Jum'at, 23/02/2024 09:56 WIB

Kisah Jamaah Belgia dan Indonesia

Penulis bersama Tauzani Mohammed jamaah haji dari Belgia.

Penulis bersama Tauzani Mohammed jamaah haji dari Belgia.

HARI masih pagi saat saya duduk sendirian di depan hotel. Merokok sambil minum kopi hangat yang dibawa dalam gelas plastik. Seorang jamaah berjambang, dan bertanya di mana bisa mendapatkan rokok. Hmm.., pria ini ternyata perokok juga seperti saya. Saya langsung memberinya sebungkus rokok putih yang saya beli di Abu Dabhi.

“Untuk Anda. Saya punya stok banyak di kamar,” jelas saya. Tentu saja teman baru saya itu amat senang.  

Kami berbincang dan berbagi cerita sambil minum kopi. Teman itu bernama Tauzani Mohammed, berusia 49 tahun. Ia adalah perantau dari Maroko yang tinggal dan bekerja di Belgia. Ini pertama kali ia ke Mekah. Tauzani berangkat sendiri, setelah isterinya berangkat haji tahun lalu. Mereka harus berangkat bergantian karena salah seorang harus tinggal untuk menjaga anak-anak yang masih kecil. 

Beberapa tahun sebelumnya,  kata Tauzani, ibunya berangkat haji dari Maroko, negara asal nenek moyang Tauzani. Sebagaimana di negara muslim lain, di Maroko jamaah harus menunggu lama untuk bisa berangkat haji. Tapi cara yang ditempuh bukan melalui antrean seperti di Indonesia.

“Di Maroko, kesempatan naik haji ditentukan melalui undian. Tak bisa diprediksi kapan bisa berangkat,” ujarnya. “Kalau nama kita tercabut di undian tahun ini, berarti kita bisa berangkat tahun depan. Kalau tidak, maka perbanyaklah berdoa agar nama kita bisa tercabut dalam undian tahun depan lagi.”  

Ibu Tauzani mendaftar untuk naik haji sejak usia 55 tahun. Setelah menunggu selama 28 tahun, barulah wanita itu bisa ke Mekah. Ia naik haji dalam usia sepuh, 83 tahun. Ketika pesawat yang membawa rombongannya mendarat di Jeddah, sang ibu bertanya kepada ketua rombongan. “Dimana kita? Kenapa pesawat mendarat di sini?” tanyanya.

“Kita baru saja mendarat di Jeddah, Saudi Arabia,” jawab ketua rombongan.

“Ha.? Benarkah?”

“Iya.. benar.”

“Oh, akhirnya saya sampai juga di Tanah Suci,” ujarnya dengan wajah girang. Ibu tua itu bergegas turun pesawat. Begitu menjejakkan kaki di tanah, ia segera melakukan sujud syukur.

“Itulah sujud terakhir ibu saya. Beliau meninggal dalam keadaan demikian. Ternyata Tuhan memilih Ibu meninggal di Tanah Suci, dalam perjalanan menyelenggarakan haji,” jelas Tauzani.

Menurut pemeriksanaan medis, ibunya mengalami serangan jantung. “Mungkin beliau kaget dan terlalu gembira akhirnya bisa sampai di Tanah Suci,” komentar Tauzani.

Tauzani telah tinggal di Belgia selama tiga puluh tahun, sejak masih kanak-kanak. Dia kini bekerja sebagai petugas keamanan. Katanya, sejak dua puluh tahun lalu, pemeluk Islam di Belgia meningkat. Orang Islam menyebar hampir di setiap provinsi di Belgia. Jumlahnya hampir dua puluh persen dari seluruh populasi.

Berbagi kebahagian 

Ongkos naik haji dari Belgia adalah 4200 Euro, atau sekitar 71 juta rupiah. Sedikit lebih rendah dari biaya dari Korea, yang letaknya lebih jauh. Bagi Tauzani Mohammed, berangkat haji dari Belgia adalah sebuah berkah. Ia tak perlu menunggu lama seperti ibunya.

“Bagaimana pun, naik haji itu adalah pilihan Tuhan,” katanya. “Banyak orang muda yang kaya, sehat, mampu, tapi tak bisa naik haji. Kenapa? Karena naik haji bukan hanya soal uang dan kesehatan. Tapi terutama kesiapan diri, sikap moral kita sebagai muslim. Saya bersyukur Tuhan memilih saya lebih cepat berangkat ke Tanah Suci.”

Saya kira pendapat Tauzani ada benarnya. Cara Tuhan menentukan orang yang diberi petunjuk untuk berangkat ke Tanah Suci itu kadang memang sulit dipahami.  Seakan Tuhan bertindak sesuka hati Dia saja. Tapi apa salahnya, ya kan? Namanya juga Tuhan.

Misalnya seperti yang terjadi pada wartawan kawakan nan legendaris, Rosihan Anwar. Saat berangkat haji pada tahun 1957, ia merasa seakan dicampakkan begitu saja ke Tanah Suci.      Dalam suatu acara konfrensi pers, Rosihan bertemu Kafrawi, Dirjen di Departemen Agama. Dengan bercanda Rosihan bertanya, kapan pihak Departemen Agama akan memberi dia kesempatan naik haji seperti yang diberikan kepada beberapa pejabat pemerintah. Kafrawi ternyata menyikapi candaan itu dengan serius. Segera saja ia mengusulkan dan mengurus agar Rosihan bisa berangkat haji dengan tanggungan biaya dari pemerintah. Nyatanya, Rosihan Anwar bahkan ditunjuk sebagai salah seorang pimpinan rombongan haji tahun itu. Sepuluh hari kemudian Rosihan telah berada di Tanah Suci.

 Karena kesempatan itu datang amat mendadak, Rosihan sama sekali tidak sempat menyiapkan diri untuk berangkat ke Tanah Suci. Secara terus terang ia mencatat pengalaman rohaninya saat naik haji pertama kali.  

“…tiba-tiba melintas di kepala saya, bahwa ketika tadinya saya sembahyang dua raka’at, maka hal itu adalah yang pertama kali saya lakukan sejak 14 tahun lalu. Selama masa itu saya tiada bersembahyang, tiada berpuasa, tahu-tahu sudah dalam perjalanan naik haji. Apakah ini yang sedang terjadi pada diri saya?” (Anwar, 2013: 981).

 Sepulang dari Tanah Suci, Rosihan Anwar berubah menjadi tokoh yang relijius. Setiap Jumat, ia menulis kolom “Renungan Wak Haji” di Harian Pedoman yang dipimpinnya. Sesuai namanya, kolom itu layaknya refleksi dalam bentuk dialog antara tokoh ‘Wak Haji’ dan ‘Haji Wa’ang’. Nama terakhir itu kemudian menjadi panggilan akrab Rosihan Anwar.

***

Pada hari lain, saya bertemu jamaah Indonesia yang berangkat dari Pekanbaru. Pak Teguh, namanya. Orang Jawa yang merantau dan menetap di Duri, Provinsi Riau. Beliau pensiunan dari Pertamina. Pak Teguh dan rombongannya tinggal di Hotel Nozol, tak jauh dari tempat kami menginap. Ia berangkat haji melalui ONH Plus. Itu sebabnya dia menginap di hotel dekat kami tinggal.

Katanya, untuk naik haji ia harus menunggu tiga tahun dan membayar sekitar Rp. 150 juta. Biaya itu empat kali lipat lebih mahal dari biaya ONH reguler saat itu, sekitar Rp.35 juta. Kata Pak Teguh lagi, jika ingin berangkat lebih cepat, biayanya akan jadi lebih mahal. Pak Teguh memilih biaya mahal karena khawatir terlalu lama menunggu jika mengikuti ONH reguler.

Seorang ibu bersama anaknya berjalan di lingkungan Masjid Nabawi

Pak Teguh bertanya bagaimana saya naik haji dari Korea. Saya jelaskan apa adanya;  berangkat tanpa masa tunggu dengan biaya sekitar Rp. 78 juta. Jika dibandingkan dengan biaya ONH Plus langsung berangkat dari Indonesia, maka biaya itu hanya sepetiganya. “Ah, kamu beruntung sekali,” ujar lelaki bertubuh sedang dengan kulit sawo matang itu. Saya hanya mengangguk ringan. 

Mahalnya biaya ONH Plus dari Indonesia itu sungguh aneh. Jika alasannya adalah karena tak ada subsidi pemerintah dan fasilitasnya lebih baik, tentulah seharusnya ONH Plus itu tak jauh berbeda dari ONH dari Belgia atau Korea yang hanya separohnya. Bahkan biro perjalanan haji di Amerika Serikat mematok biaya antara Rp.130-180 juta untuk berhaji. Padahal jaraknya lebih jauh dan fasilitasnya juga lebih baik. Mirisnya lagi, pemilik dan yang mengurus biro perjalanan haji itu adalah orang Indonesia, yang telah menetap lama di sana.

“Biaya masuk surga itu memang mahal, kawan!” bisik seorang sahabat. Tapi bukan berarti hanya orang kaya saja yang berhak segera naik haji agar masuk surga, bukan?

Meski membayar mahal, Pak Teguh terlihat puas dengan fasilitas yang diterimanya. Hotel tempatnya menginap berbintang empat dengan fasilitas lengkap dan bersih. Makanan tersedia tepat waktu dengan jumlah berlimpah. Yang menggusarkan hatinya justru sikap jamaah yang tamak saat mengambil makanan.

“Mereka mengambil berbagai makanan dalam jumlah banyak. Tapi tak dihabiskan. Sisanya dibiarkan begitu saja di meja,” katanya dengan nada sedih bercampur geram.

Jangan coba-coba menegur orang kaya tamak seperti itu. Mereka sudah punya jawaban telak yang menyakitkan hati. Bunyinya kira-kira begini; “Saya kan sudah bayar mahal. Sesuka hati sayalah, mau dimakan atau dibuang. Apa salahnya?” Nah!

***

Selagi kami berbincang, seorang Arab bersorban dan berjubah besar menghampiri kami. “Assalamu alaikum, ya Haj.” Kami membalas salamnya. Lelaki itu menyelipkan selembar uang kertas ke tangan Pak Teguh. Setelah lelaki itu pergi, Pak Teguh membuka telapak tangannya; selembar uang lima riyal. Pak Teguh menyimpannya baik-baik di dalam saku bajunya.

Tak ada alasan khusus bagi orang-orang Arab memberi uang atau sedekah pada jamaah lain yang datang ke Madinah. Orang-orang Madinah dan Arab pada umumnya memang senang bersedekah pada jamaah haji. Pada satu sisi, hal itu menunjukan sikap murah hati mereka terhadap pendatang. Layaknya sikap kaum Ansyar yang membantu Nabi Muhammad saat hijrah ke Madinah. Pada sisi yang lainnya, jamaah haji adalah tamu Allah, orang yang datang untuk beribadah. Mereka percaya bahwa bersedekah pada jamaah haji akan amat membantu jamaah dan mendapat pahala yang utama.

Menarik juga pola pikir orang Arab ini. Mereka adalah pedagang yang ulet dan hemat. Sejak zaman dahulu nenek moyang mereka menjelajahi padang pasir untuk berdagang. Tapi mereka juga amat suka bersedekah pada pendatang yang membutuhkan. Tampaknya mereka dengan sadar membedakan kapan saatnya berdagang, dan kapan bersedekah. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)

BACA JUGA