
OLEH Nasrul Azwar (Jurnalis)
Dasawarsa terakhir, ada dua isu yang mencuri perhatian publik, terutama di kalangan pendidikan tinggi (PT) dan dunia usaha. Pertama, sebuah artikel yang ditulis Jim Clifton, ”Universities: Disruption is Coming”, dan kedua, film pendek “Change 2” karya Gerd Leonhard.
Keduanya menguncang sudut pandang dan paradigma, serta menggoyahkan keimanan para pengelola pendidikan tinggi formal di Bumi raya ini. Tapi manakala lebih mengerucut lagi di Sumatera Barat, ranah Minangkabau, negeri yang mengklaim dirinya sebagai “Negeri Industri Otak” ini, apakah juga ikut terguncang atau mungkin tidak pernah tahu sama sekali dengan isu ini.
Ada puluhan pendidikan tinggi di Sumatera Barat dengan pelbagai bidang pengetahuan. Ribuan sarjana setiap tahun ditelorkan dari perut kampus-kampus itu. Lalu, menyadarikah pihak pendidikan tinggi dengan segenap nama kerennya civitas akademika itu bahwa orang lain sudah berpendapat “kampus sudah kehilangan pelanggannya” bernama mahasiswa itu? Atau tak ada guna ijazah yang disetempel itu?
Pemikiran keduanya, seperti bersepakat bahwa pendidikan tinggi di universitas tak ada gunanya lagi.
“Apakah kita masih membutuhkan universitas? Bagaimana jika universitas dan pendidikan tinggi kehabisan mahasiswa atau peminatnya?” Ini pertanyaan menohok dalam ”Universities: Disruption is Coming”.
Jim Clifton, kini CEO Gallup News, sebuah perusahaan publik yang bermaskas di Amerika Serikat, didirikan pada 1935 oleh George Gallup. Bergerak di bidang konsultasi manajemen industri, politik, dan ekonomi, serta analisis kebijakan. Kini memilii 40 cabang yang tersebar di pelbagai negara.
Sementara, Gerd Leonhard dikenal seniman futuris dan penulis. Film pendeknya “Change 2” itu mendedahkan revolusi teknologi informasi yang berdampak pada perubahan perilaku dan kultur umat manusia. Menurutnya, dunia berjalan dengan sistematisasi digital. Seperti tak ada yang luput dari digitalisasi. Tapi satu hal yang tak mungkin disentuh digitalisasi itu ialah intelegensi.
Intelengensi dalam pengertian kamus ialah daya reaksi atau penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara fisik maupun mental, terhadap pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta atau kondisi baru. Intelegensia terkait dengan kecerdasan dan daya gugah kreatif.
Realitas yang memukul dunia pendidikan tinggi ialah saat Google dan Ernst & Young mengumumkan merekrut karyawan tanpa gelar sarjana dan mengabaikan ijazah sebagai tanda bukti menyelesaikan pendidikan tinggi.
Menurut Jim Clifton, kedua perusahaan itu memandang apa yang dihasilkan pendidikan formal (universitas) tak memenuhi standar yang dibutuhkan dunia kerja yang berbasis kecepatan perubahan teknologi.
Google dan Ernst & Young mau menggaji siapa pun yang bisa bekerja dengannya tanpa harus memiliki ijazah apa pun, termasuk ijazah dari perguruan tinggi (PT). Tentu saja, kebijakan yang diambil Google dan Ernst & Young, mungkin tidak akan berhenti sampai di situ. Bisa saja akan diikuti perusahaan-perusahaan lainnya.
“Kebutuhan kita untuk belajar dan mengisi otak kita dengan informasi yang tepat pada waktu yang tepat berubah lebih cepat daripada universitas-universitas,” tulis Jim.
Puluhan malah ratusan artikel bermunculan setelah tulisan itu dipublikasikan pada 2017 dengan intensitas pro-kontra tentunya.
Kendati gagasan yang disampaikan Jim bukan sesuatu yang baru terkait dengan kecaman keras terhadap dunia pendidikan. Tapi, ketika perusahaan raksasa multinasional yang bermarkas di Amerika Serikat menerapkan “tanpa ijazah” bagi yang mau bekerja dengannya tentu pukulan keras bagi dunia pendidikan dan universitas di di dunia ini, tentu termasuk Indonesia.
Jika kita mau mencantolkan syarat pelamaran pekerjaan tanpa ijazah dan tamatan pendidikan formal ini, dengan pendidikan Indonesia, akan sangat panjang uraiannya.
Tapi bagi saya, ini sebuah problem besar bagi pendidikan formal Indonesia, terutama di pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi di Provinsi Sumatera Barat setiap tahun menelorkan ribuan sarjana dari berbagai cabang ilmu. Secara umum, menurut data BPS tahun 2018, hampir 8 persen dari total 7 juta lebih sarjana menganggur. Angka ini meningkat 1,13 persen dari tahun 2017.
Menurut Kemenristek Dikti, di tahun 2017 sarjana pengangguran mencapai 8,8 persen. Jumlahnya mencapai lebih dari 630 ribu orang seluruh Indonesia.
Sementara di Provinsi Sumatera Barat, dari data BPS disebutkan jumlah pengangguran di Sumatera Barat hingga Februari 2018 tercatat 152.241 orang. Terjadi peningkatan 0,22 persen dari tahun sebelumnya, yang hanya 151.900 orang. Pengangguran terbanyak berasal dari lulusan diploma, D1 hingga D3 yang persentasenya mencapai 9,52 persen.
Besarnya jumlah pengangguran pada jenjang pendidikan tinggi, termasuk di Sumatera Barat, tak mungkin dipandang remeh. Paling tidak, hal mendesak yang perlu dipikirkan pihak pengelola pendidikan tinggi ialah korelasi apa yang diajarkan di kampus dengan kebutuhan dan perkembangan serta tuntutan kerja di lapangan. Selama ini produk pendidikan tinggi tak “nyambuang” dengan tuntutan ruang lingkup dan tuntutan kemampuan kerja.
Sudah saatnya merevisi dan mengaktualisasikan dengan tetap menoleh ke belakang antara pengetahuan, sains, dan teknologi, serta kualitas yang dihasilkan sebagai capaian kampus atau universitas dengan perspektif kekinian. Pengajar harus memaksimalkan kemampuan daya baca dan senstitivitasnya. Fokus mengajar. Interaksi aktif dengan lingkungan.
Sudah dipastikan, tentu saja, siapa saja, tak akan rela jika kelak mungkin tak lama lagi, keberadaan pendidikan tinggi akan segera berakhir seiring dengan ketertinggalannya yang semakin jauh dan semakin tradisional. Kini ia di ujung tanduk.
Apa yang disampaikan Jim Clifton dan Gerd Leonhard diharapkan berhenti sampai di sana saja jika kita bisa bendung dengan membuka seluasnya sikap inovatif, merayakan kreativitas, dan berpikir merdeka.Tapi rasanya sulit.