Romo Magnis Sentil Politisasi Bansos Presiden Jokowi dan Sandera KPU

Kamis, 04/04/2024 23:21 WIB
Ilustrasi  Foto benarnews.org

Ilustrasi Foto benarnews.org

Jakarta, sumbarsatu.com–Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis menjadi ahli dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 2 April 2024.

Dalam kesempatan itu, ia menyentil presiden yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan salah satu paslon. Salah satunya soal bantuan sosial atau bansos.

“Kalau presiden bersama kekuasaannya begitu saja mengambil bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye pasangan calon yang mau dimenangkannya, maka itu mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko. Jadi itu pencurian, pelanggaran etika,” katanya.

Siapa Franz Magnis Suseno?

Franz Magnis Suseno lahir pada tanggal 26 Mei 1936 di Nurnberg, Jerman. Sesudah studi filsafat di Pullach ia 1961 pindah ke Indonesia. Di sana ia belajar bahasa Jawa dan bahasa Indonesia di Girisonta, Jawa Tengah.

Pada Bulan April 1962, ia menjadi pengurus asrama siswa dan guru agama di Kolese Kanisius di Jakarta. 1964 sampai 1968 ia studi teologi di Yogyakarta. 1967 ia ditahbiskan imam oleh Kardinal Justinus Darmojuwono.

Pada 1968 ia ditugaskan ikut membangun suatu tempat studi filsafat di Jakarta yakni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Dari tahun 1971 sampai 1973, ia studi doktor di Ludwig-Maximilian-Universitas di München dan dipromosi dengan disertasi tentang Karl Marx. Ia kemudian memberi kuliah tentang etika dan filsafat politik dan menjabat sebagai sekretaris eksekutif di STF Driyarkara.

Sejak 1975, ia juga mengajar di Universitas Indonesia (UI) dan kemudian selama sembilan tahun di Universitas Katolik Parahyangan di Bandung. Pada tahun 1977, ia memperoleh kewarganegaraan Indonesia dan sejak itu menamakan diri Franz Magnis-Suseno.

Beberapa kali ia memberi kuliah tentang etika Jawa selama satu semester di Geschwister-Scholl-Institut Universitas Ludwig-Maximilian dan di Hochschule für Philosophie di München) dan di Fakultas Teologi Universitas Innsbruck.

Dari tahun 1988 sampai 1998 ia menjabat sebagai Ketua STF Driyarkara dan 1995 – 2005 sebagai Direktur Program Pascasarjana yang menawarkan studi magister dan doktor.

Pada 2000 ia diterima sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2002 ia menerima Doktor honoris causa dari Fakultas Teologi Universitas Luzern (Swis). 2008 – 2017 ia menjabat sebagi Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan Driyarkara, penyelenggara STF Driyarkara.

Selain sering muncul dalam talkshows di TV dan aktif dalam dialog antar agama, ia juga aktif menulis. Sekarang ia menulis lebih dari 700 karangan populer maupun ilmiah serta 44 buku, kebanyakan dalam bahasa Indonesia, terutama di bidang etika, filsafat politik, alam pikiran Jawa dan filsafat ketuhanan.

Jokowi Sandera KPU

Sementara itu, tokoh peristiwa Malari 1974 Salim Hutajulu mengatakan keheranannya atas sikap Presiden Jokowi yang dengan enteng dan tanpa beban melanggar etika, moral, dan hukum demi meraih apa yang menjadi ambisi kekuasaan dia dan keluarganya.

Dia menyatakan hal itu saat dihubungi KBA News, Kamis, 4 April 2024,  menanggapi pengakuan Ketua KPU Hasyim Asy’ari bahwa salah satu alasan KPU menerima pencalonan Prabowo-Gibran karena adanya surat restu dari Presiden Jokowi.

Kata Salim, KPU menyadari ada masalah karena Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang batas umur capres dan cawapres belum berubah. Tetapi karena surat  Presiden Jokowi itu, KPU mengambil jalan pintas.

“Saya tidak bisa membayangkan moral dan etika Jokowi. Dia dengan enteng melanggar hukum dan peraturan. Jika dirasakan mengganggu dan merintangi ambisi-ambisi diri dan keluarganya,” kata Ketua Senat Mahasiswa FIS UI tahun 1973-74 itu.

Dia bercerita, tahun 1974 mahasiwa melakukan unjuk rasa kepada rezim Orde Baru karena merasa modal Jepang sudah terlalu mengatur negara ini. Mahasiswa bergerak karena masalah ekonomi, bukan masalah moral. Pak Harto (Presiden Soeharto), waktu itu, kata Salim, bersih dari masalah moral dalam 10 tahun kekuasaannya.

Salim Hutajulu menambahkan sementara Presiden Jokowi dalam 10 tahun kekuasaannya menunjukkan reputasi ekonominya buruk. Yang ramai adalah nepotismenya. Mantan Walikota Solo itu,  mengangkat anak dan menantu di berbagai jabatan publik. Terakhir perbuatan tanpa moral dan etikanya mendukung Gibran sebagai cawapres sehingga dia kirim surat ke KPU.

“Publik tentunya bertanya apa wewenang dan dasar hukum Jokowi berkirim surat ke KPU. Lembaga itu bukan bawahan presiden. KPU itu  independen karena dipilih DPR RI. Tidak ada kaitan strukrural antara keduanya,” katanya.

Lanjut Salim Hutajulu, yang juga mengherankan, KPU justru mengikuti kehendak Presiden Jokowi, walaupun tidak ada hubungan struktural. Maka wajar jika publik berpikiran, KPU disandera oleh Presiden Jokowi sehingga tidak bisa selain mengikuti apa maunya orang nomor satu di Indonesia itu.

“MK, semestinya mengambil keputusan yang melawan politik sandera ini. Dia harus mengambil amar yang memihak rakyat dan berorientasi masa depan. Yaitu adakan pilpres ulang yang bebas dari pengaruh Jokowi” demikian Salim Hutajulu. SSC/KBA



BACA JUGA