Khazanah Minangkabau, Antarkan Iyut Fitra Raih Penghargaan Sastra 2020

BUKU PUISI “LELAKI DAN TANGKAI SAPU"

Jum'at, 30/10/2020 16:59 WIB
Penyair Iyut Fitra

Penyair Iyut Fitra

Payakumbuh, sumbarsatu.com—Buku kumpulan puisi Iyut Fitra Lelaki dan Tangkai Sapu yang diterbitkan Kabarita Padang tahun 2017 meraih Penghargaan Sastra 2020 untuk kategori puisi dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam nota dewan juri yang dibacakan Eka Budianta dikatakan, setelah 3 juri membaca 91 buku puisi dari 115 buku puisi yang lolos seleksi, dan menghasilkan 5 nomine. Buku puisi Lelaki dan Tangkai Sapu yang diterbitkan Kabarita Padang 2017 karya Iyut Fitra keluar sebagai pemenang dalam Penghargaan Sastra 2020 untuk kategori puisi.

“Kesimpulan yang menjadi dasar keputusan dewan juri ialah buku puisi Lelak dan Tangkai Sapu yang terdiri 41 puisi ini merupakan satu kesatuan, satu napas yang mengedepankan kearifan tradisional (Minangkabau). Hal inilah yang membuat puisi Iyut Fitra berbeda dan menjadi kekuatan dibandingkan 91 buku-buku puisi lainnya,” kata Eka Budianta, salah seorang dewan juri, yang juga seorang penyair ini dalam relis di media sosial di akun Youtube, Kamis (29/10/2020).

Dua juri lainnya, yakni Prof Abdul Hadi WM dan Joko Pinurbo, memberi penilaian yang serupa dengan Eka Budianta.

“Kekuatan puisi dalam Lelaki dan Tangkai Sapu terletak pada keberhasilan penulisnya dalam membangun suasana khazanah lokal  dengan imajinasi yang hidup. Selain itu, kehidupan dalam puisi Iyut Fitra dilukiskan sebagai lingkaran abadi yang tidak henti-hentinya sebelum manusia menghembuskan napas terakhirnya,” tambah Abdul Hadi WM yang terkenal dengan buku puisinya Tuhan Kita Begitu Dekat.

Pelopor puisi sufistik ini menambahkan, kekuatan dari buku puisi Iyut Fitra adalah anasir bahasa kias yang melampaui metafora-metafora dan simbol-simbol. 

“Unsur bahasa kias dan figuratif dalam puisi Lelaki dan Tangkai Sapu  karya Iyut Fitra menjadi penting. Bahasa kiasnya melebihi dari metafora dan simbol sehingga menghasilkan imaji-imaji yang hidup,” urai Abdul Hadi WM.

Sementara itu, Joko Pinurbo, penyair dengan buku puisinya Celana, memberi argumentasi terhadap Lelaki dan Tangkai Sapu bahwa kumpulan 41 puisi yang ada dalam buku merupakan narasi panjang yang berisi kegelisahan intelektual dan refleksi kritis kekukuhan tradisi merantau masyarakat Minangkabau di tengah perubahan zaman yang semakin mengaburkan batas-batas sosial

“Narasi yang terjalin padu dari 41 puisi ini disajikan melalui pendayagunaan idiom-idiom dengan citraan lokal disertai dengan dekripsi detil dengan figuratif. Dan Iyut Fitra berhasil menghidupkan kekayaan tradisi Minangkabau tanpa menjadikannya sebagai romantisme yang klise,” papar Joko Pinurbo.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) setiap tahun memberikan Penghargaan Sastra kepada sastrawan di Tanah Air. Badan Bahasa memilih satu karya terbaik dari nomine tersebut sebagai penerima Penghargaan Sastra Kemendikbud. Ada 4 kategori penghargaan, yakni cerpen, novel, puisi, dan esai (kritik sastra).

Untuk puisi, ada lima nomine sebelum dipilih yang terbaik, yakni Raedu Basha dengan antologi puisi Hadrah Kiai yang diterbitkan Ganding Pustaka (2017), Iyut Fitra dengan antologi puisi Lelaki dan Tangkai Sapu (Kabarita, 2017), Wayan Jengki Sunarta dengan antologi puisi Amor Fati (Pustaka Ekspresi, 2019), Isbedy Stiawan ZS dengan antologi puisi Kin Aku Sudah Jadi Batu (Siger Publisher), dan Irawan Sandhya Wiraatmadja dengan antologi puisi Vu Berbilang Akar-akar Kecubung (Kosakata Kita, 2019).

Menurut Iyut Fitra, buku kumpulan puisi Lelaki dan Tangkai Sapu, dikesankan berbicara tentang tradisi tradisi merantau masyarakat Minangkabau, yang entah sejak kapan dimulai.

“Tradisi merantau masyarakat Minangkabau merupakan benang utama yang melilit buku ini Lelaki dan Tangkai Sapu. Merantau itu sebuah peristiwa berulang-ulang yang terus dilakukan kendati zaman telah berubah dan barangkali. Sejalan dengan perubahan tersebut, tujuan merantau barangkali telah berubah fungsi. Merantau tidak lagi sekadar mencari ilmu, kehidupan yang lebih baik, dan menempa diri, akan tetapi merantau juga menjadi sebuah simbol kejayaan, martabat, serta harga diri,”jelas Iyut Fitra kepada sumbarsatu, Jumat (30/10/2020).  

Pada Lelaki dan Tangkai Sapu narasi utamanya memang menggugat pola pikir masyarakat tentang rantau. Tak ada lagi dikotomi ranah (di Minangkabau) dengan rantau. Semua melebur dan menyatu karena perubahan zaman dan pemaknaan rantai itu.

“Kenyataan hari ini, apa pun yang akan dikejar ke rantau? Semuanya sudah ada di ranah. Lalu buat apa lagi merantau? Buat apa lagi merendahkan orang-orang yang masih bertahan di kampung? Yang pada sisi tertentu (barangkali) mampu menjaga dan membangun tanah kelahirannya,” urai sosok yang hobi main futsal ini.

Selain itu, jelasnya, buku ini juga melirik perubahan besar yang terjadi di ranah setelah mereka-mereka yang merantau pulang membawa budaya-budaya baru sehingga semua menjadi campur-baur: rantau dan ranah tidak lagi berbeda.

“Semua telah berwarna hari ini yang berbau kota. Saat itulah pergeseran budaya, nilai, bahkan norma terjadi. Lelaki dan Tangkai Sapu mencoba mencatat dan menulis semua itu dengan sebuah puisi panjang. yang pada konsepnya, puisi itu bisa saja berdiri sendiri, dan bisa juga saling berkaitan,” jelasnya panjang lebar sembari menyebutkan

buku puisi Lelaki dan Tangkai Sapu adalah upaya pencarian terhadap kebaruan. baik itu tema mau pun konsep penulisan.

Iyut Fitra lahir dan besar serta berproses kreatif di Kota Payakumbuh, Sumatra Barat. Sepanjang karier kepenyairannya, tak terhitung lagi capaian dan prestasi yang diraih, baik itu lomba cipta puisi mau pun cerpen.

Ia pernah dipercaya sebagau kurator Pertemuan Sastrawan Asia Tenggara di Padang Panjang, kurator Antologi Puisi Rohingya Jakarta, kurator Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Bali, dan kurator berbagai festival dan lainnya.

Pada tahun 2018, buku puisi Mencari Jalan Mendaki masuk nomine buku pilihan HPI 2018 dan sebagai buku puisi terbaik Perpusnas 2019. Pada 2020 ini, buku puisi Sinama diterbitkan Kabarita, Padang. SSC/MN



BACA JUGA