Yeni Wahyuni Angkat "Cantik Itu Luka" ke Panggung FTI 2025 Lewat “Wajah Halimunda”

Senin, 15/12/2025 13:19 WIB
Yeni Wahyuni mempersembahkan karya terbaru yang ia sutradarai  berjudul Wajah Halimunda dalam Festival Teater Indonesia (FTI) 2025, yang dipentaskan di Taman Budaya Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Rau, 10 Desember 2025. foto aen

Yeni Wahyuni mempersembahkan karya terbaru yang ia sutradarai berjudul Wajah Halimunda dalam Festival Teater Indonesia (FTI) 2025, yang dipentaskan di Taman Budaya Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Rau, 10 Desember 2025. foto aen

Mataram, sumbarsau.com—Dalam semangat kuratorial “Sirkulasi Ilusi”, seniman teater asal Padang Panjang, Sumatra Barat, Yeni Wahyuni (Aen), mempersembahkan karya terbarunya berjudul Wajah Halimunda dalam Festival Teater Indonesia (FTI) 2025, yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan, Titimangsa, dan Penastri (Perkumpulan Nasional Teater Indonesia).

Pementasan ini digelar di Taman Budaya Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Rau, 10 Desember 2025, pukul 20.00 WITA disambut antusias publik seni Kota Mataram.

Karya ini merupakan adaptasi transformatif dari novel epik Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, yang diolah Yeni  menjadi sebuah pertunjukan teater dengan pendekatan realisme magis dan dramaturgi non-linear.

Wajah Halimunda terpilih sebagai satu dari lima karya dari berbagai daerah yang tampil di Mataram, menandai pengakuan atas kekuatan artistiknya dalam merespons pertanyaan kuratorial utama FTI 2025: apa yang paling nyata di panggung teater hari ini?

Realisme Magis dalam “Sirkulasi Ilusi”

Mengacu pada catatan kuratorial Sirkulasi Ilusi, pertunjukan ini bergerak di wilayah batas antara realitas, ingatan, dan representasi. Yeni Wahyuni menjadikan sejarah kolonial, kekerasan struktural, dan mitologi keluarga sebagai ruang kritis untuk membaca kondisi masa kini—sebuah era ketika realitas kerap terdistorsi oleh ilusi.

Sirkulasi Ilusi menghendaki teater sebagai ruang kritis. Dalam Wajah Halimunda, kami tidak merepresentasikan realitas secara harfiah. Kami menggunakan metode Realisme Magis di atas panggung, di mana kemunculan kembali Dewi Ayu—yang bangkit dari kubur—menjadi cara kami mengalirkan imaji novel ke dalam bahasa visual dan performatif yang baru,” ujar Yeni Wahyuni.

Dua Bulan Proses Kekaryaan: Tubuh, Trauma, dan Ingatan

Proses kreatif Wajah Halimunda berlangsung selama dua bulan, dengan disiplin kerja yang ketat dan riset intensif terhadap teks sumber. Adaptasi dilakukan bukan dengan pendekatan ilustratif, melainkan melalui pengolahan dramaturgi non-linear, eksplorasi teks, serta kerja ketubuhan aktor yang menekankan ekspresi trauma, emosi, dan ingatan kolektif.

Latihan aktor dilakukan melalui metode eksploratif—mulai dari dialog, pembacaan teks, hingga kerja fisik—untuk menemukan gestur-gestur yang mampu merepresentasikan luka sejarah yang melekat pada tokoh-tokohnya. 

“Tantangan terbesar dalam proses ini adalah menjaga keseimbangan antara intensitas energi keaktoran dan kehalusan konteks naskah yang sarat nuansa magis dan filosofis,” ungkap sosok perempusn sutradara yang akrab disapa Aen ini kepada sumbarsatu, Senin (15/12/2025).

Ia menjelasakan, fokus pementasan diarahkan pada fragmen-fragmen kunci tokoh Dewi Ayu, perempuan keturunan Belanda-Indonesia yang dipaksa menjadi pelacur, serta kutukan kecantikan yang diwariskannya kepada tiga putrinya—hingga kelahiran Si Cantik, sosok yang justru terlahir buruk rupa.

Lanskap Psiko-Historis dan Kolaborasi Lintas Disiplin

Sejalan dengan pilar ruang kolaborasi baru, Wajah Halimunda melibatkan aktor, seniman visual, musisi, dan desainer multimedia. Tata panggung dirancang minimalis dan simbolik, didominasi warna putih, kain, kertas dan koran sebagai arsip, serta benang merah yang menjadi metafora keterhubungan sejarah.

Alih-alih menciptakan ruang realistis, panggung difungsikan sebagai lanskap psiko-historis, tempat masa lalu dan masa kini saling berkelindan.

Musik elektronik digunakan untuk membangun atmosfer sureal, sementara proyeksi multimedia menampilkan arsip foto dan rekaman visual yang memperkuat dimensi historis sekaligus memungkinkan alur cerita bergerak maju-mundur.

Tema kekerasan, patriarki, dan luka sosial yang diangkat dalam pertunjukan ini menegaskan relevansi Cantik Itu Luka dengan konteks kekinian, sekaligus membuka ruang refleksi bagi penonton.

“Kami menggunakan teknologi interaktif dan alih wahana sebagai modus utama. Kami ingin penonton bertanya: sejauh mana kita benar-benar telah berubah dari sejarah yang membentuk kita? Hantu Dewi Ayu adalah cermin dari luka sosial dan historis yang belum sembuh,” tutur Yeni. ssc/aen



BACA JUGA