KTT Sharm El-Sheikh: Perdamaian untuk Pipa Gas

Jum'at, 17/10/2025 13:44 WIB

Oleh Bobby Ciputra (Ketua Angkatan Muda Sosialis Indonesia (AMSI)

SEMENTARA  ribuan keluarga di Gaza masih tidur di antara reruntuhan, para pemimpin dunia berkumpul di Sharm El-Sheikh, resor mewah di pesisir Laut Merah dengan hotel bintang lima dan lapangan golf hijau di tengah gurun.

Apakah benar tokoh-tokoh ini begitu peduli pada Gaza yang telah puluhan tahun diabaikan?

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian pada 13 Oktober 2025 menghadirkan deretan nama besar: Donald Trump, Emmanuel Macron, Muhammad bin Salman, Recep Tayyip Erdogan, Tamim bin Hamad al-Tsani, Raja Abdullah II, hingga Antonio Guterres.

Ini merupakan upaya sistematis untuk menormalkan kembali hubungan Israel dengan negara-negara Arab di bawah payung kepentingan ekonomi bersama, sambil mengabaikan akar persoalan utama: keadilan bagi rakyat Palestina. Perdamaian yang ditawarkan adalah perdamaian yang telah dibeli, di mana rakyat Palestina hanya menjadi komoditas sampingan dalam negosiasi energi.

Para elite global sejatinya sedang mengukir ulang tatanan kekuasaan di Timur Tengah pasca berbagai perang proksi dan pergeseran aliansi. Mereka merancang sistem baru yang memungkinkan kendali atas harga energi, keamanan jalur dagang, serta peminggiran aktor-aktor yang tidak kooperatif.

Inilah agenda tersembunyi di balik senyum-senyum diplomatik: jalur pipa gas dari Qatar ke Eropa yang harus melewati Gaza, keamanan Terusan Suez demi kepentingan energi global, dan restrukturisasi kapitalisme energi pasca Perang Ukraina.

Maka Gaza bukan lagi sekadar isu perdamaian atas nama kemanusiaan, melainkan titik penguncian vital dalam tatanan kekuasaan baru. KTT Sharm El-Sheikh bukanlah momen perdamaian sejati, melainkan babak baru restrukturisasi geoekonomi Mediterania Timur.

Ada alasan kuat mengapa KTT diadakan di Mesir, bukan di Jenewa atau New York. Mesir adalah kunci utama dalam permainan energi kali ini.

Pertama, Terusan Suez. Pendapatan Mesir dari Suez anjlok dari US$10,25 miliar pada 2023 menjadi hanya US$3,99 miliar pada 2024—turun 61 persen. Konflik regional membuat kapal-kapal memilih rute yang lebih aman, meski lebih mahal.

Faktor utama penurunan ini adalah ketegangan di Laut Merah. Kelompok Houthi di Yaman melancarkan serangan terhadap kapal-kapal yang melewati jalur tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Akibatnya, banyak kapal memilih rute memutar lewat Tanjung Harapan, Afrika. Presiden Mesir bahkan menyebut gangguan tersebut memicu kerugian sekitar US$7 miliar dari pendapatan Suez pada 2024.

Mesir membutuhkan stabilitas kawasan agar Suez kembali ramai, sekaligus investasi infrastruktur liquefaction untuk menjadi pusat gas alam regional. Secara geografis, Mesir strategis: menghubungkan Afrika, Timur Tengah, dan Eropa.

Kedua, Mesir adalah negara Arab terbesar yang telah menjalin hubungan damai dengan Israel sejak 1979. Karena itu, Mesir dapat menjadi mediator “netral” yang melegitimasi proyek pipa gas ini di mata dunia Arab.

KTT Sharm El-Sheikh menjadi ajang tawar-menawar: Amerika dan sekutunya menawarkan investasi energi kepada Mesir dengan syarat mendukung proyek pipa gas Qatar–Eropa serta membantu “menjinakkan” Gaza. 

Sejak invasi Rusia ke Ukraina, Eropa kehilangan 40 persen pasokan gas dari Rusia. Harga LNG melonjak hingga 300 persen antara 2021–2022, membuat negara-negara Eropa panik mencari pengganti Gazprom.

Qatar, yang menguasai hampir 35 persen pangsa pasar LNG global, tengah melakukan ekspansi besar-besaran: dari 77 juta ton per tahun menjadi 142 juta ton pada 2030—naik 85 persen. Qatar berupaya mengunci pangsa pasar Eropa, terutama karena mereka fleksibel dalam ekspor LNG spot dan kontrak jangka pendek.

Namun pengiriman LNG lewat laut mahal dan rumit. Solusinya adalah pipa gas langsung dari Qatar ke Eropa—lebih efisien, murah, dan stabil. Masalahnya, jalur pipa itu harus melewati wilayah yang sangat sensitif: Gaza.

Rute yang direncanakan adalah dari Qatar ke Arab Saudi, Yordania, Gaza, Mediterania, Yunani, Italia, lalu menyebar ke negara-negara Eropa. Negara-negara yang paling membutuhkan gas Qatar adalah Jerman, Italia, Prancis, dan Yunani—mereka pula yang paling agresif menyerukan “perdamaian” Gaza.

Agar proyek ini berjalan, Gaza harus “stabil.” Palestina harus bisa dikontrol. Mesir harus kooperatif. Israel harus merasa aman.

Kehadiran Antonio Guterres dalam KTT hanya menjadi “stempel legitimasi” tanpa kekuatan nyata. Absennya Vladimir Putin (Rusia) dan Xi Jinping (China) menunjukkan adanya perpecahan tatanan dunia.

Elite global tidak akan pernah memberikan perdamaian sejati secara sukarela. Perdamaian yang mereka tawarkan hanyalah perdamaian yang melindungi privilese, menstabilkan akumulasi kapital, dan menormalisasi ketidakadilan struktural.

Perdamaian di Gaza sejatinya membutuhkan dekolonisasi (pengembalian tanah dan sumber daya), redistribusi (pembagian kekayaan dari oligarki ke rakyat pekerja), demokratisasi (pengambilan keputusan oleh rakyat, bukan elite), dan reparasi (pertanggungjawaban atas kolonialisme). Namun, tak satu pun dari itu dibahas di Sharm El-Sheikh.

Mari kembali ke pertanyaan awal: mengapa perdamaian Gaza tiba-tiba menjadi prioritas? Karena Gaza menghalangi proyek energi bernilai triliunan dolar.

Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan yang dilegitimasi.
Sharm El-Sheikh bukan akhir sejarah, melainkan babak baru pertarungan antara kapitalisme ekstraktif dan sosialisme ekologis.

Dalam lima tahun ke depan, kita mungkin akan melihat pipa gas kembali mengalir ke Eropa, Gaza menjadi “damai” namun tetap terjajah, dan dunia merayakan normalisasi sambil melupakan bahwa perdamaian ini dibeli dengan gas alam bernilai triliunan dolar.*



BACA JUGA