Lembaga Survei Lakukan “Kudeta” dalam Sistem Pemilu

Jum'at, 16/02/2024 08:39 WIB
Faisal Assegaf

Faisal Assegaf

Jakarta, sumbarsatu.com– Kritikus politik, Faisal Assegaf menyebut, tidak sepantasnya lembaga survei mengumumkan pemenang pemilu berdasar quick count. Apalagi dilakukan sebelum KPU RI mengumumkannya secara resmi. Jika nekat dilakukan, maka lembaga survei itu pantas disebut telah melakukan kudeta dalam sistem pemilihan umum (pemilu).

Pernyataan ini disampaikan Faisal Assegaf dalam podcast yang ditayangkan melalui Channel Youtube @Abraham Samad Speak Up. Bertindak sebagai host adalah Abraham Samad sendiri.

Dalam pandangan Faisal Assegaf, quick count hanyalah sebuah metode perhitungan cepat. Secara sederhana bisa dijelaskan yakni dengan mengambil sampel sekitar 2.000 dari 823.000 TPS. Jadi bisa disaksikan sendiri bahwa sudah pasti tidak menggambarkan secara keseluruhan.

Dikatakan Faisal Assegaf, sebenarnya ratusan guru besar dari berbagai perguruan tinggi sudah menegaskan bahwa sistem pemilu ini akan berpotensi curang. Dan mereka juga sudah mengingatkan kepada seluruh rakyat bahwa cara untuk menghentikan itu adalah pemilu tanpa Jokowi.

“Jika Pemilu 2024 tetap dipaksakan terus dengan pengaruh Jokowi, maka hasilnya seperti sekarang ini. Semua sumber daya yang berpotensi melakukan kecurangan dilibatkan, dan itu dilakukan pada Pemilu 2024,” ungkap Faisal.

Menurutnya, apa yang dilakukan quick count bukan sesuatu yang baru. Ini adalah suatu perangkat yang sudah disiapkan untuk melegalkan jalannya proses kecurangan yang sudah didesain 7-8 bulan yang lalu.

Karena itu, jutaan rakyat yang mendukung perubahan tidak kaget. Hal ini pernah terjadi pada Pemilu 2019. Para pendukung Prabowo yang tersebar di seluruh Indonesia mengetahui hal ini. Saat itu Prabowo juga sudah melakukan sosialisasi.

“Prabowo pernah mengatakan bahwa quick count dari lembaga survei itu adalah kebohongan. Kemudian disambut jutaan rakyat pendukung Prabowo pada saat itu. Memang ini kumpulan para tukang tipu, pencuri suara, manipulator, mereka bekerja dengan politik transaksional, siapa yang bayar besar, mereka punya kepentingan persekongkolan jahat di sana, maka hasilnya akan mereka buat,” tegas Faisal.

Poin yang kedua, sambung Faisal, harus dipertanyakan apa dasar lembaga survei membuat quick count dan mengumumkan hasil pemenangan. Apa dasar hukumnya, jelas tidak ada. Maka ini layak disebut suatu kejahatan. Mereka harus bertindak sesuai prosedur hukum yang ada.

“Memang hak akademisi berekspresi dalam proses survei itu boleh. Tetapi mengumumkan kemenangan sebelum KPU mengumumkan itu suatu kudeta di dalam sistem pemilihan umum,” tutur Faisal.

Dikejar-kejar Rakyat

Ia juga mengatakan, di beberapa negara lembaga survei yang menggunakan metode quick count dan mengumumkan kemenangan salah satu pasangan calon (paslon) lebih awal maka akan diserang dan dikejar-kejar oleh rakyat. Mereka akan mempertanyakan validitas data yang dirilis tersebut.

“Kalau di berbagai negara, lembaga survei seperti ini akan diserang oleh rakyat, dikejar oleh rakyat. Mereka datang berbondong-bondong ke kantor lembaga survei untuk mengkonfirmasi data yang akurat,” ucap Faisal Assegaf.

Menurut Faisal Assegaf, pengumuman kemenangan salah satu paslon melalui quick count yang dilakukan sejumlah lembaga survei di Indonesia akan menimbulkan masalah yang diduga seperti di luar negeri. Sebab, rakyat sudah marah dan sangat kecewa.

“Sudah ditipu lewat program bansos yang bertujuan untuk memanipulasi suara, juga ditipu dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang bisa dilihat dengan terang dan jelas untuk menggiring kemenangan dinasti politik, kini pada posisi puncaknya,” tegas Faisal Assegaf.

Di sisi lain, Faisal juga menyoroti peran media yang seharusnya tetap bersikap independen. Yakni dengan menghentikan rilis hasil quick count itu. Jangan justru larut mengikuti arus yang diskenario oleh lembaga survei. Independensi jurnalis perlu ditunjukkan kepada rakyat.

“Media jangan larut ikut-ikutan menyiarkan hasil quick count. Misalnya beberapa stasiun tv nasional mungkin sengaja mengambil ruang. Kalau anggaran dari KPU untuk sosialisasi pemilu itu masih bisa diterima,” kata dia.

Dan nampaknya, sambung Faisal, media mulai menghadirkan pakar untuk memberikan komentar atas hasil quick count tersebut. Maka artinya media sendiri juga ragu atas hasil quick count yang dirilis lembaga survei.

“Quick count itu adalah pusatnya kejahatan, kumpulan para penipu, yang berkedok intelektual, ini bukan menurut saya, kata Prabowo itu kelompok pembohong. Dan itu sudah dimuat di berbagai media, itu disampaikan Prabowo pada 2019, datanya di BBC London, bukan media abal-abal. Juga di berbagai media nasional,” ucap Faisal.

Dikatakannya, sekarang ini rakyat sudah cerdas dan mengetahui. Apabila ingin mencari penipu berbasis data abal-abal dan bertopeng intelektual, itulah lembaga survei yang punya kemesraan dengan kekuasaan.

Lembaga survei yang independen, tambahnya, akan bekerja bagus dan pro rakyat. Tetapi mereka pasti akan disingkirkan oleh kekuasaan. Sepertinya tidak akan ada lembaga survei yang pro rakyat diakomodasi kekuasaan, akan selalu disingkirkan.

“Tetapi lembaga survei yang punya kemesraan dengan kekuasaan, mendukung dinasti politik, akan menjadi alat propaganda kekuasaan, itu sudah otomatis. Mereka menjadi instrumen untuk melanggengkan kecurangan,” tegas Faisal. SSC/KBA



BACA JUGA