Efek Ekor Jas Anies Diharapkan Merata ke Partai NasDem, Demokrat, dan PKS

DNA PKS-ANIES MASIH KUAT

Sabtu, 12/08/2023 13:02 WIB

Jakarta, sumbarsatu.com—Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Anies Baswedan dianggap dekat. Karena keduanya memiliki banyak kesamaan. Sehingga partai ini dinilai akan mendapat berkah atau efek ekor jas (coat tail effect) paling besar antara tiga partai dalam Koalisi Perubahan dari Anies selaku capres yang diusung.

“Bahasanya, brand Anies dengan PKS yang selama ini melekat. Bahkan kalau Bang Zulfan Lindan (bekas politikus NasDem) itu bilangnya gini. Kalau Demokrat, Nasdem, PKS dukung Anies, maka Demokrat (dapat) 20 (persen), NasDem dapat 20, PKS dapat 60,” jelas Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera dalam Indonesia Leaders Talk: DNA Anies dan PKS live di kanal YouTube @PKSTV, Jumat malam, 11 Agustus 2023 dilansir dari KBANews.

Namun perkiraan tersebut tidak terbukti dalam survei. PKS tidak mengalami peningkatan elektabilitas setelah mendukung Anies seperti yang diperkirakan banyak orang, termasuk Zulfan Lindan.

Menurutnya, sebenarnya hal tersebut tidak lepas dari keputusan Partai NasDem mendeklarasikan dukungan kepada Anies pada 3 Oktober 2022 lalu. Dia mengaku langkah yang diambil Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh dengan menjadikan NasDem partai pertama mendukung Anies itu sangat brilian. Dari situ kemudian citra Anies yang selama ini melekat dengan PKS bergeser ke NasDem.

“Sehingga NasDem luar biasa mengambil momentum dan buat saya itu sesuatu yang niscaya dan harus angkat topi buat NasDem. Karena demikian cerdas mengambil move politiknya menjadi partai pertama mendeklarasikan Anies,” paparnya.

Karena itu, dia menjelaskan, ini menjadi tantangan bagi PKS untuk merebut kembali DNA Anies tersebut. Dia menyarankan PKS mengambil langkah-langkah strategis untuk mem-branding Anies agar DNA-nya lebih terikat dengan PKS. Dia mengusulkan tiga hal.

“Pertama, masuklah ke conscious mind (alam sadar). Dalam hal ini kita mulai banyak main gimmick, main jingle, main pantun Anies dan PKS. Sehingga pelan-pelan itu menjadi terulang-ulang yang dengannya asosiasi Anies dengan PKS makin menguat,” ungkapnya.

Kedua, lewat pendekatan budaya. Karena PKS lekat dengan keumatan. “Bagaimana brand Anies dengan budaya keumatan diperkuat sehingga ketika orang mikir Anies, otomatis mikirnya PKS. Ketika orang mikir Anies, otomatis milihnya PKS. Ketika orang mikir Anies, otomatis related-nya, conscious mind-nya itu PKS,” ungkapnya.

Dan ketiga perlu endorse atau dukungan dari kalangan utama tokoh. Berkaca dari capres Gerindra Prabowo Subianto yang banyak mendapat endorse dari Presiden Jokowi sehingga elektabilitasnya mengalami peningkatan.

“Sehingga bagaimana Anies-PKS di-endorse oleh banyak pihak yang dengannya mudah-mudahan akan terwujud bonding DNA Anies dengan PKS itu menyatu. Dan itu modal besar buat PKS dalam strategi pemenangan pemilu, pileg, pilpres, dan pilkada,” tandasnya.

Dia mengakui itu bukan pekerjaan mudah. Karena NasDem, Demokrat, dan semua partai yang mendukung Anies juga memiliki hak yang sama untuk berusaha mengasosiasikan partainya dengan Anies dengan strategi masing-masing.

Dalam kesempatan itu, pihaknya juga mengakui PKS pun tidak ingin sendiri yang menikmati berkah dukungan kepada Anies Baswedan tersebut.

“Sehingga karena pileg, pilpres jalan bareng, maka kita berharap coat tail effect itu tidak sepenuhnya dominannya ke NasDem, tapi PKS juga dominan dan kita juga berharap dominan juga Demokrat. Sehingga kalau tiga partai pendukung ini mendapatkan coat tail effect, soliditas kita juga menjadi kuat,” demikian Mardani Ali Sera. 

DNA PKS-Anies

PKS mendukung Anies Rasyid Baswedan dalam kontestasi demokrasi bukan hanya pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 ini. Partai berlambang Bulan Sabit dan Padi ini juga mengusung Anies pada gelaran Pemilihan Umum Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 lalu.

Kedekatan keduanya bukan sesuatu yang mengejutkan kalau dilihat dari sejarah, ideologi, dan konteks kekinian.

“Bagi saya, terlepas itu disebut DNA atau bukan, ada beberapa arsiran yang menyebabkan di antara keduanya cukup dekat sebetulnya,” jelas Kepala Pusat Penelitian Politik Prof. Dr. Firman Noor, M.A., dalam Indonesia Leaders Talk: DNA Anies dan PKS live di kanal YouTube @PKSTV itu.

Arsiran atau kesamaan yang pertama dan paling utama adalah keduanya sama-sama berangkat dari satu semangat kemandirian, tidak bergantung pada banyak elemen, termasuk dengan kelompok oligarki.

“Ya, kalau belakangan ada pengusaha yang mendukung, saya kira itu konsekuensi demokrasi yang memang mahal. Tapi untuk disebut sebagai oligark, mungkin belum masuk kategori itu. Ataupun kalau sudah termasuk oligark, saya kira bisa ditanggulangi, selanjutnya bisa dikendalikan,” bebernya.

Tapi intinya, dia menjelaskan, PKS berangkat dari sebuah gerakan dakwah yang masif di kampus-kampus, yang terlepas dari kaki tangan Pemerintahan Orde Baru dan proxy-proxy-nya saat itu. Sehingga partai ini sudah terbiasa di pinggiran arena. Sehingga tidak gelisah dan canggung berada di luar kekuasaan.

“Karena memang DNA-nya itu adalah sebuah gerakan yang berasal dari luar kekuasaan, yang kemudian lambat laun tapi pasti mulai masuk kekuasaan dan pernah menjadi bagian dari kekuasaan. Tapi tidak getol terus-menerus memaksakan untuk ada di kekuasaan dan tidak kaku atau layu ketika ada di luar kekuasaan,” papar akademisi jebolan Universitas Indonesia (S1), Australian National University (S2) dan University of Exeter, Inggris (S3) ini.

Demikian pula Anies Baswedan. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut juga sosok yang memiliki kemandirian, terbiasa di gerakan masyarakat, memiliki ide-ide besar dalam banyak hal termasuk pendidikan yang dikelola secara mandiri, kolektif, tidak bergantung pada kekuasaan, apalagi kaum oligarki.

Karena itu, menurutnya, baik PKS dan Anies sudah terbiasa berada di kerumunan nonkekuasaan.

“Untuk PKS, baik pada saat pembentukan (lepas dari pengaruh kekuasaan) atau pada saat oposisi. Kan ada partai-partai itu gelisah kalau tidak punya kekuasaan atau di luar kekuasaan. Tapi saya kira keduanya ini santai saja, percaya diri saja. Karena berangkat dari satu idealisme yang diracik dari banyak aspek. Apakah itu religiusitas, apakah itu nasionalisme dan lain-lain,” imbuhnya.

Selain kemandirian, keduanya juga sama-sama dari elemen kritis. Sehingga terbiasa menyampaikan pandangannya secara akademis, objektif, termasuk ketika berada di pemerintahan. Meminjam istilah Buya HAMKA, Firman menyebut, keduanya tidak terikat giginya atau lidahnya ketika menduduki kekuasaan.

“Anies tetap kritis ketika menjadi menteri. PKS, meskipun gabung (dengan Pemerintahan) SBY waktu itu, juga kritis terhadap SBY. Jadi sama-sama merupakan elemen kritis,” ungkap penulis buku Perpecahan & Soliditas Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi ini.

Apalagi saat ini, di mana PKS menjadi partai oposisi juga telah memainkan perannya dengan sangat baik. Sikap kritis yang sama juga ditunjukkan Anies saat ini lewat ide-ide bernas dan sopan yang disampaikannya dalam banyak kesempatan. Seperti Anies yang terus menyuarakan bahwa Indonesia adalah milik semua orang, keadilan sosial harus ditegakkan.

“Saya kira itu sikap kritis yang sangat relevan dengan situasi yang ada pada saat ini, di mana kekuasaan itu sangat menjadi sangat elitis dan kemakmuran itu hanya untuk sebagian orang,” tandasnya. SSC/KBANews

 



BACA JUGA