Menelisik Kota Arang: Menunggu Kiprah Anak Rantau Sawahlunto

Jum'at, 05/04/2024 11:52 WIB
Foto Zairi Waldani

Foto Zairi Waldani

OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

Apa kabar Pakansier? Menjelang Idulfitri 1445 Hijriyah, kita isi dengan jalan-jalan menelusuri Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat, kota yang telah diakui oleh UNESCO sebagai bagian dari Ombilin Coal Mining Heritage (OCMH). Pengakuan ini memiliki konsekuensi yang cukup berat, diperlukan strategi pengembangan kota yang sejalan dengan kebijakan heritage dunia namun memberikan dampak yang signifikan terhadap pengembangan ekonomi masyarakat lokalnya.

Sawahlunto sempat dijuluki sebagai kota yang penuh inovasi, terutama di masa-masa pemerintahan Wali Kota Amran Nur. Kota ini hampir menjadi kota mati karena aktivitas pertambangan yang dikelola Tambang Batu Bara Bukit Asam Unit Produksi Ombilin terus menyusut (Narny & Hanif, 2016).  namun di tangan Amran Nur Sawahlunto tumbuh menjadi kota yang kembali “bergairah”.  Amran Nur, yang notabene-nya adalah anak Sawahlunto, lulusan di Institute Teknologi Bandung (ITB) ini, “bersitungkin” membangun kembali kota.

Dengan moto “Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”, Amran Nur berhasil menjadikan Sawahlunto bangkit kembali. Dilansir dari Indonesia Development Forum 2019, bahwa berbagai inovasi yang berkorelasi dengan penurunan angka kemiskinan berhasil dilakukan. Ekonomi bergerak signifikan dan  usaha untuk menjadikan Kota Heritage Dunia pun dijalankan walaupun manjadi Kota Heritage Dunia itu baru disahkan oleh UNESCO setelah  beliau meletakan jabatan pada periode kedua kepemimpiannya (Yuwono. dkk,  2019).

Setelah Amran Nur tiada, kota ini cenderung berjalan statis. Tak tampak lagi gebrakan-gebrakan yang “spetakuler” seperti yang dulu pernah dilakukan. Pertanyaannya tidak adakah lagi orang-orang yang berasal Kota Sawahlunto yang memiliki inovasi yang mampu mengubah kota, seperti yang pernah dilakukan oleh Amran Nur?

Sesungguhnya Sawahlunto adalah kota yang telah menghasilkan orang-orang sukses dan inovator, namun berada di luar Kota Sawahlunto. Beberapa di antara mereka memiliki pengalaman di kancah nasional dan internasional. Salah satu dari mereka Adv. H Subroto, SH, MSi.

Perlu diketahui Sawahlunto adalah kota dengan beragam etnik. Pemerintah Belanda telah mendatangkan berbagai etnik dari berbagai wilayah ke Sawahlunto untuk bekerja di TBO (Narny, 2015). Banyak dari mereka yang sudah beranak cucu di kota ini dan telah menjadikan kota ini sebagai kampung mereka. Sawahlunto adalah cerminan Indonesia dalam bentuk mini, yang membangun kesatuan dalam keragaman.

Indonesia mini itu tercermin dalam pengalaman masa kecil Subroto. “Berbaur dengan teman-teman dari berbagai suku, bermain hujan-hujanan, main sepak tekong, main perang-perangan, mancing di lubuk, dan nonton kuda kepang mengaji bersama di surau Raudhatul Atfhal (sekarang Masjid Quba) di Sungai Durian adalah faktor pertama yang membangun pemahaman saya tentang ke-Indonesian.” Kami disatukan oleh satu bahasa yang khas yang dikenal sebagai Bahasa Indonesia Sawahlunto atau yang sekarang dikenal sebagai Bahasa Tangsi,” imbuhnya.

Pada tahun-tahun 70 hingga 80-an, Sawahlunto tampil dengan berbagai kegiatan yang mendorong aktivitas pengembangan karakter siswa. Berbagai lomba diadakan oleh Dinas Pendidikan setempat di antaranya lomba pidato tingkat SD dan Subroto pernah memenangkan lomba ini.

Kegiatan ekstrakulikuler juga dilakukan dalam rangka pengembangan karakter siswa, salah satu ekstrakurikuler itu adalah Pramuka. Pramuka tidak hanya menjadi binaan sekolah namun juga binaan perusahaan TBO. Kerja sama antara pemerintah daerah dengan TBO begitu solid, ungkap Subroto yang menjadi salah seorang anggota Pramuka saat itu. Berbagai lomba diikuti oleh Subroto bersama rekan-rekannya dan di tahun 1984 mereka juara umum dua Lomba Tingkat IV Penggalang dan berikutnya menjadi peserta Jambore Daerah. Pengalaman ini mengantarkannya menjadi peserta Raimuna Nasional di Jakarta dua tahun berikutnya.

Sawahlunto di tahun 70 hingga 80-an juga dikenal sebagai kota yang sarat dengan hiburan kesenian. Perusahaan TBO menjadi garda utama dalam pembinaan kesenian ini. Anak-anak dibina dalam kesenian tradisi dalam sangar yang dibangun oleh perusahaan. Perusahaan ini juga mendorong pelestarian seni budaya dari berbagai etnik melalui dukungan berbagai acara kesenian. Pada tahun-tahun tersebut,  kesenian Kuda Kepang menjadi tontonan yang selalu hadir di lapangan setidaknya sekali dalam sebulan. Pak Kardjo ayah Subroto adalah salah  seorang tokoh Jawa di Sawahlunto yang menjadi pelopor kesenian Kuda Kepang atau Kuda Lumping di Sawahlunto.

“Kuda Kepang itu sudah menjadi kesenian yang menyatu dengan masyarakat Sawahlunto dan Lek Dalang (Pak Kardjo) salah satu yang mempeloporinya” ungkap  Ritu Karyanto (54 tahun), salah satu warga Sawahlunto.

Perusahaan TBO juga mendorong anak-anak dengan seni modern seperti drumband yang dilatih oleh pegawai perusahaan atau pun pelatih dari kepolisian. Sangat menyenangkan melihat Sawahlunto di era ini.

“Kegiatan pramuka dan drumband itu sangat bermanfaat bagi anak-anak muda Sawahlunto. Saya merasakan banyak manfaat dari kegiatan itu,” aku AKBP Dartoniyus yang juga pernah merasakan berlatih Pramuka dan drumband di TBO.

Stakeholder dalam membangun Kota Sawahlunto-pun terlihat sangat solid,” ungkap Subroto.

Kehidupan yang "terbuka" membuat anak-anak muda Sawahlunto tampil lebih percaya diri ketika merantau. Jawa menjadi salah satu tujuan favorit dari anak muda terutama yang mengalami masa tahun-tahun 80an. Keragaman yang telah menjadi "living life" membuat mereka percaya diri untuk berada di wilayah mana saja.

Universitas Gadjah Mada (UGM) salah satu yang dilirik banyak anak muda Sawahlunto. Subroto menjadi salah satu wakil anak muda di akhir tahun 80-an yang berhasil masuk UGM. Terbiasa dengan berbagai kegiatan kepramukaan selama di Sawahlunto, selama di Yogyakarta, Subroto aktif di Gudep UGM dan di Kwarcab Kota Yogyakarta dan Kwarda DI Yogyakarta bahkan sempat menjadi ketua Dewan Kerja Cabang (DKC) Kota Yogyakarta periode 1991-1993 dan menjadi anggota ex officio Dewan Kerja Daerah (DKD) DI Yogyakarta.

Di kampus Subroto juga mendirikan Kelompok Studi Tanah Air (KSTA), yang aktif berdiskusi membahas persoalan hukum, politik, dan sosial bersama tokoh-tokoh di Yogyakarta saat itu. Dia pun mengembangkan bakat menulisnya dengan menulis  di Harian Kedaulatan Rakyat, Harian Bernas, Tabloid Pramuka (TAS) milik Kompas-Gramedia, dan Majalah Anita Cemerlang, yang terkenal saat itu.

Kegiatan menulis,  membawa anak Sawahlunto ini menjadi jurnalis andal di Republika, media nasional berpengaruh yang didirikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim  Indonesia (ICMI) dengan ketua umumnya saat itu Prof. BJ Habibie dan sekarang digawangi oleh Grup Mahaka yang dikomandoi Erick Thohir (sekarang Menteri BUMN). Posisi Subroto dalam media ini pun cukup menentukan, yaitu sebagai Managing Editor.

Bersama Republika, Subroto bergerak ke berbagai negara. Tercatat 12 negara sudah dikunjungi di antaranya Brunei Darussalam (1999), Singapura (2002 dan 2020), Arab Saudi (2004 dan 2015), Siprus Utara/Turki (2005), Australia (2007), Hongkong (2010), Gaza, Palestina dan Mesir (2012), Malaysia (2014, 2015, dan 2019), dan Amerika Serikat (2019).

“Dentuman bom dan tangisan anak-anak di jalur Gaza masih terekam dalam ingatan, sesuatu yang mengajarkan banyak hal, terutama tentang memaknai manusia dan kemanusiaan,” ungkapnya.

Dibentuk oleh karakter kota yang keras dan terbuka membuat Subroto tidak cepat puas dengan semua pengalaman jurnalistik dan posisinya sebagai Managing Editor. Sebagai lulusan hukum di Universitas Gadjah Mada, gelar sarjana hukum menuntun Subroto untuk menjadi pengacara. Tahun 2023 ia disumpah sebagai pengacara di Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan menjadi anggota Kongres Advokat Indonesia (KAI). Sebelumnya Subroto juga sudah menyelesaikan magister (S2) di Universitas Indonesia dan dari tahun 2020 rutin membagikan ilmu sebagai dosen di Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Jakarta serta Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor.

Sebagai intelektual Subroto sudah menghasilkan lima buku yang pernah dia tulis dan dieditori, antara lain Lima Tahun Jokowi, Wujud Kerja Nyata (Nawa Cita Institute dan Buku Republika, 2017), Resiliensi Menghadapi Covid-19 (BNPB, 2020), dan Inspirations to Build the Nation, 66 Tahun Waskita Karya (Waskita Karya, 2021). Ia juga memegang Sertifikasi Penyuntingan Naskah Buku dari BNSP dan menjadi narasumber di berbagai perguruan tinggi, kementerian, dan BUMN.

Sebagai perantau Subroto tidak pernah lupa akan kampung halamannya. Hampir setiap tahun dia pulang ke kota yang disebut oleh anak Sawahlunto sebagai Kota Arang ini. Selain melepas rindu dengan keluarga, kerabat, dan teman-temannya, Subroto juga ingin mengikuti perkembangan kota Sawahlunto secara lebih dekat.

“Saya ini anak Sawahlunto, dan selalu mencintai kota ini sepanjang hayat saya,” kata Subroto yang dekat dengan banyak tokoh di Sawahlunto, salah satunya almarhum Amran Nur.

Kini Sawahlunto membutuhkan sosok yang mampu mengakselerasi pembangunan dengan sumber daya kota yang terbatas. Sosok yang memiliki pengalaman dan jaringan yang luas tidak hanya sebatas jaringan lokal namun juga nasional, sehingga berbagai inovasi dalam mendukung perekonomian masyarakat Sawahlunto bisa dijalankan. Jika begitu akankah anak rantau yang sedang kita bicarakan ini pulang ke kampung halaman? ***



BACA JUGA