Lebaran di Masa Kolonial Belanda di Indonesia

Rabu, 10/04/2024 22:06 WIB
-

-

OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

APA kabar Pakansier? Sibuk tentunya bersilaturahmi dengan sanak saudara di hari yang fitri setelah menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Di Indonesia, perayaan Idulfitri  ini juga dikenal sebagai Lebaran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Lebaran berarti perayaan Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan puasa Ramadan.

Menurut Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag), istilah Lebaran memiliki terminologi yang hampir identik di setiap daerah. Dalam tradisi Betawi, Lebaran berasal dari kata lebar; dalam bahasa Jawa dan Sunda, juga berasal dari kata lebar namun artinya adalah selesai atau kelimpahan. Sedangkan dalam bahasa Madura, asal kata tersebut adalah lober, yang berarti selesai.

Selain itu, disebutkan bahwa Lebaran adalah metafora yang menggambarkan hati yang terbuka dan perluasan ruang ketulusan untuk meminta maaf dan mengampuni satu sama lain. Lebaran, dalam konteks Indonesia dan global, juga merupakan metafora untuk Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, Lebaran bagi kemanusiaan alam semesta.

Istilah Lebaran terbukti jauh lebih populer di kalangan orang Indonesia daripada Idulfitri, sebuah istilah yang digunakan dalam ajaran Islam, atau setidaknya begitulah yang terjadi di masa lampau. Bahkan ketika melihat kembali catatan-catatan yang ditulis di masa lalu, terutama selama masa kolonial Belanda, istilah Lebaran lebih umum digunakan untuk merujuk pada hari perayaan setelah berakhirnya Ramadan dibandingkan dengan Idulfitri.

Misalnya, salah satu artikel berita lama dari tahun 1828 yang diterbitkan dalam surat kabar berbahasa Belanda Javasche Courant tanggal 1 Mei 1828 menggunakan istilah Lebaran untuk merujuk pada hari perayaan setelah Ramadan di Indonesia. Demikian juga, dalam berbagai surat kabar yang diterbitkan setelah itu, kata Lebaran lebih umum digunakan daripada Idulfitri, yang lebih sesuai dengan ajaran Islam.

Namun, Belanda sering kali salah menggunakan istilah Lebaran. Dalam berbagai artikel surat kabar pada saat itu, Lebaran sering kali disebut sebagai perayaan Tahun Baru. Ada yang menyebutnya sebagai Tahun Baru Muhammad atau Mohammedansch Nieuwjaar (De Avonpost, 05/09/1885), Tahun Baru Jawa atau Javaansche Nieuwjaar (De Nieuwe Vorstenlanden, 30/06/1886), atau Tahun Baru Pribumi atau Inlandsch Nieuwjaar (Soerabaijasch Handelsblad, 18/06/1887).

Bahkan hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, kesalahpahaman ini tetap bertahan, sehingga kebanyakan orang Belanda atau Eropa di Indonesia pada saat itu umumnya menganggap Lebaran sebagai perayaan Tahun Baru yang dirayakan oleh seluruh penduduk kepulauan.

Lalu, bagaimana suasana perayaan Idulfitri pada masa kolonial? Melihat berbagai tulisan dari waktu itu, sebagian besar dari mereka mirip dengan cara kita merayakan Idulfitri saat ini. Bahkan perdebatan tentang tanggal pasti perayaan tersebut umum terjadi pada saat itu.

Seperti saat ini, selama perayaan Idulfitri, pekerja juga mendapatkan cuti dari pekerjaan mereka. Seperti yang dilaporkan oleh De Locomotief pada tanggal 21 Januari 1901, disebutkan bahwa pada hari Idulfitri, sebagian besar kantor swasta, termasuk surat kabar tersebut, akan tutup, namun kantor pemerintah tetap buka.

Mengenai suasana Idulfitri pada periode kolonial, salah satunya dijelaskan dalam surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden tanggal 30 Juni 1886. Dalam artikel yang diterbitkan oleh surat kabar tersebut, disebutkan bahwa orang Jawa menyukai Lebaran Poeasa karena pada hari itu, orang-orang akan mengenakan pakaian yang indah, baik tua maupun muda, pria maupun wanita.

Selain itu, dijelaskan bahwa beberapa orang mengenakan sarung tangan, kaos kaki, dan bahkan sepatu hak tinggi berwarna emas untuk merayakan Tahun Baru Jawa (Javaansche Nieuwjaar) atau Lebaran. Belum lagi mereka yang mengenakan kain sutra, pakaian bagus, atau pakaian berkilauan.

Dalam De Sumatra Post, tanggal 3 Februari 1902, juga disebutkan bahwa pada hari Idulfitri, anak-anak diizinkan mengenakan sandal dan dandan dengan bedak tebal. Mereka kemudian akan mengunjungi kerabat, makan kue, minum sirup di sana-sini, dan meminta uang untuk membeli petasan.

Sementara itu, dalam surat kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri (Pamong Praja) tertanggal 20 April 1904, yang dimuat dalam buku "Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936 Volume IV (1991)," Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa selama Idulfitri, hampir di setiap tempat diadakan pesta dengan hidangan khusus. Orang-orang juga saling mengunjungi, membeli pakaian baru, dan menikmati berbagai hiburan yang menyenangkan.

Selain itu, Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa Idulfitri adalah perayaan keagamaan istimewa bagi penduduk asli. Bahkan para priyayi, yang biasanya tidak pernah ikut serta dalam ibadah umum, pada hari itu akan datang ke masjid dipimpin oleh bupati untuk beribadah bersama masyarakat. Kemudian semua orang akan mem

inta maaf atas semua kesalahan dan kekurangan di masa lalu, terutama kepada kerabat tertua atau atasan. Snouck Hurgronje juga menyebutkan bahwa pada umumnya, mereka yang tidak berpuasa adalah yang paling antusias menyambut Idulfitri.

Pada akhirnya, perayaan Idulfitri di Indonesia menjadi tradisi yang tak terpisahkan dalam perjalanan bangsa kita dari masa ke masa. Melalui berbagai catatan yang ditulis pada masa lampau, terutama selama masa kolonial Belanda, kita dapat memahami bagaimana perayaan istimewa bagi umat Muslim ini dirayakan dan mendapatkan wawasan tentang kekayaan budaya Indonesia yang berbeda dari budaya negara-negara Muslim lainnya.



BACA JUGA