Jessica Wongso dan Orang-orang Papua

-

Rabu, 04/09/2019 11:45 WIB

OLEH Linda Christanty (Aktivis HAM)

 

SEMALAM menonton ILC (Indonesia Lawyers Club) yang dipandu Karni Ilyas di salah satu stasiun televisi. Seingat saya dalam beberapa tahun terakhir ini, saya hanya dua atau tiga kali menonton siaran itu. Topik-topiknya perlu disimak dan dialognya cukup menarik diketahui, tapi jam kerja saya sering tidak bersesuaian dengan jadwalnya.

Saya pertama kali menonton ILC ketika siaran ini mengupas kasus Jessica Wongso beberapa tahun lalu. Dia dipenjarakan atas tuduhan pembunuhan terhadap Mirna Salihin. Sejak awal media telah memprofilkan dirinya sebagai penjahat kelas kakap dan juga psikopat. Jawaban-jawabannya yang meyakinkan bahwa dia tidak bersalah justru telah dibingkai sebuah stasiun televisi dalam perangkap 'inilah jawaban seorang psikopat'.

Ketika itu sidang pengadilan kasusnya bahkan belum dimulai. Seorang psikiater kemudian menyatakan Jessica lolos uji kebohongan yang sulit. Bukannya menganggap hal itu sebuah petunjuk bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. Si psikiater malah mengesankan Jessica benar-benar superpsikopat yang bisa lolos uji kebohongan tingkat tinggi.

Setidaknya media mengemas pendapat psikiater tersebut agar membuat pembaca menyimpukannya demikian. Kepala polisi yang saya lupa namanya sangat ambisius menyatakan Jessica bersalah dan harus bersalah, sedangkan bukti-bukti yang didapat kemudian tidak memenuhi syarat pembuktian yang sah.

Ayah Mirna turut menekankan betapa besar kasih sayangnya terhadap putrinya dan salah satu buktinya adalah asuransi kematian yang dia bayarkan untuk Mirna itu besar sekali, katanya. Ada pula media yang mengesankan Jessica berasal dari keluarga kaya-raya. Padahal latar belakang keluarganya terbilang sederhana.

Pembunuhan karakter terhadap Jessica dilakukan habis-habisan dan kalau ada orang yang curiga bahwa dia tidak bersalah, hal itu serta-merta melawan pendapat umum yang telah dibentuk oleh berita-berita media.

Siaran ILC mengenai kasus itu membuat saya merenung dan prihatin; alangkah buruknya nasib seseorang jika harus menjalani hukuman tanpa melakukan kejahatan yang dituduhkan.

Setelah itu saya menonton ILC lagi semalam. Menurut saya, siaran semalam sangat menarik, apalagi dibuka dengan rekaman Karni Ilyas yang mewawancarai Wiranto, Menkopolhukam. Wiranto menjelaskan situasi di Papua dan Papua Barat.

Menurut Wiranto, situasinya sudah pulih. Pembersihan-pembersihan puing sudah dilakukan. Tayangan yang menunjukkan sekelompok orang tengah bergerak mengenyahkan sampah-sampah dari jalanan turut menyertai wawancara itu, mengisyaratkan kondisi kembali normal.

Wiranto juga menyebutkan bahwa ada yang meminta pasukan ditarik mundur, tapi katanya tunggu dulu karena keberadaan pasukan di sana dibutuhkan untuk menjaga pengrusakan terhadap fasilitas-fasilitas yang telah dibangun. Ujung-ujungnya dia menyebut nama Benny Wenda sebagai orang yang berada di balik masalah Papua. Ujung-ujungnya penyelesaian kasus kejahatan HAM berat seperti di Papua itu mau ditukarnya dengan upacara adat.

Pernah juga saya mendengar tentang adanya kasus kejahatan di Papua yang menjadikan orang Papua sebagai korban dan penyelesaiannya bisa berjalan damai asal memberi keluarga korban ganti rugi berupa babi. Pengetahuan tentang ini ternyata meluas di Indonesia: nyawa orang Papua murah, nyawa babi mahal.

Mungkin para pelaku kejahatan HAM berat ingin memanfaatkan keterbatasan pengetahuan orang Papua terhadap hukum dan hak-hak asasi manusia dengan memperalat babi-babi itu.

Sejumlah tokoh Papua juga hadir membagi pandangan dan pendapat mereka dalam siaran ILC tersebut, mulai dari bekas pejabat hingga aktivis mahasiswa bermarga Alkatiri--mengingatkan saya kepada Mari Alkatiri dari Timor Leste. Suara mereka kurang lebih senada. Belum pernah saya mendengar adanya kesamaan pendapat antara pejabat dan rakyat seperti yang terdengar malam itu.

Masalah di Papua sudah sangat lama, kata mereka, dan intinya orang-orang Papua merasa ada ketidakadilan. Keterwakilan orang Papua dalam politik minim dan konsekuensinya, suara mereka nyaris tak terdengar, menurut bekas wakil gubernur Papua. Aktivis mahasiswa bermarga Alkatiri mengatakan mahasiswa-mahasiswa Papua sebenarnya ingin didengar pendapatnya dan pendapat yang berbeda jangan ditanggapi dengan tuduhan-tuduhan khusus. Dia bahkan menekankan agar pemerintah memberi akses pendidikan yang layak dan luas terhadap orang Papua.

Salah seorang bekas pejabat Papua mengatakan bahwa otonomi khusus sebenarnya belum terlaksana secara benar. Masalahnya kira-kira seperti ini: kondisi setiap daerah itu khusus dan membutuhkan penanganan yang juga khusus, tapi begitu sebuah usulan pelaksanaannya diajukan kepada pemerintah Jakarta, jawaban yang diperoleh adalah tiap daerah harus tunduk pada aturan yang lebih tinggi, yaitu aturan negara yang berlaku umum.

Belum lama ini saya menonton video seorang diplomat kita yang berbicara penuh semangat di PBB, mewakili pemerintah Indonesia. Salah satu pernyataaannya untuk menangkis kabar bohong tentang Papua yang miskin dan terlantar, yang beredar di dunia internasional, katanya, adalah menunjukkan keberhasilan pembangunan-pembangunan (termasuk infrastruktur) yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua. Angka-angka pun disebutkan.

Kalau sedemikian baiknya kita memperlakukan Papua, mengapa teriakan paling ekstrem seperti 'kemerdekaan' masih terdengar juga sampai hari ini? Ada apa sebenarnya?

Kadang-kadang, di masa ini, saya teringat sejarah kejayaan kekhalifahan Islam selama hampir 800 tahun di Al Andalus atau Andalusia (yang wilayahnya meliputi Spanyol, Portugis dan sebagian Prancis Selatan). Andalusia ketika itu adalah pusat peradaban Islam. Para bangsawan Mor-Islam dan Spanyol-Kristen sudah melakukan kawin campur. Beranak-pinak dan sejahtera. Penguasa Islam pun tidak melakukan kekerasan terhadap penduduk negeri yang ditaklukkannya selama memerintah. Tapi mengapa orang-orang Spanyol tetap ingin merdeka? Karena tidak ada keadilan dalam penjajahan.

Apakah orang-orang Papua merasa dijajah oleh kita? Hanya orang-orang Papua yang bisa menjawab pertanyaan ini dari dasar hati mereka. Kalau itu yang terasa, maka pembangunan-pembangunan (pasti tidak lebih baik dibanding masa kekhalifahan di Andalusia dulu) yang dilakukan bukan solusinya dan tindakan-tindakan kekerasan maupun kekejaman terhadap orang-orang Papua tidak akan membuat mereka tetap menjadi bagian dari kita.

 

Kpu

BACA JUGA