cacarpk
OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
HAI PAKANSIER, lama tak menyapa, setelah cerita kenangan bus yang mengantar para perantau melalang buana ke berbagai negeri, kali ini kita menyusuri kisah wabah penyakit cacar yang pernah ada di periode colonial. Kita mulai dengan muncul lagi kekhawatiran baru di masyarakat global dengan adanya wabah penyakit lain, yaitu Monkeypox atau Cacar Monyet, tidak lama setelah penurunan kasus pandemi Covid-19 pada awal tahun 2022. World Health Organization (WHO) bahkan menyatakan wabah Monkeypox sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian internasional pada bulan Juli 2022.
Respons cepat dari WHO dan kerjasama antar negara dalam upaya sosialisasi dan vaksinasi, penyebaran penyakit Monkeypox berhasil ditekan. Namun demikian wabah Cacar Monyet ini telah kadung menelan korban yang tidak sedikit. Menurut situs resmi WHO, dari 1 Januari 2022 hingga 31 Januari 2024, tercatat sebanyak 93.921 kasus Monkeypox yang terkonfirmasi secara global, dengan angka kematian mencapai 117 jiwa.
Di Indonesia, berdasarkan Laporan Teknis Mpox yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penyakit ini pertama kali terdeteksi di dalam negeri pada bulan Oktober tahun 2023. Tak lama kemudian, kasus-kasus tambahan muncul, sehingga secara total terdapat 72 kasus Monkeypox yang telah dikonfirmasi oleh Kemenkes hingga 31 Desember 2023.
Penyakit Monkeypox atau Cacar Monyet adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, yang disebabkan oleh virus Orthopoxvirus, Famili Poxviridae. Virus ini pertama kali teridentifikasi pada monyet pada tahun 1958. Kasus pertama pada manusia tercatat pada tahun 1970 di wilayah Kongo dan selanjutnya menyebar keberbagai belahan dunia.
Samiksa Jayswal & Jagdish Kakadiya (2022) menengarai bahwa wabah Cacar Monyet yang terjadi akhir-akhir ini berkaitan dengan berakhir pemberantasan cacar serta imunisasi rutin hampir diseluruh dunia yang dicanangkan WHO menyetujui pengahapusan program vaksin cacar dunia di tahun 1980 (G.A Shchelkunova & S.V.Schelkunovi, 2017). Dijelaskan bahwa vaksinasi terhadap cacar menghasilkan perlindungan silang terhadap Cacar Monyet dan penghentian pemberian vaksin mengakibatkan sebagian besar orang tidak lagi memiliki kekebalan terhadap Cacar Monyet maupun penyakit Cacar Samiksa Jayswal dan Jagdish Kakadiya (2022).
Sebelum Cacar Monyet menjadi perhatian dunia, penyakit cacar atau yang dikenal dengan nama Smallpox (Cacar) dan Chickenpox (Cacar Air). Smallpox dan Chickenpox adalah dua penyakit yang berbeda meskipun keduanya disebabkan oleh virus dari keluarga yang sama, yaitu Poxviridae. Smallpox (Cacar) membawa virus Variola dan Chickenpox membawa virus Varicella-Zoster.
Smallpox ditandai dengan munculnya ruam kulit yang khas, demam, sakit kepala, dan gejala lainnya yang serius, sementara Chickenpox memiliki gejala berupa ruam berbintik-bintik merah yang gatal, demam ringan, dan gejala flu ringan. Smallpox biasanya lebih serius dan dapat berakibat fatal, dengan tingkat kematian bisa mencapai 30% atau lebih, tergantung pada jenis virus, sementara Chickenpox biasanya ringan dan jarang berakibat fatal, terutama pada anak-anak sehat.
Penularan Smallpox terjadi melalui udara atau kontak langsung dengan cairan tubuh penderita, sementara Chickenpox biasanya menyebar melalui udara atau kontak langsung dengan lepuh kulit penderita. Masyarakat awam mengenal kedua nama penyakit ini dengan satu nama yaitu penyakit Cacar. Kasus penyakit terakhir cacar tercatat pada bulan Oktober 1977, setelah puluhan tahun puluhan tahun berjuang untuk bebas dari penyakit ini
Meskipun pada saat ini penyakit cacar secara umum sudah dapat dikendalikan namun di masa lalu khususnya pada masa kolonial Belanda, penyakit ini menjadi momok yang menakutkan karena penyebarannya yang cepat disertai dengan tingkat kematian yang cukup tinggi. Pemerintah kolonial mencatat, salah satu penyebab merajalelanya wabah cacar pada masa itu adalah penolakan dari masyarakat terhadap tindakan vaksinasi cacar yang diadakan oleh pemerintah.
Penolakan oleh vaksin cacar pada masa kolonial, dicatat Bataviasche Courant pada edisi 6 April 1825. Koran ini merilis satu halaman tentang ketidak inginan masyarakat untuk divaksin. Alasan agama menjadi salah satu alasan paling kuat bagi masyarakat dalam penolakan tersebut. Selain itu ada juga prasangka masyarakat bahwa anak-anak yang disuntik vaksin bisa saja meninggal dunia adalah alasan yang berikutnya.
Penolakan terhadap vaksin salah satunya pernah diberitakan oleh surat kabar Javasche Courant edisi 18 Februari 1854. Wabah yang terjadi di wilayah Bangka tengah tepatnya di distrik Soengij-Slan tersebut menelan korban sebanyak 131 orang serta menyebabkan 46 orang diantaranya meninggal dunia. Dalam kasus ini, Javasche Courant juga mencatat adanya penolakan dari masyarakat di sana terkait penggunaan vaksin, mereka bahkan sempat mengancam akan mengungsi ke dalam hutan demi menghindari vaksinasi.
Sementara itu Pulau Jawa menjadi wilayah dengan jumlah korban akibat cacar paling tinggi dibandingkan wilayah lainnya di Nusantara pada masa itu. Berdasarkan tulisan Baha’uddin (2006), salah satu wabah cacar terparah yang sempat merebak di Pulau Jawa dan Madura terjadi pada tahun 1870 serta menimbulkan korban jiwa nyaris 6.000 orang.
Untuk mengatasi wabah cacar, salah satu langkah paling efektif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial adalah dengan melatih sejumlah orang pribumi terpandang hingga para Dokter Djawa (Baha’uddin, 2006). Mereka inilah yang kelak dikenal dengan sebutan mantri cacar yang salah satu tugasnya adalah mensosialisasikan cara-cara pengobatan barat kepada masyarakat pribumi di pedesaan sehingga vaksinasi cacar menjadi lebih mudah diterima.
Pemerintah kolonial kemudian terus meningkatkan jumlah ketersediaan vaksin dan tenaga kesehatan yang mumpuni agar wabah cacar benar-benar hilang. Oleh sebab itu meskipun membutuhkan waktu yang lama, pemerintah kolonial kemudian berhasil memberantas wabah cacar di Nusantara.
Bahkan dalam buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid I yang disusun oleh Departemen Kesehatan RI (2009), dinyatakan bahwa wilayah Nusantara sempat terbebas dari wabah cacar kurang lebih 25 tahun sebelum berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Cacar kemudian kembali mewabah pada tahun 1948, akibat tidak teraturnya vaksinasi pada zaman pendudukan Jepang.
Dalam menghadapi tantangan kesehatan global, seperti wabah Monkeypox dan peristiwa sejarah penanganan penyakit cacar pada masa kolonial, perlu diakui bahwa kerjasama internasional dan kesadaran masyarakat sangat penting. Respons cepat dari lembaga seperti WHO dan kerjasama antar negara telah membantu mengendalikan penyebaran penyakit seperti Monkeypox. Namun, kita juga harus memahami pentingnya belajar dari sejarah, khususnya dalam konteks penolakan terhadap vaksinasi pada masa kolonial yang dapat memperburuk dampak wabah. Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya vaksinasi dan kerjasama antar negara, kita dapat bersama-sama mengatasi tantangan kesehatan global dengan lebih baik.
Sebagai masyarakat dunia, kita juga harus tetap waspada terhadap ancaman penyakit baru dan belajar dari pengalaman masa lalu dalam menangani wabah penyakit. Sejarah penanganan penyakit cacar pada masa kolonial memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya vaksinasi dan kerjasama antar pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat dalam menghadapi ancaman kesehatan.
Dengan memahami dan menginternalisasi penagalaman sejarah ini, kita dapat meningkatkan kesadaran akan kesehatan masyarakat serta memperkuat kerjasama lokal, nasional, dan internasional dalam mengatasi ancaman kesehatan global. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama melangkah menuju dunia yang lebih sehat dan aman bagi semua.*