
Foto ini diambil 2,5 bulan lalu ketika beliau bersama para cucunya dalam suasana Hari Raya Idul Fitri 1443 H. (foto Istimewa)
Talang Maua, sumbarsatu.com—Duka memayungi dunia seni tradisi Minangkabau. Salah seorang maestro seni musik tradisi sampelong, Islamidar berpulang ke Rahmatullah. Islamidar atau yang akrab disapa Tuen, meninggal dunia di rumahnya di Jorong Talang, Nagari Talang Maua, Kabupaten Limapuluh Kota pada Selasa, 12 Juli 2022 pukul 23.30.
“Innalilahi wainnailaihi raaji'uun. Telah berpulang ke Rahmatullah mertua laki-laki kami Maestro Seni Tradisi Minangkabau, Bapak Islamidar dalam usia 81 tahun, pada Selasa (12/07/2022) pukul 23.30 WIB, di rumah beliau. Beliau dilepas oleh 5 anak dan menantu serta para cucunya dengan tenang menghadap Sang Khalik,” kata Yon Erizon, salah seorang menantu Tuen Islamidar kepada sumbarsatu, Selasa (12/7/2022).
Yon Erizon mengatakan, beliau akan disemayamkan di rumah duka dan dimakamkan, Rabu (13/07/2022) di Kampung Melayu, Jorong Talang, Nagari Talang Maur, di sebelah pusara istri beliau almarhumah Tati Afrida.
“Mohon maaf atas kesalahan beliau semasa hidup, baik yang disengaja mau pun yang tidak. Semoga beliau diberikan tempat yang terbaik oleh Allah Swt,” tambahnya.
Islamidar lahir 16 Juli 1941 di Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Sehari-harinya, selain sebagai seniman seni tradisi sampelong, Islamidar bekerja di SD di nagarinya sebagai guru kesenian. Islamidar meninggalkan 5 orang anak dan 17 orang cucu.
Semasa hidupnya, bersama kelompok sampelongnya, ia telah melakukan pertunjukan alat tiup tradisi ini di pelbagai kota di Indonesia dan luar negeri, antara laiu Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Ismail Marzuki (TIM) keduanya di Jakarta dan di Surabaya. Di luar negeri, ia pernah tampil di Malaysia, Belanda, Yunani, Jerman, dan Spanyol, Brunei, Singapura, dan Jepang.
Dilansir dari blog https://mantagisme.blogspot.com/2007/03/islamidar.html, Tuen adalah pewaris dan penjaga seni sampelong, salah satu seni tradisi Minang yang masih eksis sampai saat ini. Sejarah hidup Tuen identik dengan perkembangan sampelong itu sendiri.
Tuen memang berasal dari keluarga yang berdarah seni. Ibunya adalah pelantun dendang sampelong yang juga pandai memainkan gendang. Sedang sang ayah adalah seorang qari yang mahir membaca ayat-ayat suci Al-Quran dengan irama yang enak di telinga. Kakeknya adalah seorang pemain gambus. Begitu pula etek dan mamaknya.
Irama sampelong adalah irama yang dimainkan dengan saluang sejenis bansi. Dulunya, sampelong adalah sejenis irama musik yang dinyanyikan pada saat menggampo gambir. Saat itu sampelong tak pakai dendang. Kalaupun ada dendang berirama sampelong, tapi musik pengiringnya adalah talempong. Baru sejak tahun 1965, sampelong pakai dendang. Syair/lagu dendang sampelong lebih banyak berkisah tentang kepahitan hidup, keperihan nasib, kegagalan cinta, kemiskinan dan segala kenestapaan lainnya. Lirik-lirik sampelong adalah elegi: nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri.
Sampelong, sebagaimana dituturkan Tuen sudah ada di Minangkabau sebelum kedatangan Islam ke ranah ini. Nada sampelong adalah nada-nada lagu Budha. Ini dibuktikan dengan kesamaannya dengan nada yang ada di Thailand—sebuah bangsa yang kebudayaan dan seninya berakar pada agama Budha dan juga di Palembang—daerah yang pernah menjadi tempat berkembangnya agama Budha.
Sampelong berbeda dengan basirompak, baik alat yang yang digunakan maupun lagu yang dimainkan. Basirompak dimainkan dengan saluang biasa dengan syair lagu-lagu dendang yang berupa mantra-mantra jahat yang dulunya merupakan alat penyampai guna-guna. Namun sekarang, kata Tuen, basirompak juga bisa dialihkan ke seni yang bernilai baik dan enak didengar.
Akrab dengan Musik Tradisi
Sejak kecil, Tuen sudah akrab dengan musik tradisi Minang. Pada usia enam tahun ia sudah diajarkan oleh neneknya memainkan talempong. Hingga dewasa, Tuen tak hanya trampil memainkan talempong (talempong pacik) dan berdendang sampelong, tapi ia juga mampu memainkan akordeon dan pianika.
Di samping itu, ia juga bisa memainkan seni musik dikia (seni musik Islam). Tak ketinggalan, Tuen juga bisa berdendang basijobang—sejenis dendang yang diiringi musik yang bersumber dari hentakan kotak korek api yang berkisah tentang Anggun Nan Tongga dan Putri Gondoriah. Menurut Tuen, sebutan Basijobang berasal dari gelar Anggun Nan Tungga yaitu Magek Jabang (jadilah Basijobang).
Tuen, sang maestro seni musik tradisi ini berumah tangga pada tahun 1969. Hingga sekarang ia mempunyai lima orang anak—yang salah seorang dari putranya juga meneruskan bakat seni yang diwariskannya. Sebagai seorang seniman, sejak tahun 1970-an Tuen sudah sering tampil di acara-acara resepsi pernikahan atau baralek.
Ia mulai tampil ke publik yang lebih luas pertama kali pada acara Pekan Budaya Minang di Payakumbuh. Sejak itu, berbagai pentas seni budaya sering ia ikuti. Sejak beberapa tahun belakangan, di setiap Selasa malam dan Sabtu malam, ia tampil di Bukittinggi.
Kesungguhan dan kepiawaian dalam berkesenian mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ia diminta mengajar di sekolah dasar di kampungnya. Namun karena hanya berijazah Sekolah Rakyat (sekolah dasar), Tuen resminya hanya diangkat sebagai pegawai penjaga sekolah, namun fungsinya adalah sebagai seorang guru.
Di SD Negeri 02 Talang Maua, Tuen mengajar kesenian sampai ia pensiun. Namun ternyata, karena kemampuannya—Tuen jadinya tak hanya mengajarkan kesenian, tapi juga mengajar Matematika dan Pendidikan Agama. Untuk materi pendidikan agama, Tuen menciptakan lagu-lagu yang berisikan kisah-kisah kehidupan para rasul dan nabi. Ia juga menciptakan lagu tentang Rukun Islam dan Rukun Iman. Lagu-lagu yang berisikan pendidikan agama untuk sekolah dasar ini sudah ada yang diproduksi dalam bentuk kaset rekaman.
Di samping mampu berdendang dan memainkan alat musik, Tuen juga mempunyai kemampuan sebagai seorang akademisi. Ia bisa menciptakan lagu disertai not balok. Penglihatannya yang sudah terganggu sejak usia muda tak menghalanginya untuk mencipta.
Layaknya seorang seniman sejati yang juga punya talenta sebagai akademisi, Tuen memiliki pengalaman, pemahaman dan pengetahuan yang kaya tentang seni tradisi. Ia layak menjadi narasumber yang tak pernah kering untuk digali.
Sebagai seorang seniman yang bertalenta akademisi, Tuen juga menyampaikan kritik yang cukup tajam terhadap perguruan tinggi seni. Ia menilai, seni musik tradisi hampir tak berkembang di perguruan tinggi seni, lebih sering hanya memainkan lagu itu ke itu saja.
Ia mencontohkan permainan talempong, hanya berputar pada Cak Din-din dan Tigo Duo. Ia juga menyayangkan, anak-anak muda kini yang enggan untuk meneruskan seni tradisi yang berakar dari negeri ini sendiri.
Begitulah seorang Tuen, hidupnya terus mengalir, ia berkarya tak pernah henti. Sejarah menakdirkannya sebagai seorang seniman sejati, pewaris, penjaga dan pelestari seni tradisi. SSC/MN
TONTON Link Video Islamidar
BACA Link mantagisme.blogspot.com