Agam, sumbarsatu.com — Kearifan lokal warga Nagari Ampek Koto Palembayan, Kabupaten Agam, menghadirkan cara kreatif dan ramah lingkungan dalam melindungi tanaman dari serangan hama. Alih-alih menggunakan racun atau jebakan, sejumlah petani di daerah itu memasang spanduk bergambar harimau sumatera di kebun mereka.
Yenedi, petani asal Jorong Koto Tinggi, mengatakan bahwa dua spanduk bergambar harimau berukuran 1x1,5 meter ia pasang di lahan jahe dan pisang miliknya yang mencapai empat hektare.
“Biasanya monyet ekor panjang dan beruk sering turun merusak tanaman. Tapi sejak ada spanduk itu, mereka tidak berani mendekat lagi,” ujarnya, Minggu (26/10/2025).
Ide tersebut ia peroleh dari petani di Pasia Pangerean, Kabupaten Rokan Hulu, Riau, yang lebih dulu mencoba metode serupa dan terbukti efektif. “Saya lihat di Riau berhasil, jadi saya ikut coba di sini,” tambahnya.
Langkah sederhana ini menarik perhatian Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat. Kepala Resor Konservasi Wilayah II Maninjau, Ade Putra, menyebut upaya warga itu sebagai bentuk inovasi berbasis kearifan lokal.
“Secara tidak langsung, masyarakat meniru kehadiran predator alami di habitat mereka. Ini menarik untuk dikaji karena bisa menjadi metode mitigasi konflik yang murah dan aman,” kata Ade.
Menurut BKSDA, monyet dan beruk memang termasuk jenis hama tanaman yang kerap merusak kebun di wilayah Palembayan. Dengan adanya spanduk bergambar harimau, hewan-hewan tersebut tampak enggan turun dari pohon karena mengira ada predator di sekitar mereka.
Sebelumnya, BKSDA Sumbar juga tengah menangani kasus konflik antara harimau sumatera dan manusia di Koto Tinggi sejak 7 Oktober lalu. Petugas bersama Tim Patroli Anak Nagari (Pagari) Baringin dan mahasiswa Kehutanan Universitas Riau melakukan patroli rutin, pemasangan kamera jebak, hingga pemantauan menggunakan drone termal.
Di tengah upaya tersebut, temuan warga yang memanfaatkan citra harimau justru membuka perspektif baru: bagaimana simbol satwa dilindungi bisa berubah fungsi menjadi “penjaga kebun” sekaligus pengingat bahwa manusia dan satwa liar harus hidup berdampingan.
“Inovasi seperti ini bisa dikembangkan lebih lanjut. Kalau terbukti efektif, bisa menjadi contoh mitigasi konflik satwa yang memadukan pengetahuan lokal dengan konservasi modern,” ujar Ade Putra.(MSM)