Pahami Autoimun, Perempuan Berisiko Lebih Tinggi Mengalaminya

Minggu, 14/12/2025 20:28 WIB
Foto 2 _ dr. Syahrizal, Sp.PD

Foto 2 _ dr. Syahrizal, Sp.PD

Jakarta, sumbarsatu.com— Penyakit autoimun menjadi salah satu isu kesehatan yang terus meningkat secara global. Di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, jumlah penderita penyakit autoimun diperkirakan mencapai lebih dari 2,5 juta orang.

Autoimun merupakan kondisi ketika sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi dari infeksi justru menyerang sel dan jaringan sehat. Hingga kini, lebih dari 100 jenis penyakit autoimun telah teridentifikasi. Sebagiannya menyerang organ tertentu, sementara lainnya bersifat sistemik dan memengaruhi berbagai organ, seperti kulit, sendi, paru-paru, usus, saraf, hingga kelenjar tiroid.

Faktor Penyebab Autoimun

Penyakit autoimun tidak muncul secara tiba-tiba. Penyebabnya merupakan kombinasi berbagai faktor, mulai dari genetik, lingkungan, hingga kondisi tubuh. Risiko autoimun diketahui lebih tinggi pada perempuan usia produktif, terutama jika memiliki riwayat keluarga dengan penyakit serupa.

Faktor lain yang turut berperan antara lain infeksi, stres berkepanjangan, ketidakseimbangan hormon, serta paparan polusi dan zat kimia tertentu, termasuk asap rokok. Pola makan tidak seimbang dan gaya hidup tidak sehat juga dapat memperburuk respons sistem imun dan memicu peradangan dalam tubuh.

Tanda dan Gejala

Gejala autoimun sangat beragam, tergantung organ yang terdampak. Namun, keluhan yang umum dirasakan antara lain kelelahan berat berkepanjangan, nyeri atau pembengkakan sendi, ruam kulit atau sensitivitas terhadap sinar matahari, gangguan pencernaan berulang, serta demam yang datang tanpa sebab jelas.

“Sering kali gejala tersebut dianggap keluhan biasa, sehingga pasien datang berobat ketika kondisi sudah kronis,” kata dr. Syahrizal, Sp.PD, Subsp.A.I (K), D, Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (Autoimmune) Primaya Hospital Bekasi Barat dalam relis yang diterima sumbarsatu, Minggu (14/12/2025).

 

Ia menegaskan pentingnya deteksi dini. Menurutnya, diagnosis autoimun memerlukan tahapan yang cermat, mulai dari penelusuran riwayat kesehatan pribadi dan keluarga, pemeriksaan fisik menyeluruh, hingga pemeriksaan laboratorium dan tes penunjang lainnya.

Perempuan Lebih Berisiko

Dr. Syahrizal menjelaskan, sebagian besar penderita autoimun adalah perempuan berusia 15–44 tahun. Data Global Autoimmune Institute (2024) menunjukkan sekitar 78 persen penderita autoimun adalah perempuan.

Kondisi ini diduga berkaitan dengan perbedaan biologis, seperti keberadaan kromosom X, fluktuasi hormon—khususnya estrogen—serta perbedaan respons imun antara laki-laki dan perempuan.

Jika tidak terkontrol, autoimun dapat menimbulkan komplikasi serius, mulai dari kerusakan organ permanen, peningkatan risiko penyakit jantung, hingga gangguan kehamilan. Dampak psikologis seperti kecemasan, depresi, dan penurunan kualitas hidup juga kerap dialami pasien.

Penanganan dan Gaya Hidup

Penanganan autoimun disesuaikan dengan jenis penyakit, tingkat keparahan, serta kondisi pasien. Terapi dapat mencakup pengaturan pola makan, obat pengendali peradangan, imunoterapi, hingga prosedur tertentu seperti plasma exchange.

Selain terapi medis, perubahan gaya hidup berperan penting dalam menjaga stabilitas penyakit. Istirahat cukup, olahraga teratur, manajemen stres, serta kepatuhan terhadap terapi terbukti membantu pengendalian jangka panjang. Dukungan keluarga dan pendampingan psikologis juga menjadi bagian penting dalam perjalanan pasien autoimun.

Autoimun dapat menyerang siapa saja, namun risikonya lebih tinggi pada perempuan usia produktif. Jika mengalami keluhan berkepanjangan, masyarakat diimbau untuk tidak menunda konsultasi medis agar diagnosis dan penanganan dapat dilakukan sejak dini. ssc/rel

 



BACA JUGA