Puisi: Ketidakberdayaan, Pergulatan, Penyerahan dan Kebangkitan? Ya, dalam Iman!

Jum'at, 31/05/2024 05:59 WIB
Andria C Tamsin menyampaikan orasinya dalam kegiatan “Memperingati 20 Tahun Berpulangnya Sastrawan Hamid Jabbar”, Rabu, 29 Mei 2024

Andria C Tamsin menyampaikan orasinya dalam kegiatan “Memperingati 20 Tahun Berpulangnya Sastrawan Hamid Jabbar”, Rabu, 29 Mei 2024

 

OLEH Andria Catri Tamsin (Dosen UNP)

Prolog 

Judul prolog ini diambil dari judul esai Hamid Jabbar yang dimuat dalam  kumpulan puisinya yang berjudul Super Hilang: Segerobak Sajak Hamid  Jabbar. Hamid Jabbar, nama lengkapnya Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar, lahir di Nagari Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, 27 Juli 1949.  Wafat pada 29 Mei 2004 ketika sedang membacakan puisi karyanya yang berjudul  “Merajuk Budaya Menyatukan Indonesia”, dalam suatu acara Dies Natalis  Universitas Islam Negeri Jakarta. Dalam esai itu antara lain ia menuturkan:

“Dan kebangkitan pun muncul. Kebangkitan apa?  Kebangkitan atau pembebasan di mana 'setitik nur Ilahi  dalam diri manusia yang telah ditiupkan Allah di saat mula pertama kejadian manusia' memancar dan mendebu cahayakan butir-butir puisi. Kebangkitan untuk apa?  Kebangkitan untuk melafasnafaskan 'Lailahhaillallah' serta berusaha 'menumbuhkan pribadi muslirn-sejati'.”

Konsep “setitik nur Ilahi” yang dibicarakannya dalam sesi itu dituangkannya  ke dalam sajak yang berjudul Setitik Nur. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam esai itu, yaitu pergulatannya ketika menulis sajak-sajaknya berbasiskan iman Islam,  oleh karena itu, sajak-sajak Hamid Jabbar sangat kuat dimensi spiritualitas Islam. 

Ide dan gagasan yang mengacu kepada agama Islam itu tidak berhubungan  dengan formalitas Islam, syariat atau dimensi luar, eksoteris. Sajak-sajak itu tidak membicarakan tentang pokok-pokok ajaran Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji,  jihad dalam perspektif syariat. Kalaupun ada sajak itu yang berbicara tentang zikir dan  jihad sebagai salah satu bentuk syariat Islam, namun pembicaraan itu tidak dalam  dimensi eksoteris, melainkan lebih ke dalam lagi, yang batin, yang berdimensi esoteris.  Penekanan yang diberikan dalam sajak-sajak itu lebih kepada dimensi esoteris tersebut.  Dalam kata lain, Hamid Jabbar lebih cenderung berbicara tentang hakikat daripada  syariat dalam sajak-sajak tersebut. Hal itu terlihat pada sajak yang berjudul Setitik Nur  (Jabbar, 19989:7). 

Sajak yang berjudul Setitik Nur berbicara tentang hakikat, yaitu hakikat  kejadian manusia. Sebagai penghayatan terhadap religiusitas agamis, orang yang  menjalankan syariat Islam yang diperintahkan oleh Allah bagi pemeluknya, Hamid  Jabbar tidak serta merta puas dengan pelaksanaan syariat tersebut. Justru, dia  mempertanyakan hakikat dirinya sebagai orang yang melaksanakan syariat tersebut.  Pertanyaan tentang hakikat diri, manusia itu berkenaan dengan asal kejadian diri  manusia. Oleh karena itu, pernyataan lahirlah aku setitik nur pijaranMu (L.2) dalam  sajak Setitik Nur merupakan statmen tentang asal kejadian manusia. Namun, statmen  itu diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan yang beranak pinak, sehingga dia tidak dapat  memberikan jawaban yang pasti, mengapa manusia diciptakan dari setitik nur pijaran  Tuhan, bahkan tidak kuasa menjawabnya walaupun berbagai agurmentasi spekulatif  yang ditawarkan untuk menjawab pertanyaan tersebut, namun selalu tidak memuaskan,  kecuali kembali kepada Tuhan untuk menemukan jawabannya dengan suatu keyakinan  bahwa hal itu atas kekuasan Tuhan.

Pada sajak Setitik Nur itu terkandung tiga hal yang disampaikannya. Pertama, tentang upaya mengenal diri. Sebagaimana sabda Nabi saw, "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu" (Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya). Maksudnya, mengenal Tuhan yang disembah itu melalui pengenalan  tentang diri sendiri. Kalau dia tahu tentang dirinya, dia akan tahu dengan  Tuhannya. Hanya melalui pengenalan diri itulah manusia dapat mengenal  Tuhannya.

Kedua. akal manusia tidak mampu menjangkau wilayah terdalam  dalam diri manusia, hakikat dan asal kejadiannya. Batas manusia hanya arif,  paham bahwa manusia itu berasal dari Tuhan dan kembali kepadaNya. Jadi,  wilayah pengenalan diri bukan wilayah akal pikiran, melainkan wilayah hati, atau  dzauq, rasa yang dipahami dengan kearifan. Makanya dalam tasawuf, orang yang  sudah kenal dengan Tuhan melalui pengenalan diri disebut arifbillah.

Ketiga,  pusat segala aktivitas peribadat, ritual-ritual agama Islam yang telah ditetapkan  secara syariat, hukum-hukum Allah, adalah menuju kepada yang disembah, yaitu  Allah SWT. Allah adalah pusat segala ritual dalam peribadatan dalam agama  Islam. Oleh karena itu, para sufistik cenderung perupaya mengenal Allah terlebih  dahulu sebelum melakukan aktivitas peribadatan syariat, yang disebut  makrifatullah, mengenal Allah. Mengenal Allah melalui pengenalan diri.

Dengan  demikian, dalam tasawuf diri merupakan objek utama untuk dibersihkan agar  dapat penglihatan batin, kasyaf tentang Allah. Usaha-usaha untuk membersihkan  diri dalam tasawuf disebut jihad, yaitu dengan secara sungguh-sungguh  membersihkan diri dari kekotoran dunia yang telah mengkontaminasi hati. Tidak  akan mungkin manusia akan kenal dengan Tuhannya tanpa membersihkan diri terlebih dahulu dari perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu, yakni suatu karakter  buruk pada manusia, suatu kepribadian yang tercela. Karakter itu menyerupai binatang  bila lepas bebas tanpa terkendali. Tabiat binatang ini merupakan pengejawantahan dari  karakter manusia yang cenderung memperturutkan hawa nafsunya.

Tujuan  pembersihan diri melalui jihad itu agar manusia memperoleh cahaya; Nur  Ilahiah dari Tuhan yang memancar dalam dirinya. Inilah yang disebut orang  yang telah kenal dengan Tuhannya, yaitu dia kenal ada nur Ilahiah dalam  dirinya sebagaimana yang disebutkan dalam sajak Setitik Nur dan orangnya  disebut telah sampai pada maqam arifbillah. Jihad inilah juga yang dibicarakan  Hamid Jabbar dalam sajaknya yang berjudul Jihad ( Jabbar, 1998:8-11). 

Sajak Jihad membicarakan tentang manusia sebagi pusat dalam  hubungannya dengan Tuhan. Untuk mencapai hubungan dengan Tuhan  melalui Nur Ilahiah, manusia harus berjihad membersihkan dirinya dari dua  karakter yang buruk dan tercela, yaitu tabiat binatang dan tabiat pesimistis.  Dengan membersihkan diri dari sifat-sifat buruk dan tercela itu manusia  dapat melihat kemurnian ruh, jiwanya dan dengan demikian dia mempunyai  hubungan dengan dirinya secara imanent untuk menuju hubungan dengan  Tuhan. Di sini aspek batiniah sangat berperan sekali dalam perjalanan  menuju ketuhanan Yang Mahaesa yang disebut dimensi esoteris. Sajak yang  berjudul Zikrullah (Jabbar,1998:12-44) membicarakan hubungan manusia  dengan dirinya secara imanent dan dalam hubungan dengan Tuhan.

Di dalam agama Islam ritual ibadah yang disyariatkan selain doa (shalat), dan  zikurllah adalah tafakur. Tafakur merupakan suatu kegiatan perenungan terhadap  ciptaan Allah dan perenungan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan. Sajak yang  berjudul Ketika Khusuk Tiba pada Sejuta Tafakur (Jabbar,1998:45-46)  mendeskripsikan pengalaman manusia saat melakukan tafakur. Pengalaman  tersebut berada dalam wilayah dalam diri manusia, esoteris dalam  hubungan pertemuannya dengan Tuhan. Jadi, sajak ini mengungkapkan  suatu pengalaman spiritual tentang bagaimana terjadi penyatuan manusia dengan Tuhan ketika dia melakukan tafakur atau perenungan; kontemplasi.

Dari empat judul sajak Hamid Jabbar itu: Setitik Nur, Jihad,  Zikrullah dan Ketika Khusuk Tiba pada Sejuta Tafakur memperlihat suatu struktur  esoteris manusia dalam perjalanan spiritual untuk mencapai tingkatan maqam  makrifatullah. Untuk mencapai maqam makrifatullah itu, haruslah ada setitik nur yang  berpijar di dalam qalbu. Nur itu diperoleh melalui jihad; membersihkan dirinya dari  dua karakter yang buruk dan tercela, yaitu tabiat binatang dan tabiat  pesimistis dan yang memperturutkan hawa nafsunya. Pembersihan diri itu  melalui zikrullah dan tafakur. Struktur esoteris ini biasanya dilakoni di  dalam suluk thariqah. Jadi, Hamid Jabbar sepertinya di dalam keempat  sajaknya itu secara tidak langsung telah berbicara tentang suluk thariqah  yang diungkapkan secara estetis puitika. Inilah kekuatan Hamid Jabbar  dalam hampir keseluruhan sajak-sajaknya yang terdapat dalam kumpulan puisi Super Hilang: Segerobak Sajak Hamid Jabbar yaitu sajak-sajak  religiusitas Islam.

Siapa Hamid Jabbar

Pendidikan terakhir Hamid Jabbar SMA. Hamid Jabbar pernah menjadi mandor  kebun teh, kepala gudang maupun menejer administrasi keuangan sebuah perusahaan  swasta dan juga pernah bekerja pada bagian katering kereta api dan kemudian menjadi  wartawan Indonesia Ekspres (Bandung), redaktur Harian Singgalang (Padang),  redaktur Balai Pustaka (1980-1983), dan editor penerbit majalah Sarinah serta redaktur  mingguan Pos Kota Kuala Lumpur, Malaysia, dan akhirnya menjadi redaktur senior  majalah Horison. Pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menjabat  Sekretaris DPH-DKJ (Sukimto, 2004:27).

Hamid Jabbar adalah penyair yang sangat produktif. Ia banyak menulis  kumpulan sajak dan menjadi editor antologi 4 jilid Horison Sastra Indonesia (Kitab  Sajak, Kitab Cerpen, Kitab Nukilan Novel dan Kitab Drama) dan 2 jilid Horison Sastra Indonesia Keenam jilid Antologi ini tebalnya 4.594 halaman, sejalan dengan program  SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya) sebanyak 36.000 eksemplar telah masuk ke  4.500 perpustakaan SMU dan sekolah sederajat di Indonesia, sumbangsih dari majalah  sastra Harison melalui Yayasan Ford Foundation.

Hamid Jabbar telah menulis ratusan sajak sejak 1972, antara lain terhimpun  dalam kumpulan sajak-sajaknya Paco-paco (1974), Dua Warna (bersama Upita  Agustine 1974), Raja Berak Menangis (1978), Ziktrullah (1981), Wajah Kita (1981), sebuah kumpulan sajak yang meraih hadiah Yayasan Buku Utama 1998. Sajak dalam  Sajak (1989). Kumpulan sajak yang lain Nyanyian Negeri Jajahan (1990), Komputeer  Teler (1993), dan Mengolah Laila Majinun Hamba (1996). Pada tahun 1998 terbit  Super Hilang, berisi 143 sajaknya, diterbitkan Balai Pustaka yang mendapat hadiah  dari Pusat Bahasa dan Pusat Pembukuan. Di samping beberapa buku biografi dan  skenario. Hamid Jabbar menulis 2 buku tentang industri minyak Pertamina dan El Nusa  (bersama Taufik Ismail) (Ismail, 2004:11 dan Sukamto,2004:27).

Kepribadian Hamid Jabbar menurut Taufik Ismail (2004:13) adalah sebagai  manusia periang, ekspresif, lincah bagai bola basket, tegur sapanya sejati, mudah  bergaul dengan semua orang. Dia tidak suka dan tidak pernah bergunjing, bergosip, tak  hobi memperkatakan kejelekan orang. Hamid Jabbar tidak pemarah dan cepat meminta  maaf.

Pada Hamid Jabbar terdapat suatu kontras yang tajam. Di satu sisi, ia seorang  manusia yang riang, di sisi lain ia menderita. Namun, dalam segala kesedihan yang  disebabkan oleh keadaan di sekelilingnya, ia tetap merasa perlu menjadi periang,  merasa perlu meriangkan dunia, meriangkan sesamanya. Itulah jalan yang diplihnya.  Betapa bijaksana! Betapa arif! (Damshauser,2004:11).

Hamid Jabar berperawakan kecil memang rantan terhadap penyakit, namun  semangat hidupnya begitu tinggi. Belum lagi ia harus memerangi rasa kantuk yang  tidak kunjung tiba jika malam sudah larut, selain diabetes dan sejumlah karatan lainnya.  Kala maut menjelangnya di panggung pembacaan sajak beberapa waktu lalu mungkin karena ia sudah terlalu letih mendukung semangat kreativitasnya yang begitu tinggi  (Nadeak,2004:116).

Sepak Terjang Kepenyairan Hamid Jabbar

Hamid Jabbar telah membacakan sajak-sajaknya di berbagai pusat kesenian,  berbagai perguruan tinggi Indonesia, dan mungkin lebih dari 100 SMA se Indonesia  melalui program SBSB. Di luar negeri Hamid Jabbar pernah membacakan sajak sajaknya, seperti di Singapore, Kuala Lumpur, Bagdad, Jeddah dan Kairo (Ismail  2004:16).

Taufik Ismail mengatakan bahwa kemampuan Hamid Jabbar mengonsep ide  dan mengatur pelaksanaan program, merupakan kelebihanmya dari rata-rata sastrawan  lainnya. Sejak 1996, dia salah seorang konseptor dari Enam Gerakan Sastra Horison,  yaitu pembuatan sisipan Kakilangit di Horison, lampiran khusus sastra yang bisa  dipakai langsung dalam kelas di 4.500 SMA seluruh Indonesia. Kedua, pelatihan guru  bahasa dan sastra dalam membaca, menulis karangan apresiasi sastra (MMAS yang  dilaksanakan di 11 kota Indonesia dan sudah melatih kurang lebih 1.880 guru). Ketiga,  acara Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB). Keempat, sastrawan berdialog  dengan mahasiswa. Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (SBMM) di 12  universitas. Kelima, lomba menulis esai, cerpen dan esai untuk guru bahasa dan sastra  (LMKS-LMCP), diikuti kurang lebih 400 setiap tahunnya. Keenam, Sanggar Sastra  Remaja Indonesia (SSRI) di 11 kota Indonesia. Tiga dari program di atas di bantu Ford  Foundation, dan dua dari Depdiknas.

Acara favorit Hamid Jabbar adalah SBSB. Dulu program ini akan diberi nama  Sastra Masuk Sekolah. Hamid Jabbar mengeritik karena mirip ABRI Masuk Desa.  Berubahlah, dan Hamid Jabbar menciptakan nama Sastrawan Bicara Siswa Bertanya.  Begitu disebut, langsung ketahuan bentuknya. SBSB sudah masuk tahun kelima (sejak  2000), menjalani seluruh provinsi (kecuali Ambon dan Papua karena alasan keamanan)  dan di tahun 2004 berlangsung di Kalimatan. 

Menjelang Wafatnya Hamid Jabbar

Sekembalinya Hamid Jabbar survei dari Kalimatan Timur, 17-28 Mei 2004, ia  mendarat di Cengkareng. Jum’at siang dan langsung menelpon Ati, Manejemen  Horison karena ia mau bermaksud mau datang sorenya ke rumah Ati untuk  memberikan laporan survei, tapi Ati menolak sambil berkata “istirahatlah dahulu Mid.  Hari Senin 31 Mei saja kita rapat”. Sabtu malam, 29 Mei, Hamid Jabbar beristirahat  untuk selama-lamanya, wafat ketika baca sajak di panggung dalam acara Dies Natalis  Universitas Islam Negeri Ciputat, Jakarta di hadapan mahasiswa, dosen dan tamu yang  memenuhi aula UIN. Dia baca sajak dari layar ponsel Comunicator 92101, diantara  larik-lariknya berbunyi: “Walaupun Indonesia menangis/ mari kita tetap menyanyi”

Berkaitan kepulangan Hamid Jabbar keramatullah, Emha Ainun Najib menulis  dalam Majalah sastra Horison (2004:8) “Hamid Jabbar telah mati syahid” Padahal  Hamid Jabbar itu syahid, bukan mati. Syahid itu saksi. Yashadu, menyaksikan,  subjeknya: syahid 55 tahun. Hamid Jabbar menyaksikan kehidupan, kebenaran,  kebobrokan, kebaikan, kebrengsekan, kemuliaan, kehinaan, ketinggian, kerendahan, kepiawaian, kebodohan-dengan perangkat materi dan psikologi elementer. Lahirlah sesuatu yang kebudayaan menyebutnya sajak dan membuatnya kita gelari penyair. 

***

 

Padang, 16 Mei 2024

 

 

Daftar Pustaka

Damshauser, Berthold. 2004. Sang Periang yang Arif. Horison. Jakarta: Yayasan  Indonesia. 

Ismail, Taufik.2004. Memahami Jarak dan Aroma Ajal. Horison. Jakarta: Yayasan  Indonesia. 

Jabbar, Hamid. 1989. Supe Hilang Segerobak Sajak. Jakarta: Gramedia.

Nadeak, Wilson. 2004. Hamid Jabbar sebuah Kenangan. Horison. Jakarta: Yayasan  Indonesia. 

Nadjib, Emha Ainun. 2004. Kalau Hanya Penyair Ia Hanya Mati. Horison. Jakarta:  Yayasan Indonesia. 

Sukimanto, Slamet. 2004. Mengenang Penyair Hamid Jabbar. Horison. Jakarta:  Yayasan Indonesia.

 

 

Diorasikan dalam kegiatan Memperingati 20 Tahun Berpulangnya Sastrawan Hamid Jabbar, Rabu, 29 Mei 2024

Iklan

BACA JUGA