Literasi Digital Garda Utama Perlindungan Data Nasabah BNI

Workshop Literasi Keamanan Digital Perbankan, Peduli Lindungi Data Pribadi, kerjasama BNI dan AMSI

Rabu, 24/08/2022 13:54 WIB
Rayendra M Gunawan, Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI

Rayendra M Gunawan, Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI

Perkembangan ekonomi digital di Indonesia cukup pesat. Sayangnya, tidak diikuti dengan literasi digital masyarakatnya, terutama dalam pengelolaan keuangan yang masih rendah. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia masih relatif rendah di posisi 38,03 persen pada survei tahun 2019. Sedangkan indeks literasi digital sangat rendah, hanya 3,49 persen. Rendahnya literasi digital dan keuangan mengakibatkan munculnya kejahatan siber.

Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK, Horas V.M. Tarihoran menyatakan inovasi di era keuangan digital membuat banyak potensi ekonomi menjadi lebih terbuka. Kendati demikian, semua pihak masih perlu mewaspadai risiko keamanan siber yang terus terbuka yang utamanya disebabkan oleh literasi digital masyarakat yang masih rendah. Sejauh ini, sekitar 38 persen masyarakat sudah mengakses produk keuangan yang rentan di serang kejahatan siber.

Horas menyampaikan data tersebut dalam Workshop Literasi Keamanan Digital Perbankan, Peduli Lindungi Data Pribadi, yang diselenggarakan BNI bekerjasama dengan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Jumat (23 Agustus 2022) lalu, secara daring. Dikatakan Horas, tantangan peningkatan literasi keuangan, antara lain, kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, terdapat 21 provinsi yang indeks literasinya di bawah indeks literasi nasional, tingkat pendidikan dan perekonomian masing-masing wilayah di Indonesia berbeda-beda, akses internet yang merata di seluruh daerah di Indonesia, dan terdapat gap indeks literasi keuangan di wilayah pedesaan dan perkotaan.

Melihat tantangan tersebut, Horas menyadari literasi keuangan tidak akan bisa ditingkatkan oleh OJK sendirian, diperlukan peran sektor jasa keuangan termasuk perbankan. Dari sekitar 3.100 lembaga jasa keuangan yang terdaftar di OJK, baru 40 persen yang memenuhi telah melakukan kegiatan edukasi minimal 1 kali setahun, termasuk BNI yang telah melakukan kegiatan edukasi dan literasi lebih dari satu kali.

Horas juga mengulas Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. Pada bab pengelolaan data dan perlindungan data pribadi  dalam POJK tersebut, Bank wajib mengelola data secara efektif dalam pemrosesan data Bank untuk mendukung pencapaian tujuan bisnis Bank. Hal tersebut dilakukan dengan memperhatikan kepemilikan dan kepengurusan data, kualitas data, sistem pengelolaan data, dan sumber daya pengelolaan data. Selain itu, Bank wajib melaksanakan prinsip pelindungan data pribadi dalam melakukan pemrosesan data pribadi. Dalam hal terdapat kondisi tertentu yang berpotensi meningkatkan risiko bagi pemilik data pribadi, Bank wajib melakukan penilaian dampak atas penerapan prinsip pelindungan data pribadi.

Sementara itu, Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI, Rayendra Minarsa, dalam paparannya, telah bersinergi dengan OJK dan Bank Indonesia dalam menerapkan perlindungan konsumen. Ia mengaku literasi sebagai garda utama dalam perlindungan data konsumen. Menurutnya, keamanan itu tidak hanya dari pelaku jasa keuangan saja, tapi paling utama dari pemilik data sendiri dalam menjaganya. Maka end user sebagai pemilik data, setiap orang yang menggunakan produk sehingga literasi harus ditingkatkan seiring kenaikan inklusi.

BNI telah menyiapkan berbagai langkah strategis dalam memberikan perlindungan bagi nasabahnya. Mulai dengan menyediakan pusat pengaduan melalui BNI Contact Center (BCC) yang beroperasi 24 jam selama 1 minggu. Nasabah dapat menyampaikan keluhan melalui telepon 1500046, mengirim email bnicall@bni.co.id. atau bahkan mendatangi kantor cabang BNI terdekat. Selain itu, BNI telah memiliki unit yang memantau transaksi nasabah dan menerima laporan pengaduan nasabah dalam 24 jam dalam 7 hari. BNI juga telah menjalankan fungsi fraud detection yang berfungsi mendeteksi aktivitas fraud secara real time.

Tak sampai di situ, BNI juga telah mengikuti aturan Bye Laws yang dirilis oleh Bank Indonesia. Bye Laws merupakan pedoman pelaksanaan pemblokiran rekening simpanan nasabah dan pengembalian dana nasabah dalam hal terjadinya indikasi tindak pidana. Bye Laws dipergunakan oleh Perbankan untuk keseragaman pelaksanaan dalam praktik Perbankan bagi bank peserta Bye Laws. Tujuan utama dari Bye Laws adalah agar uang hasil kejahatan dapat segera diblokir dan dikembalikan ke nasabah.

Tidak hanya itu, BNI terus berupaya untuk mematuhi arahan OJK sebagai pengawas perbankan untuk melakukan edukasi kepada nasabah terkait perlindungan data nasabah melalui berbagai channel. BNI mengimbau nasabah selalu menjaga kerahasiaan informasi pribadi termasuk PIN dan OTP transaksi. Segera menghubungi call center bank bila kartu hilang, dicuri orang lain, atau terjadi kejanggalan dalam transaksi perbankan.

Nasabah pun diharap untuk tidak memberikan maupun meminjamkan kartu kredit maupun debit kepada siapapun. Lengkapi pula gawai telepon genggam dengan anti virus dan tidak menggunakan fasilitas WiFi publik dalam melakukan transaksi. Daftarkan email atau SMS notifikasi transaksi dan melakukan pembaruan data kepada pihak bank bila ada perubahan data. Terakhir, menghindari transaksi melalui web yang tidak dikenal maupun pada merchant e commerce yang tidak mengimplementasikan 3D secure.

Pembicara lainnya, Prof Teddy Mantoro dari Sampoerna University, menyarankan pemerintah melalui Kemenkominfo untuk aktif, dibuatkan suatu tempat sehingga jika terjadi kasus-kasus tertentu bisa lapor dengan cepat dan situsnya diblokir. Untuk Bank, Prof Teddy juga menyarankan proaktif menangkap keluhan atau komplain pelanggan terkait transaksi digital, dan ditayangkan di web jika ada kasus-kasus tertentu. Begitu juga media, meningkatkan literasi digital khususnya transaksi digital, problem solving yang presisi, dan jangan terlalu banyak pop-up iklan, yang sangat mengganggu. Sedangkan pelanggan, kata Prof Teddy, harus cakap (skillfull), berpengetahuan/berliterasi digital yang baik dan senang belajar terutama dari pengalaman, dan hati-hati dengan berfikir dua kali sebelum memasukkan credential (login-id dan password), termasuk dalam melakukan transaksi. Pelanggan yang cakap mengaktifkan TFA (two factor authentication) dan password tidak boleh untuk semua platform.

Citra Dyah Prastuti dari AMSI menyampaikan peran media dalam cakap digital dan lindungi data pribadi. Setiap fase selalu ada yang harus diedukasi dalam aspek keuangan. Media harus melihat ini sebagai fase kehidupan yang setiap saat harus diedukasi dan diliterasi. Terkait edukasi dan literasi ini, beberapa hal yang bisa dilakukan, antara lain, perlindungan konsumen dimana hal ini bisa terjadi ke semua orang. Kemudian, perlindungan data dengan mengetahui data apa saja yang rentan dan penting untuk dilindungi. Selain itu, harus diingat juga, kejahatan di platform digital selalu berubah, makanya penting untuk selalu update informasi. Selanjutnya, membangun awareness atau kepedulian publik soal kasus terbaru dan bagaimana menyelesaikannya. Dalam hal ini media sebagai sumber andalan untuk membangun kepedulian publik tersebut. Makanya, perlu satu tempat yang bisa dilihat oleh setiap orang atau publik tentang kasus transaksi digital yang terjadi dan bagaimana penyelesaiannya. Terakhir, menggunakan bahasa dan istilah yang mudah, sesuaikan dengan target audiens dari media masing-masing. Sesuaikan dengan porsinya sehingga pesan bisa tersampaikan dengan jelas. (Gusriyono/SSC)



BACA JUGA