Payakumbuh Kreatif, Ngopini, “Gerobak Kopi”, dan Mimpi-mimpi Bersama

Minggu, 07/07/2024 20:48 WIB

Payakumbuh, sumbarsatu.com—“Gerobak Kopi” bukan sebatas kedai kopi yang serius sekali soal kualitas. Lebih dari itu, dalam batas tertentu, ia juga adalah lapau—tempat orang-orang biasa bicara banyak hal. Ruang bagi siapa saja untuk membahas apa saja. Dari politik, tabib penyakit gigi paling handal, hingga konstelasi geopolitik global terkini. Obrolannya bisa bermutu bisa tidak. Kadang orang-orang lapau membahas ini itu, biar ada yang diotakan saja, biar tidak hening suasana lapau.

Kendati begitu, Gerobak Kopi” sedikit berbeda dengan lapau-lapau ‘tradisional’. Sejak 2017 lalu, Gerobak Kopi”  sudah jadi rumah bagi Ngopini, sebuah acara ngobrol-ngobrol yang diinisiasi oleh Payakumbuh Artee Committee (PYAC). Ini adalah gelanggang tukar pikiran yang dirancang sedemikian rupa dengan anak muda dengan segala problematikanya, terutama di bidang seni dan budaya, sebagai fokusnya.

Sepanjang Juli 2024 ini, Gerobak Kopi”  jadi ajang empat seri diskusi ekonomi kreatif. Pada Selasa (2/07/24) lalu, seri dengan tajuk “Amplifying Creativity: Masa Depan Ekonomi Kreatif dalam Seni Pertunjukan, Musik dan Rekaman,” telah digelar.

Di seri pertama ini, para pembicaranya berasal dari berbagai sektor industri musik dan seni pertunjukan. Ada komposer Andes Satolari, pengamat musik Liko Deniro, musisi Jhon Selon, dan produser musik Maihendri Ardhan.

Mereka berbagai persoalan yang dihadapi di lingkup kerja masing-masing, dan hubungannya dengan lingkungan lebih luas, seperti iklim komunitas kreatif di Payakumbuh (dan 50 Kota) serta dengan pemerintah dengan segala otoritas dan kewajibannya mendukung ekonomi kreatif di Kota Payakumbuh.

Berbagai kalangan ikut berembuk. Mulai dari musisi senior, musisi dari generasi paling muda, hingga para pelaku ekonomi kreatif lainnya di Kota Payakumbuh.

Janang Muhammad Ikhsan, mengoper bola pembicaraan dengan cukup lincah. Setelah membuka acara, ia langsung saja ‘menodong’ Bobby Prakarsa, Kabid Ekonomi Kreatif Disparpora Payakumbuh yang duduk di barisan peserta diskusi.

Setelah menjabarkan tupoksi dinasnya, Bobby mengatakan ada 17 sektor ekonomi kreatif dalam perundang-undangan namun, untuk saat ini, Disparpora Payakumbuh lebih fokus di 4 sektor, yaitu fasyen, kuliner, videografi, dan seni pertunjukan.

Bobby juga menyebut sejumlah hambatan dalam mengembangkan ekonomi kreatif di Payakumbuh. Selain persoalan infrastruktur yang berkaitan dengan minimnya anggaran, ia juga menyoroti soal tidak adanya jembatan antara pemerintah dan pelaku ekonomi kreatif.

“Kita punya mimpi besar yang sama, tapi kemampuan pemerintah terbatas,” katanya. Saat ini, ia memberi contoh, pemerintah telah merancang platform bernam Payakumbuh Creative Hub. Tapi platform itu baru berwujud platform digital, bukan ruang kreatif seperti gedung,” kata Bobby Prakarsa.

Menurutnya kedepannya pemerintah akan berupaya mewujudkan Creative Hub yang representatif—wadah bagi segenap stakeholder ekonomi kreatif untuk sama-sama membangun Payakumbuh.

“Intinya pemerintah tidak akan lepas tangan. Kita sama-sama melihat besarnya potensi ekonomi kreatif di Payakumbuh,” katanya seraya menekankan agenda ke depan mengembangkan Payakumbuh sebagai sentra ekonomi kreatif.

Dan ia menilai serial diskusi ekonomi kreatif Ngopini sebagai salah satu jalan ke arah sana. Lewat Ngopini, katanya lagi, pemerintah bisa menampung masukan-masukan serta hambatan-hambatan yang dialami pelaku ekonomi kreatif di Payakumbuh. Semua akan dicatat sebagai acuan ke depannya.

Diskusi segera ‘memanas’ setelah penjabaran Bobby tadi. Muhammad Ikhsan langsung mengoper bola ke para narasumber, meminta mereka berbagi pengalaman selama menggeluti profesi masing-masing. Secara umum, para narasumber melihat hadirnya teknologi digital memudahkan kerja-kerja mereka. Dari mulai mengompos musik, memproduseri, serta memasarkan karya. Namun semuanya tidak berarti kondisinya baik-baik saja.

John Selon misalnya. Ia melihat pemerintah mengabaikan para pelaku ekonomi kreatif di sektor musik independen.

“Sekarang banyak gigs, banyak kolektif, banyak musisi penuh talenta, yang memproduksi karya dan mendistribusikannya dengan jaringannya yang juga sudah ada, ” katanya. “Genre musik yang berkembang juga makin beragam, dengan fanbase yang lumayan besar,” terang John Selon.

Tapi, John menggarisbawahi, di tengah perkembangan positif itu, komunitas punya keterbatasan. Komunitas musisi independen tidak punya kemampuan logistik untuk membangun ruang pertunjukan yang nantinya bisa menjadi tempat bagi iven-iven bersama.

Di sini, ia melihat pemerintah belum memperlihatkan niat serius untuk membangun ruang pertunjukan seperti itu. Tanpa itu semua, ekosistem tidak akan jalan, dan musisi-musisi bisa hijrah ke pekerjaan lain atau merantau ke luar.

Senada dengan John, Andes Satolari juga melihat tidak adanya ruang pertunjukan yang representatif di Payakumbuh. Tapi Andes melihat tiadanya ruang pertunjukan semacam itu, punya efek buruk yang lebih mengkhawatirkan.

“Selama ini saya mengompos musik berangkat dari musik-musik tradisional seperti Sijobang, Sirompak, atau sampelong,” katanya. Musik-musik tradisional ini adalah milik masyarakat, ia ingin menampilkan komposisi garapannya ke hadapan masyarakat itu sendiri.

“Tapi kita tidak punya ruang pertunjukan dan event khusus untuk itu,” katanya sambil menekankan, komposer ‘miskin’ sepertinya tak akan sanggup mewujudkan hal tersebut. Di sanalah ia melihat pemerintah perlu turun tangan.

“Jika tidak,” kata Andes lagi, “karya-karya yang diolah dari musik tradisional kita hanya akan dibawa para peneliti dan seniman ke tempat mereka sendiri-sendiri. Kalau peneliti dan senimannya berasal dari luar negeri, maka hanya orang-orang di luar negeri itulah yang dapat menikmatinya. Begitu juga dengan akademisi dari kampus-kampus, yang hanya menampilkan karya-karyanya di lingkungan kampus saja.”

Sementara, lanjut Andes, masyarakat pemilik musik tradisionalnya sendiri hanya menjadi objek penelitian saja. Hasilnya tidak dikembalikan ke mereka, terutama ke generasi lebih muda. Jika kondisi ini terus dibiarkan, Andes khawatir lama-lama kekayaan musik tradisional di Payakumbuh tidak hanya terancam punah namun juga beralih menjadi milik orang dari negeri lain.

Karena itulah, Andes sekali lagi menyebut pentingnya ruang pertunjukan di mana event-event yang melibatkan masyarakat si pemilik musik bisa digelar secara berkelanjutan.

Ruang pertunjukan yang dimaksud para pembicara, bukan sekedar berarti ruangan dalam bentuk fisik. Tapi ruang untuk berjejaring, bertukar pikiran, dan merancang kolaborasi.

Hal tersebut dilihat penting oleh Maihendri Ardhan dan Liko Deniro. Menurut mereka, para musisi memang bisa bekerja sendiri-sendiri dalam memproduksi dan memasarkan karya. Namun begitu, tetap dibutuhkan ruang bersama untuk saling mendukung dan saling mengenal satu sama lain. Apa yang tidak ada di satu komunitas, bisa disuplai oleh komunitas atau produser lainnya. Di ruang itu juga para musisi bisa saling belajar mengenai hal-hal manajerial.

“Di ruang itu m kita bisa kolaborasi, saling support, memperluas distribusi karya,” kata produser yang bergerak di industri musik pop berbahasa Minang itu.

Peserta diskusi juga ikut memberi pandangan. Di antaranya Muhammad Alif, dan Bagus Hanivan. Mereka berdua adalah beberapa di antara ‘gisg makers’ di Payakumbuh saat ini. Alif dan tema-temannya punya kolektif bernama RATTS, sedang Bagus mengorganisir kolektif bernama Underscene.

Kolektif-kolektif ini hampir tiap bulan menggelar pertunjukan musik underground di Payakumbuh. Mereka punya komunitas dan jaringan luas hingga ke mancanegara. Mereka adalah bagian dari ekosistem musik yang selama ini berada di luar radar kebijakan, yang telah melahirkan demikian banyak karya yang patut diperhitungkan secara musikalitas.

Tapi mereka sangat disulitkan oleh perijinan yang berbelit-belit. Birokrasi yang ruwet ini, menurut mereka adalah hambatan langsung dalam mengembangkan ekosistem musik di Payakumbuh. Tidak hanya musik underground, namun juga musik indie seperti telah disinggung John Selon.

Bobby menanggapi hal tersebut. Ia mengatakan akan membawa persoalan ini ke kantornya, dan akan mengupayakan koordinasi antar sektoral untuk memangkas birokrasi untuk memudahkan para gigs makers dan pelaku seni pertunjukan umumnya.

Narasi Musik

Malam itu langit bersih. Udara sejuk. Diskusi berlangsung hangat dan cukup panas. Banyak hal soal ekosistem musik dan seni pertunjukan yang dibahas. Selain hal-hal di atas, saya sendiri melihat kurangnya penulis musik dan seni pertunjukan di Payakumbuh sebagai salah satu hambatan. Tanpa penulis, narasi tak akan terbangun. Tanpa kisah dan cerita, di mata publik, peristiwa-peristiwa budaya yang berhubungan dengan ekonomi kreatif tidak akan berbeda dengan acara seremonial khas pemerintah.

Salah satu narasi yang perlu terus dibangun adalah bahwa ketika bicara musik, berarti bicara segala jenis genre musik. Bukan hanya musik mainstream, musik pop, atau musik ‘tradisi’, tapi juga musik seperti punk, hardcore, grunge, metal, dst. Merekalah yang kini menjadi denyut kancah musik Payakumbuh. Pemerintah, para pengamat musik, para musisi senior, harus menanggalkan pandangan bias tersebut. Ini perlu sekali jika betul-betul ingin mengembangkan ekonomi kreatif.

Andre Gunawan, alias Andre Miing, pendiri “Gerobak Kopi” mematut-matut jalannya diskusi di barisan penonton. Kami sudah berkawan sejak masa-masa SMA, saling kenal lewat jaringan ‘anak punk’.

“Kenapa Gerobak Kopi mau repot-repot jadi rumahnya Ngopini?” tanya saya spontan saja`malam itu, beberapa saat setelah acara kelar.

“Ya, kau kan tau, betapa pentingnya komunitas dan berjejaring. Kita kan sama-sama dari sana asalnya. Kan dari berkomunitas itu kita saling tukar gagasan, ide-ide, dan lainnya, hingga bisa dikembangkan jadi macam-macam kegiatan dan usaha ekonomi,” katanya membuka cerita.

“Saya kan dari awal selalu bermimpi Gerobak Kopi ini juga jadi semacam ‘rumah’ bagi komunitas-komunitas dan anak-anak kreatif, Ngopini ini salah satu ruang buat komunitas-komunitas bertemu dan berdiskusi,” katanya lagi sambil mengatakan bahwa ia percaya dari diskusi dan tukar pikiran, akan lahir hal-hal baik. Termasuk dalam mengembangkan ekonomi kreatif.

Ngopini sendiri mulai diadakan 2017, hanya dua tahun setelah Andre mulai membangun Gerobak Kopi pada 2015 lalu.

“Nah, gagasan-gagasan para narasumber dan peserta Ngopi, bisa tersebar luas jadinya, bisa jadi konsumsi publik. Jadi suatu gagasan tidak terbatas persebarannya di sirkelnya sendiri, atau terbatas di kalangan usia tertentu,” tambahnya sembari berharap Ngopini juga jadi ruang transmisi pengetahuan dan gagasan antar-generasi.

Selain itu, katanya setelah menyeruput kopi di tangannya, Gerobak Kopi juga percaya bahwa Ngopini adalah salah satu upaya menjaga tradisi berlapau masyarakat kita.

“Ota lapau lebih banyak anginnya sih, dari pada isinya,” bantah saya. Lapau-lapau sebagai pusat intelektual tingkat Nagari, urang alternatif bagi ruang formal seperti KAN dan Bamus, dalam pandangan saya, hanyalah ideal para akademisi perantaun saja.

Tapi setelah mengikuti Ngopini berkali-kali, Andre (dan kawan-kawan PYAC) ada benarnya. Jika dikelola dan dirancang dengan baik, ota-ota lapau memang bisa menjadi diskusi yang produktif. Harusnya pemerintah yang hadir malam itu tidak hanya melontarkan semacam ‘lip service’ saat menanggapi para narasumber dan peserta diskusi. Mereka memang berkewajiban memfasilitasi pelaku salah sektor ekonomi kreatif ini.

Jika pun nyatanya pemerintah hanya hadir di Ngopini untuk penyenang-nyenang hati, setidaknya komunitas-komunitas dan individu yang hadir malam itu, bisa memetakan perkembangan ekosistem musik dan seni pertunjukan di Payakumbuh serta segala kekurangannya—kekurangan yang akan mereka atasi sendiri karena selama ini telah terbiasa melakukan kerja-kerja mandiri.

Kami sama-sama termenung, larut dalam pikiran masing-masing. Dulu saya tidak pernah membayangkan Payakumbuh akan jadi seperti sekarang ini ekosistem musiknya, terutama musik bawah tanahnya. Betapa besar kemajuannya, menggembirakan sekali. Andre mungkin juga lagi memikirkan hal yang sama.

“Semoga di hari depan, Ngopini terasa dampaknya, dan Gerobak Kopi bisa melahirkan serta menguatkan komunitas atau individu kreatif yang saling berjejaring. Mimpi kita masih ada dan panjang,” katanya tiba-tiba.

“Amin,” kata saya dalam hati. SSC/Randi Reimena

Iklan

BACA JUGA