh surat kabar Java Bode (27 Agustus 1864) dan Zutphensche Courant (22 Oktober 1864). Berdasarkan laporan kedua surat kabar tersebut, gempa terjadi pada tengah malam tanggal 21-22 Mei 1864 di wilayah Doreh, Pulau Mansinam, dan Pegunungan Arfak. Di Doreh dan Pulau Mansinam, gempa menyebabkan rumah-rumah misionaris Eropa yang dibangun kokoh dari kayu dan batu runtuh, meski tidak ada korban jiwa di kalangan misionaris. Tsunami setinggi 8-10 kaki menghanyutkan rumah-rumah panggung penduduk dari pantai ke pedalaman. Di Pegunungan Arfak, gempa menimbulkan retakan yang mengeluarkan asap dan uap, seolah-olah terjadi aktivitas vulkanisme, dan diperkirakan menewaskan sekitar 200 penduduk asli.
Lima puluh tahun kemudian, gempa kuat dan mematikan berikutnya terjadi pada 26 Mei 1914 di barat Kepulauan Yapen di Teluk Geelvink (Teluk Cendrawasih). Gempa ini juga menyebabkan tsunami yang menghanyutkan banyak rumah dan perusahaan dagang kecil. Kerusakan signifikan terjadi di Pom, Wooi, dan Ansas, dengan 51 rumah penduduk dan 11 rumah dagang roboh di Pom, serta 28 rumah penduduk dan 7 rumah dagang rusak di Wooi (Bataviaasch Nieuwsblad, 10 Oktober 1914). Banyak harta benda hilang, terutama di rumah-rumah yang dibangun di atas air.
Gempa dan tsunami besar lainnya terjadi di Fakfak pada akhir 1937 dan awal 1938, 23 tahun setelah gempa besar di barat Kepulauan Yapen di Teluk Geelvink (Teluk Cendrawasih). Laporan surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (6 November 1937) mencatat tiga gempa kuat pada 5 November yang diikuti gelombang pasang setinggi setengah meter.
Pada 2 Februari 1938, gempa yang lebih kuat lagi memaksa penduduk mengungsi dan menyebabkan gelombang pasang setinggi satu hingga dua meter (Haagsche Courant, 3 Februari 1938). Dua pulau kecil di wilayah Kokas menghilang, menyebabkan permukaan air laut naik sekitar 10 cm (De Telegraaf, 14 Februari 1938).
Hal menarik dari peristiwa kegempaan yang terjadi di Papua adalah masyarakat Papua menyimpan kepercayaan bahwa gempa terjadi karena seekor naga raksasa yang bersemayam di bawah tanah, dan untuk menenangkan naga tersebut, penduduk memukuli anjing-anjing mereka agar melolong keras (De Locomotief, 28 April 1934). Kondisi ini memperlihatkan bahwa interaksi antara kejadian geologis dan kepercayaan lokal menghasilkan bentuk-bentuk kepercayaan lokal untuk menjawab perubahan alam.
Kepercayaan lokal yang mengaitkan gempa dengan naga raksasa mencerminkan cara masyarakat Papua memahami fenomena geologis dan menghadapi rasa takut atas ketidakpastian yang timbul akibat bencana alam. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya untuk menelusuri kembali peristiwa-peristiwa kebencanaan di masa lalu, karena pemahaman dan respons masyarakat terhadap bencana ini tidak hanya melibatkan aspek fisik tetapi juga budaya dan spiritual.
Menelusuri kembali peristiwa-peristiwa kebencanaan yang terjadi di masa lalu tidak hanya memberikan wawasan tentang kejadian-kejadian besar di masa-masa tersebut, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat setempat merespons dan beradaptasi dengan tantangan yang mereka hadapi. Mempelajari sejarah kegempaan di Papua adalah langkah penting dalam membangun ketahanan dan kesiapsiagaan terhadap bencana di masa depan. ***