Lembaga Partisipasi Perempuan Desak Negara Hadir Lindungi Perempuan dan Kelompok Minoritas

Selasa, 02/09/2025 08:58 WIB

 

Jakarta, sumbarsatu.com—Lembaga Partisipasi Perempuan menyampaikan keprihatinan mendalam atas jatuhnya korban dalam gelombang demonstrasi pada 28–30 Agustus 2025 di Jakarta, Makassar, Solo, dan Yogyakarta. Aksi yang berujung bentrokan tersebut menelan tujuh korban jiwa dan lebih dari 500 orang luka-luka.

Ketujuh korban yang meninggal dunia adalah: Affan Kurniawan, Syaiful, Muhammad Akbar Basri, Sarinawati, Rusdamdiansyah, Rheza Sendy Pratama, dan Sumari.

"Kami berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya. Semoga para korban diterima di sisi Allah Swr dan keluarga diberi kekuatan," kata Adriana Venny, narahubung Lembaga Partisipasi Perempuan, dalam keterangan tertulis, Selasa (2/9/2025).

Dalam pernyataannya, Lembaga Partisipasi Perempuan menilai kondisi yang terjadi saat ini mengingatkan pada tragedi Mei 1998. Menurut lembaga ini, krisis politik dan ekonomi diperburuk oleh membesarnya peran militer dan polisi di ranah sipil, kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat, serta meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap pejabat negara.

Adriana menekankan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi penduduknya, khususnya perempuan, etnis minoritas, dan kelompok rentan lainnya. Prinsip tanggung jawab negara ini sejalan dengan Responsibility to Protect (R2P), doktrin global yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2005.

“Indonesia masuk kategori negara berisiko tinggi mengalami pelanggaran HAM berat, karena pernah punya pengalaman pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus 1965 dan tragedi Mei 1998. Kekerasan seksual berbasis gender dalam konflik juga berulang kali terjadi di Aceh, Poso, Ambon, Atambua, Papua, bahkan di Jakarta pada tragedi perkosaan massal 1998,” jelas Adriana.

Lembaga Partisipasi Perempuan menyoroti belum adanya mekanisme hukum yang efektif untuk memutus rantai impunitas. UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sempat diharapkan, dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006.

Sementara itu, intoleransi terhadap kelompok minoritas agama, kepercayaan, maupun orientasi seksual masih sering muncul tanpa penanganan serius dari negara.

“Negara harus hadir dan memastikan tragedi Mei 1998 tidak terulang kembali. Perempuan dan kelompok minoritas selalu menjadi pihak yang paling rentan dalam situasi konflik. Jangan biarkan rakyat menghadapi pelanggaran HAM sendirian,” tegas Adriana. ssc/nc



BACA JUGA