Malam Ini, “The Margin of Our Land” Hadir di Anjungan Seni Idrus Tintin

SAKSIKAN

Sabtu, 28/10/2017 09:41 WIB
“The Margin of Our Land” yang akan dipentaskan di Anjungan Seni Idrus Tintin Pekanbaru, malam ini, Sabtu (28/10/2017).

“The Margin of Our Land” yang akan dipentaskan di Anjungan Seni Idrus Tintin Pekanbaru, malam ini, Sabtu (28/10/2017).

Pekanbaru, sumbarsatu.com—Malam ini, Sabtu (28/10/2017) lima kreator seni dari berbagai disiplin seni dari Institut Seni Indonesia (ISI)Padang Panjang, mementaskan “The Margin of Our Land”, sebuah karya tari-teater kontemporer, Anjungan Sen Idrus Tintin Pekanbaru, Riau.

Kelima kreator itu ialah Ali Sukri untuk koreografi, Kurniasih Zaitun (penyutradaraan), Sahrul N (dramaturg), Elizar (musik), dan Yusril Katil sebagai skenografer.  

Pertunjukan tari-teater “The Margin of Our Land” merupakan hasil dari dari penelitian, penciptaan, dan penyajian seni yang menceritak tentang tanah pusaka (ulayat) atau ganggam bauntuak di Minangkabau.

“Penciptaan seni yang berbentuk dance theatre berangkat dari kondisi sosial budaya Minangkabau tentang tanah ulayat atau ganggam bauntuak yang kerap bermasalah. Kami mennyajikannya dalam bentuk pertunjukan seni di atas panggung dengan mengelaborasikan tari-teater-musik. Karya ini berangkat dari riset dan penelitian,” kata Sahrul N, Ketua Tim Penelitian, Penciptaan, dan Penyajian Seni ini, Jumat (27/10/2017) di Pekan Baru.

Menurutnya, dasar penciptaan seni yang berbentuk dance theatre ini mencoba memaksimalkan potensi seni tradisi Minangkabau yang diolah menjadi bentuk kekinian (modern dan kontemporer).

Pertunjukan “The Margin of Our Land” di Anjungan Seni Tintin Pekanbaru ini merupakan yang episode pertama dengan tema tanah ulayat. Episode kedua mengangkat soal reklamasi, dan ketiga tentang garis batas Negara Kesatuan Republik Indonesia.   

““The Margin of Our Land” dikesankan sebagai trilogi karya seni tari-teater dengan masing-masing tema berbeda tapi tetap dalam kerangka problem tanah dan penghuninya,” tambah Sahrul, yang juga seorang peneliti teater ini. 

Ali Sukri, salah seorang koreografer dalam garapan ini, mengatakan, pertunjukan tari-teater “The Margin of Our Land” merepresentasikan karya seni kontemporer dengan basis idiom garak-garik dan simbol dalam seni tradisi dan musik Minang dengan tafsir dan pemahaman dalam konteks kekinian.

“Titik inspirasi “The Margin of Our Land” ialah tradisi silek tuo Minang dan seni ulu ambek yang hidup di Padang Pariaman hingga kini,” kata Ali Sukri.

“Pun musik tradisi Minang, sebagai pendukung utama “The Margin of Our Land” diberi makna baru dengan memadukan teknologi saat ini,” tambah Elizar yang akrab disapa Aku ini.

Menurutnya, dalam “The Margin of Our Land” ini musik yang dimunculkan bukan nada-nada yang manis dan tertata, tapi penekanannya lebih kepada musik eksperimentatif.

Terkait dengan teater dan keaktoran laku pemain, menurut Kurniasih Zaitun atau Tintun, karya “The Margin of Our Land” mengangkat konflik klasik yang kerap terjadi di ranah Minang, yaitu soal tanah ulayat (ganggam bauntuak).

““The Margin of Our Land” mengisahkan orang Minang yang tak bisa dipisahkan dengan tanah ulayat, yang meripakan harga diri kaum (suku). Pemain dalam laku ini merepresentasikan setiap karakter dan konflik yang menelikungnya dengan pemahaman yang kuat,” jelas Tintun.

Bundo kanduang sebagai benteng terakhir pemilik tanah ulayat di Minang, berada pada posisi dilematis.

“Konflik-konflik yang menelikung itu dinarasikan dalam garak-garik tubuh penari, diliriskan aktor teater dengan karakter yang kuat, dan musik yang dibangun sebagai penguat suasana pertunjukan,” tambah perempuan sutradara ini.

“Tari-teater “The Margin of Our Land” menawarkan garapan kreatif dengan basis riset dan studi lapagan ke wilayah konflik, dan tentu saja diperkuat dengan studi pustaka,” tambah Sahrul lagi.    

Sinopsis “The Margin of Our Land”

Sekelompok kaum pemilik tanah ulayat pusaka tinggi (ganggam bauntuak) tersingkir dari lahan yang sudah mereka huni sejak beratus tahun silam secara turun-temurun. Tanah ulayat kaum itu dikuasa paksa dengan dalih hukum formal  untuk pembangunan, yang membuat mereka tak berkutik saat tanah yang memberi mereka kehidupan itu, dikapling dengan garis polisi dan dijaga ketat militer. 

Konflik pun tak terelakkan. Semua kaum itu, dari tua-muda, ninik mamak, hingga bundo kanduang, melakukan perlawanan mempertahankan hak milik mereka. Puncak perlawanan itu, bundo kanduang membuang harga dirinya dengan mengakhir hidupnya secara tragis.

Pagelaran “The Margin of Our Land” dilaksanakan kerja sama Dinas Pariwisata Provinsi Riau dengan ISI Padang Panjang, dan didukung seniman-budayawan di Riau ini, rencananya akan dihadiri Rektor ISI Padang Panjang dan jajarannya. (SSC)

 



BACA JUGA