Rasuna Said
NAMANYA masuk dalam Jagat Wartawan Indonesia yang ditulis Soebagjo I.N. (PT Gunung Agung, 1981). Pahlawan Nasional ini, Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah seorang wartawan perempuan pemberani di samping dikenal sebagai tokoh pendidik dan pejuang wanita Indonesia yang ternama. Terkait dengan keberaniannya itu, maka ia dijuluki “Singa Betina” dari Minangkabau.
Rasuna Said dilahirkan di Maninjau pada 14 September 1910, dan wafat di Jakarta 2 November 1965. Pendidikan pertama diperoleh Rasuna Said di Sekolah Desa Maninjau, setelah itu melanjutkan ke Diniyah School di Padang Panjang. Ketika masih berstatus pelajar, ia sudah dipercayai mengajar di kelas bawahnya. Di kala itu kegiatan politik di kalangan guru-guru Islam di Minangkabau meningkat sehingga Rasuna Said berani mengemukakan dan menanamkan pentingnya politik dan perlunya partisipasi pelajar di dalamnya. Menurutnya, pelajar hendaknya dilengkapi dengan berbagai macam keterampilan yang harus dimiliki seseorang yang akan bergulat dalam pergerakan. Jika perlu, pelajaran agama dan kegiatan-kegiatan agama hendaknya memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi latihan berpolitik.
Di samping belajar dan menjadi guru, Rasuna Said juga aktif mengaji kepada Haji Abdul Karim Amrullah, ayah Buya HAMKA. Dari pengajian ini, ia banyak memperoleh berbagai ilmu pengetahuan agama dan pergerakan Islam modern. Ia juga masuk Meisjes School yang mengajarkan hal-hal rumah tangga.
Ketika gempa bumi melanda Kota Padang Panjang pada tahun 1926, Gedung Madrasah Diniyah Putri menjadi rusak berat dan terpaksa ditutup. Rasuna pindah dari Madrasah Diniyah Putri dan memasuki Sekolah Thawalib. Jenjang pendidikan ini dapat diselesaikannya dalam waktu dua tahun. Setamat dari sekolah tersebut, ia menjadi sekretaris pada perkumpulan Sarekat Rakyat, suatu organisasi yang menghimpun kekuatan untuk melawan Belanda. Kemudian Sarekat Rakyat ini berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Pada tahun 1930 berdiri di Padang Panjang Persatuan Muslimin Indonesia yang disingkat menjadi PMI kemudian menjadi Permi. Rasuna Said semula hanya duduk sebagai anggota biasa. Tetapi dengan bakatnya sebagai organisator, pada tahun 1932 ia diangkat menjadi salah seorang anggota pengurus besar Permi. Mengetahui hal itu, maka PSII pun mengeluarkan peraturan bahwa anggotanya tidak boleh merangkap keanggotaan dalam organisasi lain. Waktu itu Rasuna menyatakan diri keluar dari PSII dan memilih tetap di Permi.
Dalam pidato-pidatonya, Rasuna sangat keras mengecam Belanda. Ia menuduh Belanda memeras keringat rakyat dan merampas kekayaan Indonesia untuk kekayaan negeri mereka tanpa memikirkan kesengsaraan rakyat.
Kegiatan Permi semakin meluas di berbagai bidang, sehingga dari hari ke hari Permi semakin mendapat tempat di hati rakyat. Maka Rasuna pun tidak luput dari pengawasan pihak penguasa Belanda yang meningkatkan pengawasan kepada tokoh pejuang wanita ini. Akhirnya ia ditangkap pada tahun 1932 dengan alasan mengganggu ketenteraman umum. Ia dijatuhi hukuman pembuangan ke Jawa dan dimasukkan ke penjara wanita Bulu di Semarang selama 13 bulan. Turut dibuang bersamanya teman wanita seperjuangannya, Rasimah Ismail.
Setelah Rasuna Said dibebaskan dari penjara, ternyata markas Permi sudah diporakporandakan oleh Belanda. Tokoh-tokoh puncak Permi yang dikenal dengan julukan ‘Tiga Sekawan’, yaitu Mochtar Luthfi, Ilyas Jacoub, dan Jalaluddin Taib, ditangkap dan dibuang Belanda ke Boven Digul, Irian Barat (Papua sekarang), tempat di mana dua tokoh perjuangan asal Minangkabau, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahril juga diasingkan.
Setelah kegiatan Permi berkurang karena berbagai hambatan dan larangan yang dikenakan pemerintah kolonial, Rasuna Said bergabung dengan Islamic College, salah satu lembaga perguruan Islam yang didirikan para reformis Islam di Padang. Ia dipercaya untuk memimpin majalah sekolah yang bernama Raya.
Tak lama di Padang, Rasuna kemudian pindah ke Medan. Di kota ini ia memimpin sebuah mingguan bernama Menara Poetri yang dikenal dengan semboyan “Ini Dadaku, Mana Dadamu”, yang cukup tajam dan menghunjam di hati masyarakat serta menumbuhkan semangat juang. Di samping memimpin surat kabar, Rasuna Said juga sempat membina perguruan putri di Medan.
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said kembali ke Padang. Di sinilah ia bersama teman seperjuangannya, Chatib Sulaiman, mendirikan organisasi pemuda Sumatera Barat dengan nama Pemuda Nippon Raya yang bertujuan membina bibit-bibit pejuang kemerdekaan. Gerak-gerik organisasi ini pun akhirnya diketahui oleh Jepang. Rasuna Said dan Chatib Sulaiman ditangkap namun kemudian dibebaskan lagi.
Rasuna Said bersama Chatib Sulaiman, kemudian aktif memperjuangkan dibentuknya barisan Pembela Tanah Air (Peta). Hal ini berhasil ketika Jepang membentuk Gyu Gun, tentara suka rela di Sumatera Barat. Laskar rakyat inilah yang kelak menjadi cikal-bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan mempunyai peran sangat penting selama Perang Kemerdekaan di Sumatera Barat.
Sesudah kemerdekaan RI, kiprah Rasuna Said terus berkibar dan lebih luas lagi. Segera setelah proklamasi, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera yang mewakili daerah Sumatra Barat. Kemudian berturut-turut menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Serikat setelah penyerahan kedaulatan. Ia juga pernah menjadi anggota DPRS. Pada tahun 1959 ia diangkat Presiden Soekarno menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Sebagai seorang aktivis politik dan pergerakan, Rasuna Said kurang memperhatikan kesehatan dirinya. Belakangan diketahui bahwa ia mengidap penyakit kanker darah yang sudah parah dan tidak tertolong lagi. Ia meninggal dunia pada tanggal 2 November 1965 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dengan Keputusan Presiden Nomor 084/TK/Tahun 1974, Rasuna Said ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Namanya diabadikan menjadi nama salah satu ruas jalan utama di Jakarta dan juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia, termasuk di Kota Padang. (Hasril Chaniago)
Sumber: 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)